Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

KESADARAN KARINA

Nadira berdiri di depan cermin, rambutnya masih sedikit basah setelah mandi kilat. Ia mengikatnya menjadi ekor kuda yang rapi, lalu memasukkan sunscreen, kacamata hitam, dan lip balm ke dalam tote bag bergambar matahari yang baru ia beli seminggu lalu.

Dari ruang tamu, terdengar suara teman-temannya ribut sendiri.

“Naaa! Cepet! Ombak nggak bakal nungguin lo dandan!” teriak Sava.

“Aku cuma pakai sunscreen, bego!” Nadira balas sambil menyambar sandal selopnya.

Dia merapatkan pintu kamar dan menghampiri mereka. Meja sudah penuh camilan yang entah sejak kapan disiapkan: keripik, donat, minuman dingin di cooler bag, dan sebuah speaker kecil yang kelihatannya siap memutar playlist ceria sepanjang jalan.

“Gue bawa tikar,” kata Dinda sambil mengangkat gulungan besar dengan bangga.

“Gue bawa harapan gue buat dapet foto bagus,” Nadira menimpali sambil tertawa.

Tiga temannya langsung bersorak, meraih lengannya, dan menariknya keluar apartemen.

Udara pagi menyapa begitu pintu terbuka. Hangat, tapi ada angin tipis yang menandakan hari akan cerah. Nadira menarik napas dalam-dalam—hari itu terasa ringan. Terasa seperti jeda, seperti napas baru setelah berminggu-minggu tenggelam dalam kesibukan dan dunia menulis.

“Let’s gooo! Pantai menunggu!” seru Sava.

---

Hari itu Minggu, dan ada sesuatu yang tidak biasa dalam diri Karina.

Bukan rasa bahagia.

Bukan juga keberanian.

Lebih seperti… kelonggaran.

Seolah tali yang mengikat dirinya sejak kecil tiba-tiba mengendur.

Pagi itu ia turun ke ruang tamu, wajahnya datar seperti biasa, tapi sorot matanya—berbeda.

“Aku mau ke mall naik taksi,” katanya sambil mengambil tas kecil.

“Dan jangan ada yang ngikutin.”

Dua pelayan rumah yang sedang menata bunga langsung berhenti bergerak.

“Tapi Nona…”

“Nona belum pernah keluar sendiri sebelumnya.”

Karina tidak menoleh.

Tidak menghiraukan ketakutan mereka.

Tidak mengizinkan siapa pun mengatur langkahnya.

Ia membuka pintu rumah dan pergi begitu saja.

Dengan tegas.

Dengan langkah yang tidak pernah dimiliki Karina yang biasanya.

---

Di dalam taksi, ia menatap pantulan dirinya di jendela.

Ada denyut aneh di dadanya—seperti keberanian yang tidak ia kenal.

Kenapa aku merasa… bebas?

Perasaan itu muncul kadang-kadang, di momen acak.

Seolah ada versi lain dari dirinya yang muncul ke permukaan, mengambil alih kemudi untuk sesaat.

Biasanya Karina takut.

Biasanya ia terlalu lembut untuk membenci.

Tapi hari itu?

Hari itu ia bahkan berani mengumpat dalam hati saat ingat Andrea dan gengnya.

“Sialan mereka.”

Kalimat yang tak pernah berani ia pikirkan muncul begitu saja.

Karina menegakkan punggung.

Ia merasa… berani.

Dan anehnya, ia menyukainya.

---

Mall luas itu dipenuhi aroma parfum toko dan suara langkah ratusan orang.

Karina biasanya akan menunduk, mencari tempat aman.

Tapi hari itu ia berjalan seperti orang yang sudah terbiasa keluar sendirian—padahal tidak.

Ia masuk ke butik pakaian, pandangan matanya langsung tertarik pada dress mini warna marun. Pendek. Ketat sedang. Jelas bukan gayanya.

Tapi tangannya terulur mengambilnya tanpa ragu.

Lalu lipstick merah menyala.

Hells kecil berwarna krim dengan pita lucu.

Bahkan tas mungil yang menurut Karina biasanya terlalu “menor”.

Siswi lugu itu memegang semua belanjaan dengan ekspresi tenang.

Tak satu pun terlihat canggung.

Kasir tersenyum sambil memindai barang.

“Nona mau dipakai sekarang barangnya? Banyak yang cocok jadi outfit.”

Karina menatap semua barang yang ia beli.

Biasanya ia akan panik. Menolak. Merasa tidak pantas.

Namun kali ini bibirnya tersenyum kecil.

“Ya. Aku pakai sekarang.”

Dan saat ia keluar dari butik itu,

Karina terlihat lebih seperti versi dirinya yang ia tidak tahu ia miliki—

…atau mungkin versi dirinya yang selama ini tertahan.

Andrea dan Nael duduk di area outdoor kafe mall itu—gelas minuman mereka masih berembun ketika Nael tiba-tiba mematung.

Pandangannya terpaku pada seseorang.

Karina.

Dengan dress mini marun, heels kecil, dan bibir merah menyala. Rambutnya sedikit bergelombang, wajahnya hidup, langkahnya mantap—bukan Karina yang biasa menunduk dan gemetaran.

Nael sampai berdiri.

“Drea… itu Karina, kan?”

Suaranya bergetar, penuh senang sekaligus bingung.

Tanpa menunggu jawaban, dia setengah berlari mendekatinya.

Andrea mendengus kecil, berdiri dengan malas elegan, merapikan rambutnya. Tapi begitu melihat Karina dari dekat…

Ia terpaku.

“Ini bukan Karina yang gue kenal…” gumamnya pelan, alisnya menurun.

Karina menghentikan langkah.

Nael sudah di depan matanya, matanya berbinar seperti menemukan cahaya.

“Karina! Lo sendirian? Lo—”

Karina menatap Nael, lembut, tapi… tajam.

“Nael, boleh beliin aku minuman? Apa aja. Haus banget.”

Nael langsung mengangguk tanpa ragu.

“Oke! Gue balik sebentar ya!”

Begitu Nael pergi—

Karina berbalik pada Andrea.

Tatapannya bukan tatapan Karina yang polos.

Itu tatapan seseorang yang sudah tahu siapa musuhnya.

Langkahnya mendekat.

Andrea spontan mundur sedikit.

“Lo kan yang hampir bikin gue mati kemarin.”

Suara Karina rendah. Tenang. Bukan marah—lebih menohok dari marah.

Andrea mencoba balas dengan gaya sok santai.

“Ya… masalah buat—”

Karina bergerak cepat.

Tangannya mencengkeram rambut Andrea dan menariknya keras ke bawah.

Andrea terpaku.

Mulutnya membuka tapi tidak ada suara keluar.

Matanya membesar—terkejut, takut, marah, semua bercampur.

“Denger, Andrea.”

Napas Karina hangat di telinganya.

“Aku. Nggak. Lemah. Anjing.”

Andrea tersentak.

Kakinya bergetar.

Tenggorokannya kering. Dia tidak pernah melihat Karina seperti ini. Bahkan tidak bisa membayangkannya.

Karina melepaskan genggamannya pelan, seperti seseorang yang melepaskan sesuatu yang tidak penting.

Lalu ia berbalik dan pergi.

Langkahnya mantap. Tanpa terburu-buru.

Seolah Andrea bukan apa-apa.

Andrea masih terpaku.

Tangan meraba rambutnya yang acak-acakan, wajah pucat.

Beberapa detik kemudian—

Nael datang dengan dua minuman.

“Mana Karina, Drea? Barusan dia di sini kan?”

Andrea menatap kosong.

Bibirnya kering.

Nada suaranya pelan, hampir tidak terdengar.

“Gak tau…”

Karina duduk di bangku panjang dekat eskalator mall, dress mini marunnya berkilau ketika lampu-lampu sorot memantul ke permukaannya. Tas belanjanya diletakkan di samping. Heels mungilnya menggantung santai dari ujung jari kaki—seolah ia benar-benar nyaman dalam kulit barunya.

Tapi wajahnya…

wajahnya penuh keraguan.

Ia menatap jemarinya sendiri.

Menatap lipstick merah di bibirnya melalui pantulan kaca toko di depan.

Semua ini terasa benar.

Terlalu benar.

Bagai sesuatu yang sudah lama ingin ia lakukan—meski entah kenapa… ia merasa itu bukan “dirinya”.

Lalu, datang lagi perasaan itu.

Perasaan ditarik.

Dibelenggu.

Diseret masuk ke dalam “peran” yang tidak pernah ia pilih.

Ada saat-saat ketika pikirannya seperti jelas, bebas, liar.

Saat ia bisa menatap orang tanpa takut.

Saat ia bisa melawan.

Saat ia bisa mengumpat Andrea tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Tapi di sela-sela kebebasan itu…

Ada sesuatu yang lain.

Sesuatu yang dingin.

Tajam.

Dan tidak terlihat.

Sesuatu yang membuatnya menunduk.

Membuatnya gemetar.

Membuatnya menangis tanpa alasan.

Karina mengusap dadanya.

“Kenapa aku… seperti disuruh untuk sedih?” bisiknya pelan.

“Kenapa rasanya aku harus takut supaya… semuanya masuk akal?”

Karina menggigit bibir.

Berusaha memahami dirinya sendiri, tetapi tidak bisa.

“Kadang aku bisa apa pun,” katanya lirih.

“Mengatakan apa pun. Melakukan apa pun.”

Matanya berkaca.

“Sisanya… aku cuma boneka yang harus sedih.”

Orang-orang lalu-lalang di depannya, tidak ada yang memerhatikan gadis kecil itu yang sedang mencoba memahami hidupnya sendiri.

Karina menarik napas panjang, menegakkan punggung.

“Hari ini… hari ini aku bebas,” katanya, meski tidak tahu dari apa atau dari siapa.

Ia berdiri.

Mengayunkan tasnya.

Melanjutkan langkahnya dengan heels yang memukul lantai marble mall.

---

Malam itu, Nadira pulang dengan kulit sedikit kemerahan karena matahari pantai, rambutnya masih berbau garam laut. Ia menendang sandal, melempar tas ke sofa, lalu menyalakan laptop sambil tersenyum puas.

“Ada ide baru nih…” gumamnya.

Tapi senyumnya hilang begitu layar menyala penuh.

Ada satu bab baru di draft novelnya.

Bab yang panjang.

Rapi.

Berani.

Dan… gelap.

Bab yang dia tidak ingat pernah menulisnya.

Bahkan satu kalimat pun tidak terasa seperti tangannya.

“Apaan ini…?” Nadira menyipitkan mata.

Dia scroll cepat.

Teksnya terlalu matang untuk sebuah bab yang “katanya” tidak ia tulis.

Terlalu hidup.

Terlalu… bernapas.

“Ini tulisan siapa?” bisiknya.

Jantungnya berdegup—bukan takut, tapi bingung.

Ia menulis setiap hari, iya.

Kadang lupa waktu, iya.

Tapi lupa menulis satu bab penuh?

Tidak mungkin.

Tangan Nadira mengusap wajahnya.

“Jangan bilang si Nathan lagi…”

Ia langsung memutar matanya, geram.

“Kurang ajar…” Nadira menggerutu.

Tanpa membaca ulang, tanpa mempertimbangkan apa pun—

Nadira menekan tombol delete.

Bab itu hilang.

Raib dari naskah.

Seolah tidak pernah ada.

Ia menutup laptop dengan tegas.

“Besok gue omelin Nathan,” gumamnya sambil merebah di sofa.

---

Karina terbangun dengan dada terasa berat, napasnya sedikit memburu. Ia memandang langit-langit kamar, mencoba mengingat apa yang terjadi terakhir kali.

“Aku… tadi lagi pesan pizza, kan?” gumamnya.

Tapi itu tidak cocok dengan kenyataan.

Sekarang ia ada di tempat tidur, dengan selimut yang sudah rapi menutupi tubuhnya seolah ia tidur nyenyak semalaman.

“Bukannya aku tadi di mall…?” Alisnya mengerut.

Ia duduk pelan, meraih ponsel. Tidak ada pesan baru. Tidak ada catatan panggilan. Tidak ada apa pun yang menjelaskan bagaimana ia kembali ke rumah.

Dengan tatapan curiga, Karina bangun dan membuka pintu kamar.

Dan saat itu terjadi lagi.

Dejavu.

Langkah pelayan rumahnya terdengar persis seperti yang ia ingat dari… mimpi? Atau memori yang tidak lengkap?

“Selamat pagi, Nona. Saya sudah siapkan—”

“Tunggu,” potong Karina spontan. “Kamu mau bilang ‘sarapan dan jus jeruknya’ setelah ini, kan?”

Pelayan itu berkedip, tertegun.

Karina mematung.

Jantungnya berdetak cepat.

Kenapa aku tau?

Kenapa persis sama seperti dalam mimpi?

Hari itu berjalan janggal.

Setiap orang mengatakan hal-hal yang sudah bisa ia tebak beberapa detik sebelum mereka mengucapkannya.

Setiap kejadian terasa seperti ulang tayang.

Karina memegang kepala bagian pelipisnya.

“Kenapa semuanya terasa… seperti sudah pernah terjadi?”

Ada sesuatu yang mengikatnya.

Menyeretnya.

Mengatur hidupnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel