AWAL YANG BAGUS
Karina melewatkan seluruh rangkaian MPLS, menolak hadir di hari-hari penuh riuh dan perkenalan itu. Tapi hari ini, hari upacara penerimaan siswa baru, entah kenapa langkahnya terasa ringan.
Gymnasium Billmourth International High School sudah penuh. Siswa-siswa baru duduk rapi mengenakan seragam abu-abu biru khas sekolah itu, dengan emblem yang mengilap di dada. Spanduk besar membentang di dinding utama bertuliskan:
“Welcome to the Future Leaders — Billmourth International High School.”
Suasana khidmat. Upacara dimulai. Kepala sekolah memberi sambutan penuh semangat, lalu menyerahkan mikrofon kepada ketua OSIS yang naik ke podium.
Namanya Payung Langit. Pemuda tinggi dengan wajah teduh dan senyum tenang. Tatapannya lembut, suaranya dalam tapi bersahabat. Ada sesuatu dari dirinya yang membuat siapa pun merasa dihargai.
“Selamat datang di Billmourth,” ucapnya, membuka pidato dengan nada hangat.
“Mulai hari ini, kita semua berdiri di tempat yang sama—tempat yang akan menantang kita untuk tumbuh. Di sini, bukan hanya nilai yang diuji, tapi juga hati, tekad, dan keberanian untuk menjadi diri sendiri.”
Ia berhenti sejenak, menatap barisan siswa baru di hadapannya.
“Jangan takut untuk gagal, karena kegagalan bukan akhir dari perjalanan—melainkan tanda bahwa kalian sedang berani mencoba. Dan jangan takut untuk bersinar, karena sinar yang kalian punya bukan untuk menyilaukan orang lain, tapi untuk menuntun langkah kalian sendiri.”
Suara tepuk tangan bergema di seluruh ruangan. Langit menunduk sedikit, senyum tipis masih terukir di wajahnya. Saat ia akan melanjutkan kalimat penutup, pintu gymnasium terbuka. Seorang siswi melangkah masuk dengan seragam yang belum terlalu rapi, rambutnya jatuh ke bahu, mata menatap lantai.
Itu Karina.
Sekilas, tatapan Payung Langit menangkap kehadirannya. Ia tidak berkata apa-apa, hanya tersenyum kecil.
Nada suaranya lebih lembut:
“Selamat bergabung di keluarga besar Billmourth. Mari kita mulai perjalanan ini dengan hati yang tulus dan langkah yang berani.”
Karina dengan cepat berdiri di barisan paling belakang.
Sepertinya hanya Langit yang sadar Karina terlambat, dan seperrinya dia juga tidak berencana menghukumnya.
Setelah upacara penyambutan berakhir, siswa-siswa mulai bubar, suara langkah kaki memenuhi lorong sekolah. Karina berjalan pelan, memeluk tas di dadanya. Ia mencari kelas 10–2, tapi enggan bertanya pada siapa pun. Dunia di sekitarnya terasa asing — wajah-wajah baru, tawa riuh, dan aroma seragam baru yang bercampur dengan udara siang.
Ia mengikuti beberapa siswa yang tampak searah dengannya, berharap salah satu dari mereka menuju kelas yang sama. Namun, langkahnya terhenti ketika mereka berbelok ke kelas lain. Karina berdiri sejenak, menarik napas dalam, lalu melanjutkan perjalanan sendiri.
Hingga akhirnya, ia tiba di depan pintu bertuliskan 10–2.
Kelas belum terlalu ramai. Suara kursi digeser dan tawa kecil terdengar di dalam. Karina melangkah perlahan, menatap barisan meja yang sudah terisi. Ia ingin duduk, tapi takut mengambil tempat orang lain. Jadi, ia memilih berdiri di depan loker yang bertuliskan namanya, pura-pura sibuk menata buku dan alat tulis.
Waktu berjalan lama. Kakinya mulai pegal. Mungkin semua anak sudah masuk, pikirnya.
Ia menatap ke arah kelas, mencari b claudia 41angku kosong. Lalu ia berbalik lagi dengan cepat, tangannya gemetar keringat bahkan menetes dari pelipisnya.
"Karina"
Suara itu, suara yang sangat dia kenal.
Dia memegang lengan Karina lalu membaliknya, agar menghadapnya.
"Hai"
Ucap Karina berusaha tenang.
Jantungnya berdegup tak beraturan, tangannya meremas roknya.
Pemuda itu menatapnya lama, matanya mulai basah. Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia menarik Karina ke dalam pelukan.
Kelas seketika menjadi riuh. Suara sorakan, tepuk tangan, dan tawa menggema memenuhi ruangan.
Seorang gadis di barisan paling depan—cantik, modis, dengan rambut bergelombang sempurna—tiba-tiba berdiri. Tatapannya tajam, langkahnya mantap. Ia menggeser meja di depannya dengan suara berderak kecil, tampak terganggu oleh pemandangan yang baru saja ia lihat.
Tanpa sepatah kata pun, gadis itu meninggalkan kelas, meninggalkan aroma parfum mahal yang samar tertinggal di udara.
"Andrea, lo mau kemana bentar lagi masuk" sahut orang disampingnya.
"Toilet" jawabnya datar
Karina akhirnya menemukan satu bangku kosong di baris belakang. Ia duduk perlahan, meletakkan buku di meja, mencoba menenangkan dirinya yang masih berdebar. Pemuda yang tadi memeluknya—Nael—duduk tepat di depannya.
“Naelson, itu bangku gue,” protes seorang gadis berkacamata dengan rambut bob pendek—Clara.
Nael hanya menjawab singkat, tanpa menoleh. “Tukeran.”
Tatapannya tetap tertuju pada Karina, seolah takut jika berpaling sebentar saja, gadis itu akan menghilang lagi.
Karina menunduk, pura-pura sibuk dengan pensil dan buku di mejanya. “Berhentilah melihatku,” katanya pelan, suaranya datar tapi terdengar jelas. “Itu… terlihat aneh.”
Nael tersenyum tipis. “Aku sangat merindukanmu,” katanya tanpa ragu. “Gio… dia sekarang tinggal di Belgia. Ayahnya jadi diplomat di sana.”
“Udah tahu,” jawab Karina pendek, masih menunduk.
Padahal, ia memang tahu. Mendiang kepala pelayannya, Pak Rendra, dulu selalu menceritakan segala hal yang terjadi di luar rumah—meski Karina tidak pernah memintanya.
Nael menoleh ke sekeliling kelas, suaranya lebih riang. “Andrea mana ya? Dia juga sekelas sama kita, loh.”
Dan seolah semesta menjawab, pintu kelas terbuka bersamaan dengan langkah guru wali kelas yang masuk.
Andrea muncul di ambang pintu—lebih tinggi dari terakhir kali Karina mengingatnya.
Andrea enggan melihat ke arah Karina.
Pulang sekolah, Karina buru-buru menuju toilet perempuan. Rok bagian belakangnya terasa aneh sejak jam terakhir—lengket, seperti ada sesuatu yang menempel.
Begitu ia masuk ke salah satu bilik, ia mengangkat roknya dan mendapati bercak-bercak putih kusam yang mengeras. Permen karet. Banyak.
Jantungnya menurun.
Siapa yang—
Ia tak sanggup menyelesaikan pikirannya.
Dengan tisu basah seadanya, ia mencoba menggosok noda itu. Usahanya sia-sia. Rasa panas naik ke tenggorokannya, bukan karena marah, tapi karena malu dan bingung.
Setelah beberapa menit, ia akhirnya pasrah: Yang penting nggak terlalu kelihatan.
Karina menarik napas panjang, merapikan seragamnya, lalu mendorong pintu bilik untuk keluar.
Tapi pintu itu tak bergerak.
Ia mendorong lebih keras.
Tetap tak bergerak.
Karina menelan ludah, mencoba memutar kunci.
Berputar.
Namun pintunya tidak terbuka—seolah ada sesuatu dari luar yang menahannya.
“Ha?” bisiknya gemetar.
Ia mendorong lagi, kali ini memakai bahu.
“Kok… nggak bisa?”
Teleponnya tidak ada sinyal—sekolah ini memang terkenal punya sudut-sudut yang blind spot, terutama toilet lantai dasar.
Panik mulai merayap.
Karina menepuk-nepuk layar ponselnya meski tahu itu percuma.
“Hallo? Ada orang?” teriaknya sambil memukul pintu. Suaranya menggema di toilet yang kosong.
Tak ada jawaban.
Ia memukul lebih keras, berkali-kali sampai telapak tangannya perih.
“Tolooong! Ada orang? Tolong buka pintunya!”
Hening.
Bahkan suara murid pulang pun sudah tidak terdengar.
Sekolah telah benar-benar sepi.
Karina memukul pintu sekali lagi, lalu suaranya pecah.
“Tolong… jangan tinggalin aku…”
Bahu kecilnya bergetar.
Tubuhnya merosot pelan ke lantai sambil memeluk lutut.
Air matanya mengalir deras, suara sesenggukannya memantul di dinding keramik yang dingin.
Dalam bilik sempit itu, Karina menangis sendirian—terperangkap, dalam arti sebenarnya dan tidak.
Nadira tersenyum kecil di depan laptopnya yang menyala.
"Cukup untuk, hari ini Karina. Aku rasa ini awal yang bagus"
Nadira menutup laptopnya lalu ia pergi ke dapur kecilnya untuk menyeduh kopi.
Toilet sekolah sudah gelap.
Hanya cahaya tipis dari lampu koridor yang menembus celah bawah pintu, membuat lantai basah terlihat kebiruan.
Karina duduk memeluk lutut, kepalanya tertunduk.
Air mata sudah mengering berkali-kali, tapi selalu muncul lagi—seperti ia tak punya tombol berhenti.
Roknya yang sudah dingin terasa menempel di kulit, dan tubuhnya menggigil bukan hanya karena udara malam.
“Kenapa… kenapa aku di sini…” bisiknya parau.
Ia sudah lama berhenti mengetuk pintu.
Sudah lama berhenti mencoba memanggil orang.
Suara di tenggorokannya pun rasanya sudah pecah.
Waktu berlalu begitu lambat sampai ia tak tahu lagi jam berapa sekarang.
Yang ia dengar hanya:
detak jantungnya sendiri, dan sesekali suara kucing mengeong dari luar gedung.
Lalu—
BRUK!
Karina tersentak ketika suara berisik terdengar di koridor.
Langkah kaki tergesa.
Suara laki-laki dewasa menyeret sesuatu, lalu…
“HEY! BALIK SINI! KUCING GILA!”
Karina mengangkat kepala.
Ada bayangan bergerak cepat melewati pintu, lalu suara kucing melengking.
Karina mengumpulkan sisa tenaganya.
“Tolong…”
Suaranya retak. Hampir tak terdengar.
Langkah kaki berhenti.
“Siapa itu?” suara berat, bingung.
Karina mencoba lagi, lebih keras meski suaranya goyah, “Tolong… saya… terkunci…”
Beberapa detik sunyi.
Lalu suara kunci berputar, dan pintu terbuka perlahan.
Cahaya koridor menyambar wajahnya yang penuh air mata.
Petugas keamanan berdiri di ambang pintu, tercengang.
“Ya Tuhan… kamu dari tadi di sini?”
Begitu pintu sepenuhnya terbuka, Karina langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangan—
Dan tangis itu pecah lagi, lebih keras, lebih dalam, lebih menyayat.
Tangis yang seperti menumpahkan semua luka yang ia simpan bertahun-tahun.
Petugas itu mendekat pelan, tak berani menyentuhnya.
“Sudah… sudah… kamu aman sekarang, Nak…”
Tapi Karina terus menangis.
Dan menangis.
Sampai tubuhnya bergetar, sampai langit di luar berubah hitam sepenuhnya.
Malam itu, di toilet sekolah yang dingin, Karina kembali terasa seperti gadis kecil berumur delapan tahun—
Yang sekali lagi kehilangan dunia yang ia kenal.
