Kenangan Masa Lalu Yang Pahit
Malam di Surabaya terasa hangat. Begitu Maya tiba di rumah, jam menunjukkan pukul delapan malam lewat sedikit. Rumah bergaya eropa modern itu terletak di kawasan elite, tenang dan aman, tapi tetap tak bisa menghapus rasa lelah yang menggantung di pundaknya.
Begitu masuk ke dalam, suara riuh kecil langsung terdengar dari lantai atas.
“Maa...! Mama pulang, mama pulang...” Teriakan kecil itu membuat senyum Maya terbit.
“Iya sayang… mama di bawah nih!” Jawab Maya sambil melepas high heels-nya.
Tak lama, seorang gadis kecil dengan piyama bergambar kelinci berlari menuruni tangga. Rambutnya dikuncir dua, dan boneka beruang pink tergenggam erat di pelukannya.
“Aying rindu mama! Tadi Aying tungguin mama sampai tidur, lho,” katanya manja, langsung memeluk Maya.
Maya membalas pelukan itu erat, “mama juga rindu Aying. Maaf ya tadi Ibu pulang malam.”
Aying mendongak, matanya berbinar. “Tapi Ibu janji bacain dongeng, lho. Jangan lupa ya!”
Maya tertawa kecil,“Iya iya, Ibu belum lupa. Yuk ke kamar, kita baca sekarang!”
Surti, baby sitter yang sudah lima tahun bekerja pada Maya, tersenyum dari sudut ruang tamu. “Tadi sempat ngambek, Bu. Tapi waktu dibilang Ibu sedang kerja untuk masa depan Aying, dia diam.”
“Terima kasih ya, Mbak Surti,” kata Maya lembut.
Di kamar Aying yang didominasi warna ungu dan putih, Maya duduk di sisi ranjang sambil membuka buku dongeng bergambar. Aying meringkuk di bawah selimut sambil memeluk bonekanya.
“Dongeng Putri dan Pangeran Bintang ya, mam?” Pinta Aying sambil menunjuk sampul buku.
“Baiklah…” Maya membuka halaman pertama dan mulai membacakan dengan suara lembut.
“Di sebuah negeri bernama Langit Ceria, tinggallah seorang putri yang suka melihat bintang. Ia selalu berharap suatu hari akan bertemu Pangeran dari langit…”
Suara Maya mengalun tenang. Aying mendengarkan sambil tersenyum kecil, kadang mengomentari.
“Putrinya kayak mama ya, cantik dan suka kerja…”
Maya tertawa pelan, “Kalau begitu, pangerannya seperti siapa ya?”
Aying berpikir sejenak. “Belum ada. Tapi nanti datang kok, dari langit.”
Maya terdiam sejenak. Kalimat itu entah kenapa menusuk pelan. Ia menatap wajah mungil Aying yang mulai mengantuk.
Beberapa menit kemudian, Aying pun terlelap. Nafasnya teratur dan damai. Maya mengecup kening anaknya, lalu berdiri pelan. Dia berjalan melangkah keluar kamar dan menutup pintu perlahan.
Di bawah, Surti sudah menyiapkan air putih dan handuk kecil di meja makan.
“Mbak Surti, tolong pastikan semua pintu terkunci ya. Saya mau istirahat.”
“Siap, Bu Maya. Satpam juga sudah standby di pos depan.”
Maya mengangguk.
“Terima kasih, Mbak. Saya mau duduk sebentar di teras, mau menikmati angin malam.”
Surti hanya tersenyum lalu berlalu. Maya berjalan ke teras rumah. Cahaya remang dari lampu taman menyinari halaman depan. Di pos jaga kecil, Pak Slamet, satpam setia mereka, terlihat sedang membaca koran. Ia menyapa Maya dengan hormat.
“Malam, Bu Maya.”
“Malam juga, Pak Slamet. Semua aman?”
“Aman, Bu. Insya Allah tenang malam ini.”
Maya duduk di kursi rotan, menatap langit gelap yang dihiasi taburan bintang. Hatinya tenang. Tapi tetap saja… ada ruang kosong di sana, yang belum juga terisi.
“Pangeran dari langit…” Gumamnya pelan, mengingat ucapan Aying.
Ia menutup mata sebentar. Tak tahu bahwa takdir diam-diam mulai merangkai kisah baru. Bukan dongeng, tapi nyata. Dan mungkin, tidak lama lagi, pangeran itu akan benar-benar datang.
**Luka yang Tak Pernah Hilang**
Kilatan petir di luar jendela menggelegar memecah keheningan malam. Maya berdiri di ambang pintu kamar dengan wajah tegang. Tangannya gemetar memegang hasil print dari telepon selulernya. Air matanya sudah mengering karena terlalu sering jatuh. Teringat kembali luka lama yang tak kunjung hilang, selalu terbayang-bayang.
Terbayang dalam ingatan, Rendy sedang duduk di tepi ranjang dengan santai, sambil mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Saat Maya masuk, Rendy hanya melirik sebentar lalu kembali menatap layar televisi.
“Rendy,” suara Maya bergetar, “kamu ke mana semalam?”
Rendy tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat alis, lalu berkata ringan, “Lembur. Kamu tahu sendiri, kerjaan kantor lagi padat.”
“Lembur di hotel bintang lima, ya?” Maya melemparkan selembar foto ke kasur. Foto yang diambil paparazzi Rendy sedang merangkul seorang perempuan muda berbaju minim, di lobi hotel mewah.
Wajah Rendy berubah seketika.
“Apa maksudmu bawa-bawa foto ini? Kamu nyuruh orang ngikutin aku?”
“Aku hamil delapan bulan, Ren!” suara Maya meninggi, nadanya penuh amarah dan luka. “Dan kamu malah main belakang dengan perempuan itu lagi? Perempuan murahan?!”
“Jangan panggil dia seperti itu!” Bentak Rendy tiba-tiba. “Dia lebih ngerti aku dari kamu! Kamu itu… terlalu sibuk, terlalu perfeksionis, terlalu dingin. Bahkan sebelum kamu hamil, kamu udah gak pernah dengerin aku!”
Maya terhenyak.
“Jadi sekarang salahku? Aku yang salah karena kerja keras demi masa depan kita? Karena ingin anak kita lahir tanpa kekurangan?!”
“Kamu gak pernah jadi istri yang aku butuhin, May,” suara Rendy mulai melemah, tapi penuh kepahitan. “Aku capek. Aku gak bisa terus begini.”
Maya menahan perutnya yang mulai tegang karena emosi. “Kamu tega ninggalin aku dalam keadaan seperti ini? Aku istrimu, Rendy. Kita sudah lima tahun menikah…”
Rendy berdiri, matanya menatap Maya tanpa rasa bersalah. “Dan lima tahun itu cukup buat aku tahu… kita gak cocok. Kita cerai saja.”
Dunia seakan runtuh di hadapan Maya.
“Cerai?” bisiknya lirih. “Kamu tega... Rendy... kita sedang menanti anak kita…”
“Tapi aku gak mau hidup pura-pura, Maya,” kata Rendy dengan dingin. “Aku sayang perempuan itu. Aku mau hidup sama dia.”
Maya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Air matanya jatuh perlahan, membasahi pipi. Tangannya memegangi perut, seolah melindungi bayi di dalamnya dari kekecewaan yang terlalu besar untuk dicerna.
“Keluar...!” Ucap Maya akhirnya. Suaranya dingin. “Kamu boleh pergi. Tapi jangan pernah datang lagi dalam hidupku. Atau dalam hidup anakku nanti.”
Rendy menatapnya sebentar. “Baik. Ini yang aku harapkan, tunggu surat cerai dari pengacara."
Tanpa banyak bicara lagi, Rendy mengambil dompet dan kunci mobil, lalu pergi. Tanpa menoleh.
Begitu pintu tertutup, Maya roboh ke lantai. Tangisnya pecah. Tangis dari seorang wanita yang baru saja dihancurkan oleh orang yang pernah ia cintai sepenuh jiwa.
Maya membuka matanya perlahan. Ia duduk di sofa ruang tamu rumahnya sekarang, dengan secangkir teh yang sudah dingin di tangan. Kenangan itu selalu datang di malam-malam seperti ini. Luka yang lama, tapi tetap terasa segar.
Ia menarik napas panjang, lalu menatap foto Aying di meja kecil di depannya.
“Aku gak akan biarin siapa pun menyakitimu Nak…, termasuk ayahmu sendiri,” bisiknya.
Dan malam itu, untuk kesekian kalinya, Maya berjanji akan kuat. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk Aying cinta sejatinya yang tak akan pernah pergi.
**Langkah Yang Tak Pernah Ragu**
Pagi itu, langit Surabaya tampak cerah. Matahari belum tinggi, tapi deru mobil dan suara klakson sudah memenuhi jalanan kota. Di sebuah rumah bergaya modern di kawasan elit Surabaya Barat, Maya sudah bersiap-siap sejak fajar.
Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya segar tanpa banyak polesan make-up dan kemeja putih berpadu celana bahan hitam membuatnya tampil elegan meski sederhana. Di tangannya, sebuah kotak bekal mungil berisi potongan buah dan roti gandum yang ia siapkan sendiri untuk Aying.
“Aying sayang, mama harus ke kantor,” suara lembut Maya memanggil dari ruang makan.
Aying, gadis kecil berusia empat tahun itu, berlari kecil dari kamarnya sambil memeluk boneka kucing kesayangannya.
“Mamaaa… jangan pergi lama-lama yaa…”
Maya tersenyum sambil mengusap kepala anaknya. “Mama janji pulang sore. Main yang baik sama bik Surti, ya.”
Setelah mencium kening Aying, Maya pun melangkah keluar rumah dengan langkah pasti. Di halaman, mobil Alphard hitam sudah menunggu dan di kursi depan ada Lia setia seperti bayangan.
“Pagi, May...,” sapa Lia sambil menyerahkan tablet berisi jadwal rapat hari ini.
“Pagi, Lia. Siap maraton lagi hari ini?” Maya tersenyum, tapi matanya penuh semangat.
“Selalu siap kalau sama bos Maya,” jawab Lia sambil tertawa kecil.
.
Perjalanan menuju kantor PT. Maya Food Surabaya selalu menjadi momen refleksi bagi Maya. Dia ingat betul saat memulai bisnis ini dari dapur kecil rumah kontrakan. Waktu itu, setelah Rendy pergi, ia hanya punya tabungan sisa nikah dan kemampuan memasak warisan ibunya.
Awalnya ia menjual makanan beku secara online ayam kremes, nugget homemade, hingga sambal kemasan yang dijajakan di marketplace. Lia, yang dulunya teman kuliahnya, memilih bergabung dan membantu dari awal. Mereka kerja siang malam, tidur hanya 3-4 jam sehari, dan sempat nyaris bangkrut.
Namun Maya tak pernah menyerah.
“Aku harus sukses. Harus. Biar orang-orang tahu, aku gak hancur karena ditinggal. Aku bisa berdiri lagi, bahkan lebih kuat dari sebelumnya,” ucapnya suatu malam kepada Lia, waktu mereka masih produksi dari dapur sempit itu.
Kini, tiga tahun berlalu PT. Maya Food telah memiliki pabrik produksi, puluhan karyawan, jaringan distribusi nasional, dan produk-produknya masuk di rak-rak supermarket besar. Di lantai dua gedung perkantoran megah di pusat Surabaya, nama Maya Food terpasang besar dan mencolok.
Maya turun dari mobil dan disambut dengan senyum hangat karyawan yang sudah menunggu di lobi.
“Pagi, Bu Maya!” Sapa mereka serempak.
“Pagi! Semangat, ya. Hari ini kita punya banyak kerjaan,” balas Maya penuh energi.
Di ruang kerjanya yang didesain modern minimalis, Maya duduk dan membuka laptopnya. Sejenak, dia menatap foto kecil Aying yang terpasang di sudut meja.
“Aku lakukan semua ini untukmu, Nak…”
Lia masuk membawa tumpukan dokumen.
“May, pengajuan kontrak kerja sama dengan minimarket nasional sudah dibalas. Meeting jam dua siang.”
Maya mengangguk dengan sebentuk senyuman yang manis.
"Bagus. Kita akan tembus pasar nasional tahun ini. Aku yakin, Lia."
Lia menatap Maya kagum. Ia tahu betul perjuangan sahabat sekaligus bosnya itu. Maya bukan hanya wanita kuat, tapi juga ibu yang luar biasa. Dalam diam, Lia selalu berdoa semoga Maya menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya bukan hanya di ruang kerja, tapi juga di dalam hatinya.
Dan siapa sangka, dalam waktu dekat… takdir akan mempertemukan Maya dengan seseorang yang mampu mengisi ruang kosong itu seseorang dari dunia yang jauh berbeda darinya.
*****
