Pustaka
Bahasa Indonesia

MAYA

64.0K · Tamat
S Madji
35
Bab
1.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Sinopsis Maya, CEO cantik dan sukses, memiliki rahasia yang menyayat hati, anak gadisnya, Aying, merindukan sosok ayah. Lima tahun menjanda setelah perceraian yang menyakitkan dengan Rendy, mantan suami, yang tergoda oleh perempuan lonte. Maya memutuskan untuk mencari "SUAMI KONTRAK" sebuah solusi yang terasa pahit namun perlu. Takdir mempertemukannya dengan Bramudia, barista tampan nan ramah di kedai kopi kesukaannya. Mereka berdua sering ketemu dan hubungan makin akrab. Saling bercerita tentang masa lalu yang sama-sama menyakitkan. Bram, yang menyimpan luka masa lalu, awalnya menolak tawaran Maya. Setelah mendengar permintaan tulus Maya dan perlihatkan foto Aying yang lucu imut. Bram akhirnya mau menjadi suami kontrak Maya demi Aying. Selama jadi ayah sambung Aying, Bram berusaha menjadi ayah yang baik. Kadang diwarnai pertengkaran kecil, karena cemburu. Diam-diam ada timbul rasa cinta dalam diri Maya, begitu juga dengan Bram sendiri. Apakah hubungan keduanya hanya sebatas perjanjian kontrak atau lanjut sebagai suami istri...?

RomansaMetropolitanIstriDewasaKawin KontrakKeluargaModernDrama

Di Balik Tirai Sempurna

Maya berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, menatap pemandangan kota Surabaya yang sibuk. Dia mengenakan blazer hitam yang sesuai dengan sosoknya, wajahnya didekorasi dengan riasan minimalis yang menekankan kecantikan alami. Namun, di balik senyumannya yang menawan, tersimpan luka mendalam akibat perceraian yang mengubah hidupnya.

"Maya, apakah kita sudah mendapatkan kabar terbaru dari pemasok?" Tanya Lia, asisten pribadinya Maya, sambil masuk ke dalam ruangan.

Maya berpaling dan memandang wajah Lia asisten pribadinya dengan tersenyum.

"Belum, tapi kita tidak bisa menunggu terus. Segera hubungi mereka dan pastikan kita mengikuti jadwal pengiriman. Kita tidak bisa membiarkan pelanggan kita menunggu." Suaranya tegas, tetapi tetap menunjukkan kepedulian.

"Baik, Bu bos. Saya akan segera menghubungi mereka," jawab Rina dengan bibir tersenyum, dia mencatat instruksi Maya dengan cepat.

Maya kembali menatap keluar, mengenang momen-momen indah yang pernah dia lalui sebelum perceraian. Sebuah ketukan lembut di pintu menarik perhatiannya.

Tok ... Tok... Tok ...!

"Masuk!"

Perintahnya, sebelum karyawan tersebut sempat mengetuk lagi.

Hendro, Manajer Pemasaran, melangkah masuk dengan wajah yang tampak gelisah.

"Bu Maya, kita perlu diskusi tentang strategi pemasaran untuk produk baru kita," ucapnya sambil merapikan dasinya.

Maya mengangguk, gestur sederhana yang menunjukkan bahwa dia siap untuk mendengarkan.

"Jelaskan apa yang Anda pikirkan, pak Hendro."

"Saya berpikir kita harus memanfaatkan media sosial lebih agresif. Generasi muda saat ini sangat terhubung secara online, dan kita harus merangkul itu," kata Hendro, terlihat antusias.

"Saya setuju," jawab Maya, mengalihkan perhatian dari jendela ke arah Hendro. "Namun, kita juga harus memikirkan anggaran yang ada. Pastikan semua pengeluaran sesuai dengan rencana."

Maya menekankan pentingnya disiplin dalam pengelolaan anggaran.

"Tentu, Bu. Saya akan menyusun proposal dan mempresentasikannya pada rapat berikutnya," katanya, sambil tampak lebih percaya diri.

"Bagus. Setiap ide harus didasarkan pada data, jadi pastikan untuk mencantumkan statistik yang mendukung. Kita harus memberi alasan yang kuat untuk setiap keputusan yang kita buat," Maya menambahkan, suaranya mencerminkan kewibawaan dan kepemimpinan yang kuat.

Mereka terus berdiskusi, Maya memberikan masukan tajam dan kritik konstruktif, memastikan setiap langkah yang diambil untuk perusahaan tidak hanya tepat, tetapi juga strategis. Suasana di ruangan itu penuh semangat, dan Maya selalu berusaha untuk membawa timnya menuju kesuksesan.

Setelah selesai berdiskusi, Hendro keluar, meninggalkan Maya sendiri lagi. Dia menghela napas, berusaha menyingkirkan ingatan menyakitkan tentang masa lalu. Dalam hatinya, tidak ingin dirinya terus terpuruk, yakin bahwa dia mesti bangkit demi Ying, putri tercintanya.

Maya menatap foto Ying yang menghiasi meja kerjanya. "Satu hari nanti, sayang, Ibu akan menemukan kebahagiaan lagi," bisiknya. Dengan tekad yang membara, Maya kembali fokus pada pekerjaan karena itulah yang dilakukannya terbaik.

**Momen Santai di Kafe**

Di tengah kesibukannya sebagai CEO, Maya selalu meluangkan waktu untuk makan siang di kafe kecil yang tak jauh dari perusahaannya, Kedai kopi Aroma. Tempat itu selalu ramai dengan pengunjung, namun kehangatan suasananya membuat Maya merasa betah. Begitu dia memasuki kedai, aroma kopi yang baru diseduh menyambutnya, dan senyuman lebar menghampiri dari arah belakang meja kasir.

"Mbak Maya...! Akhirnya sampean datang lagi ke sini? Rasanya kafe ini sudah seperti rumah kedua bagimu," seru Astri, pemilik kafe, dengan wajah berseri.

Maya tertawa ringan, "Iya, Tri. Kamu tahu sendiri, suasana di sini selalu membuatku lebih baik. Gimana kabar kamu?"

Maya mendekati Astri, memberi pelukan hangat yang membuktikan kedekatan mereka.

"Alhamdulillah, baik-baik saja. Beberapa pelanggan baru datang, jadi saya sibuk sedikit belakangan ini. Tapi senang kalau kamu datang. Apa kali ini mau pesan menu spesial saya?" Astri menawarkan, tatapannya penuh harapan.

"Tentu! Aku butuh sesuatu yang enak untuk menambah energi. Jadi, apa rekomendasimu hari ini?" Maya bertanya sambil melirik menu yang ada di tangan.

Hesti mulai menggerakkan tangannya menggambarkan hidangan.

"Kalau menurutku, kamu harus coba pasta carbonara dengan ayam panggang yang baru saja kami tambahkan. Sangat lezat! Dan jangan lupa memesan cappuccino, itu adalah spesial di sini!”

Maya mengangguk setuju, "Pas deh! Aku pesan dua porsi ya, satu untuk aku dan satu untuk kamu. Kita bisa makan sama-sama seperti biasanya."

Astri tersenyum, "Baiklah, akanku siapkan."

Setelah memesan, mereka berdua duduk di meja yang selalu menjadi favorit Maya, di dekat jendela yang memudahkan mereka untuk berbincang. Suasananya penuh gelak tawa dan candaan, terputus hanya oleh suara pengunjung lainnya yang menyapa.

"Mbak, aku ingin tahu, bagaimana proyek terbaru di perusahaan? Apa kabar mengenai produk baru yang kalian luncurkan?" Astri menanyakan dengan penuh ketertarikan.

"Oh, sedikit menantang. Kami sedang berjuang untuk menyelesaikan beberapa detail terakhir. Tapi, aku yakin semuanya akan berjalan lancar. Lagipula, aku kerja keras untuk memastikan Ying tidak merasa kesepian!" Maya menjawab sambil tersenyum. Hesti mengangguk, paham akan tanggung jawab Maya sebagai ibu dan CEO.

"Mengurus perusahaan dan anak memang tidak mudah, ya? Kau hebat, Maya. Kadang aku merasa kamu lebih dari sekadar teman, seperti kakak atau mentor bagiku," Astri berkata tulus.

Maya tersipu dan tertawa.

"Kamu pun seperti adikku, Astri. Kadang aku merasa sangat beruntung bisa memiliki sahabat sepertimu di sini. Ketulusanmu membuatku merasa lebih baik."

Menghargai dan saling mendukung, obrolan mereka tidak berhenti di situ. Hesti menceritakan tentang kehidupan sehari-harinya, mulai dari tantangan dalam memimpin kedai hingga kebahagiaan menerima pelanggan baru.

Maya juga dengan antusias memberitahu Astri tentang setiap kemajuan di perusahaannya, utamanya yang berkaitan dengan pengembangan produk.

Ketika makanan mereka tiba, Astri meminta Maya untuk berhenti sejenak dan melihat-lihat waiters lain yang membawa hidangan itu.

"Sekarang, silakan nikmati! Dan ingat, saya tidak pernah lelah mengingatkan bahwa kita selalu punya satu sama lain!" Ucap Astri dengan semangat.

Maya menyantap makanannya sambil tersenyum,"Tidak pernah akan kulupakan. Terima kasih, Astri. Makan siang ini benar-benar menghibur hati.”

Suara tawa mereka dan wangi kopi memenuhi kafe, mengubah momen makan siang yang biasa menjadi lebih berarti momen di mana persahabatan dan keakraban bertemu dalam kehangatan.

**Kembali ke Pelukan**

Maya baru saja memasuki halaman rumah elitnya yang dikelilingi taman yang rimbun dan asri. Sebuah mobil mewah berkilau memarkir sempurna di tempat yang telah disiapkan. Begitu pintu mobil terbuka, Aying, putri kecilnya, berlari menghampiri dengan penuh semangat. Dengan gaun berwarna cerah yang berkibar-kibar di belakangnya, Aying terlihat sangat ceria. Surti, babysitter yang setia menemani Ying, mengikutinya dengan senyum lembut.

"Mama...!" Teriak Aying ing dengan gembira, melompat-lompat kecil mendekati Maya.

Maya tersenyum, hatinya penuh rasa bahagia. "Sayang! Ibu rindu sekali!" Dia segera membungkuk dan mengangkat Aying ke pelukannya, mencium pipi lembutnya.

Aying mengelus wajah ibunya dengan tangan kecilnya, matanya berbinar-binar.

"Mama, aku sudah menunggu pulang dari pagi! Bik Surti bilang mama akan segera datang."

"Iya, Maaf mama terlambat. Ada banyak pekerjaan," Maya menjelaskan lembut sambil menggendongnya. "Tapi sekarang mama di sini, kita bisa bermain bersama."

"Ayo kita main petak umpet! Aku sudah siap!" Kata Aying dengan semangat, menggerakkan kakinya lepas dari dekapan Maya.

Maya menurunkan Aying dengan hati-hati dan mengusap rambut anaknya.

“Tunggu dulu, nak! Mama perlu meletakkan tas dan mengganti sepatu terlebih dahulu, baru kita bisa bermain.”

Aying merengek sambil menggenggam tangan ibunya.

"Tapi mama janji! Aku sudah tidak sabar! Jika tidak cepat, aku akan menangis!" wajahnya tiba-tiba berubah cemberut, dan matanya mulai berkaca-kaca.

Maya tidak pernah bisa tahan melihat wajah kecewa Aying.

"Baiklah, baiklah! Aku akan cepat. Nanti, setelah mempersiapkan semuanya, kita akan bermain selama satu jam penuh. Bagaimana?"

Ying tersenyum lebar,"Satu jam? Yaay! Aku mau jadi yang paling cepat menghitung!" Dia melompat gembira.

Surti yang berdiri di belakang mereka ikut tertawa, "Ying memang sangat impatient, ya, Bu. Dia selalu ingin melakukan segalanya lebih cepat."

Maya menatap Aying dengan penuh cinta. "Kamu memang anak yang sangat bersemangat, sayang. Menghitung dengan baik, ya. Mama akan mempersiapkan semuanya."

Aying lalu berlari kembali ke taman, bersiap untuk permainan mereka nanti. Maya tersenyum melihat keceriaan putrinya, tetapi juga merasakan tekanan dalam hatinya. Dia berusaha keras untuk menemukan waktu berkualitas bersama Aying di tengah kesibukannya sebagai CEO.

Setelah meletakkan tas dan mengganti sepatu, Maya berjalan menuju taman di mana Ying sudah tidak sabar menunggu.

"Mama, sekarang! Ayo mulai!" Teriak Aying dengan penuh semangat.

Maya mengangguk, matanya berkilau. "Baiklah, Nak. Aku akan hitung sampai sepuluh. Kamu siap bersembunyi?"

"Siap!" Jawab Aying, berlari jauh ke sudut taman yang sejuk.

"Satu... dua... tiga..." Maya mulai menghitung, sambil merasakan betapa berharganya momen ini. Semua kesibukan dan kelelahan seolah larut, tergantikan oleh tawa dan kehangatan cinta ibu dan anak. Ketika Maya membuka matanya, dia tahu bahwa menciptakan kenangan indah bersama Ying adalah prioritas utamanya.

**Kenangan Yang Menyakitkan**

Malam itu, setelah bermain petak umpet dan menghabiskan waktu berkualitas, Maya duduk di sofa ruang keluarga bersama Aying yang mengantuk. Aying bersandar di bahu ibunya, matanya mulai berat. Suasana tenang, namun hati Maya bergelora dengan kerinduan yang mendalam. Dia mengenang masa lalu yang penuh luka.

Aying tiba-tiba membuka suara, memecah keheningan, "Ma, kapan papa akan pulang? Aku ingin main sama papa."

Maya terdiam sejenak, hatinya serasa terjepit. Pertanyaan itu mengena langsung ke jantungnya. Dia mengarahkan pandangannya ke jendela malam yang bertabur bintang, berusaha menahan air mata yang mengancam untuk jatuh.

"Papa sedang bekerja di luar negeri, sayang. Dia sangat sibuk," jawab Maya, suaranya bergetar meskipun berusaha terdengar tenang.

"Tapi ma... aku tidak pernah melihatnya. Kenapa papa tidak pernah menelepon kita? Kenapa tidak ada foto-foto papa di rumah?" Tanya Aying, nada suaranya menunjukkan ketidakpuasan dan kerinduan yang mendalam.

Maya merasa hatinya nyeri mendengar pertanyaan polos dari putrinya. "Papa kamu sangat sibuk dengan pekerjaan, Ying. Kadang orang dewasa harus melakukannya untuk memenuhi kebutuhan kita. Dia pasti mencintaimu."

"Tapi, aku rindu ma! Aku ingin dia kembali dan main sama kita. Kenapa kita tidak pergi menjemputnya?" Aying menggenggam tangan ibunya erat, seolah meminta jaminan bahwa keinginannya bisa terwujud.

Maya menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang mengalir. "Nanti, suatu saat, kita akan pergi menjemput papa. Tapi sekarang, kita harus sabar. Mama akan selalu ada untukmu," ujar Maya, berusaha mempertahankan kekuatan di tengah rasa sedih yang menyesak.

"Tapi... aku tidak ingin papa hanya ada di cerita. Sejak mama bercerai, semuanya jadi aneh. Teman-temanku di sekolah punya ayah dan ibu. Kenapa kita tidak?" Aying menatap ibunya dengan wajah penuh harap, tanpa menyadari beban emosional yang dia timbulkan.

Rasa sesak semakin menggerogoti hati Maya. "Ying, perpisahan itu bukan salah kita. Mama dan papa punya masalah yang harus diselesaikan. Kita tidak boleh menyalahkan diri sendiri. Dan yang terpenting, kamu selalu bisa mencintai mama dengan sepenuh hati."

Aying mengerucutkan bibirnya, tampaknya masih kebingungan. "Tapi kenapa Ibu tidak bilang yang sebenarnya? Kenapa Ibu harus berbohong?" Tanyanya dengan nada sedih.

Maya menarik Aying ke dalam pelukannya, membelai rambutnya lembut. "Karena Ibu ingin melindungimu dari rasa sakit yang bisa datang dari kebenaran. Aku tidak ingin kamu merasa kehilangan, sayang."

Aying terdiam, menyimak kata-kata Maya dengan penuh perhatian. Dia mungkin belum sepenuhnya mengerti, tetapi merasakan ketentraman di dalam pelukan hangat ibunya. "Tapi, aku ingin papa di sini, ma," ucapnya pelan.

Maya memejamkan mata, merasakan air mata jatuh di pipinya. "Mama tahu, sayang. Aku pun merindukan kehadiran seorang. Mari kita berdoa agar suatu hari nanti kita bisa bersama lagi."

"Iya, kita berdoa," Aying mengangguk pelan, menebarkan rasa pengertian yang murni bagi orangtuanya.

Maya berusaha tersenyum meski hatinya nyeri, terpaksa bersembunyi di balik kebohongan tentang ayah Aying. Dia tahu, selagi Ying belum siap menerima kenyataan, dia akan melakukan apa saja untuk menjaga kebahagiaan putrinya, meskipun itu berarti menyimpan luka lama sendiri.

**Kenangan Pernikahan Yang Gagal**

Malam itu, saat gema suara hujan menimpa atap rumah, Maya duduk di ruang tamu sendirian sambil memegang album foto. Dengan jari telunjuknya, dia mengelus foto-foto pernikahannya yang penuh senyuman dengan mantan suaminya, Rendy. Namun, di balik senyuman itu, ada kenangan pahit yang terus menghantui.

"Kau tidak bisa terus seperti ini, Maya," ucap Rendy, nada suaranya datar dan penuh ketidakpedulian. "Aku sudah menemukan orang yang membuatku lebih bahagia."

Setiap kata yang keluar dari mulut Arga seperti belati, menusuk jauh ke dalam sanubari Maya. Dia teringat bagaimana mereka pernah merencanakan masa depan bersama; impian-impian yang seharusnya menjadi kenyataan. Dan ketika Ying lahir, seharusnya itu menjadi momen terindah bagi mereka. Namun, semua itu sirna.

"Bagaimana bisa, Rendy? Apakah cinta kita tidak berarti apa-apa bagimu? Detak hati Maya bergetar. Terlalu sakit untuk diingat.

"Maya, kita tidak bisa terus berbohong. Aku… aku lebih memilih dia. Aku pergi," kata Arga dingin seakan semua yang mereka bangun tidak pernah ada.

Maya menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata,"Kamu mau meninggalkan kami? Ying masih bayi. Kapan kamu akan kembali? Bukankah kita sudah berjanji untuk saling mencintai selamanya?"

"Aku butuh kebahagiaan, dan dia memberikannya padaku. Aku tidak ingin terjebak dalam ikatan ini lebih lama lagi," Rendy menjawab tanpa rasa empati.

Dalam saat itu, seluruh dunianya runtuh. Maya merasakan kesedihan yang dalam, bertanya-tanya kenapa semua itu bisa terjadi. Bagaimana dia bisa lebih memilih pergi daripada berjuang? tanyanya dalam hati.

Setelah perceraian, Maya berjuang untuk tetap tegar. Dia ingin Aying tumbuh dengan bahagia tanpa merasakan getaran pahit dari perpisahan tersebut. Namun, setiap malam ketika putrinya tertidur lelap, dia merasakan kesepian yang menyengat di relung hatinya.

"Ibu harus kuat. Aying butuh Ibu," bisiknya kepada diri sendiri, berusaha menghibur hatinya. "Aku tidak akan membiarkan kesedihan ini merusak kebahagiaan kita."

Maya bergelut dengan perasaan bersalah yang terus membayangi. Apakah ini semua salahku? Apakah aku tidak cukup baik untuk Arga? Dia sangat berjuang untuk menerima bahwa dia hanya menjadi pilihan kedua, dan yang lebih menyakitkan, dia ditinggalkan saat paling rentan saat Aying baru lahir.

"Ibu pasti bisa melewati ini," katanya kepada Aying ketika putrinya tertidur. Biasanya, Maya akan mengusap kepalanya dan berdoa agar mereka bisa memiliki masa depan yang lebih baik tanpa kehadiran Rendy.

Setiap kali Aying bertanya mengenai ayahnya, Maya harus menahan rasa sakit dan berbicara dengan penuh ketulusan, "Papa sedang bekerja di tempat yang jauh, nak. Tapi Ibu selalu ada untukmu."

Meski hatinya terluka, Maya bertekad untuk menjadi ibu yang kuat dan penuh kasih. Dia tahu, Ying tidak boleh merasakan kesedihan yang sama yang ia rasakan.

"Apa pun yang terjadi, Ibu akan selalu melindungimu, sayang. Ibu akan berjuang untuk kita," bisiknya penuh tekad dalam hati.

Maya melihat anaknya yang terlelap, wajahnya penuh kedamaian. Dalam hati, dia berjanji tidak akan mengenang masa lalu yang menyakitkan ini terlalu lama. Kebahagiaan Aying adalah prioritas utama Ibu. Hanya ingin yang terbaik untukmu, meski harus melawan setiap luka dalam hati ini.

Kembali ia menatap foto-foto dalam album yang sengaja disembunyikan, rencana yang hancur, dan hati yang patah. Dalam keheningan malam yang gelap, Maya menyadari satu hal apapun cobaan yang dia hadapi, dia akan terus berjuang demi kebahagiaan putrinya.

**Pagi yang Ceria di Dapur**

Pagi ini, sinar mentari menembus tirai dapur, membangunkan Maya dan Surti lebih awal dari biasanya. Dengan bersemangat, mereka bersiap untuk mengisi perut dengan sarapan yang lezat sebelum hari yang panjang dimulai. Sementara Ying masih terlelap di kamarnya, Maya dan Surti berkumpul di dapur yang nyaman.

"Bu, hari ini kita akan jadi chef terkenal, ya?" Surti berseloroh sambil membuka lemari es. "Atau kita akan jadi chef yang terkenal bikin bencana? Hahaha!"

Maya tertawa, menikmati lelucon Surti. "Jangan khawatir! Jika kita menjadi bencana dapur, setidaknya kita akan menjadi bencana yang lezat, kan?"

Surti mengambil telur juga bahan-bahan yang lain dari kulkas.

"Oke, jadi apa kita mulai dari omelet spesial Ibu? Bahan-bahannya sudah siap, kan?"

Maya mengangguk, "Iya, ayo kita buat omelet dengan sayuran segar. Jangan lupa, kita harus juga membuatkan Ying pancake kesukaannya!"

"Pancake, omelet... bisa-bisa kita jadi chef terkenal pada kafe kita sendiri, ya, Bu," Surti menggoda sambil memecahkan telur ke dalam mangkuk, butiran kuning telur berpadu dengan putihnya. "Atau mungkin kita bisa bekerja sama dengan Kafe Aroma?"

"Oh, jangan-jangan Kafe Aroma masih punya trauma dari kehadiran kita di sini!" Maya membalas, tersenyum. "Ingat, terakhir kita hampir membakar roti."

Surti tertawa terbahak-bahak karena masih segar dalam ingatan. Yang bikin roti setengah gosong.

"Itu karena sampean terlalu bersemangat membantu, Bu. Aku tidak akan melupakan howl fiasco itu! Seharusnya kita ditawari pekerjaan di sirkus alih-alih di dapur," ujarnya sambil menyusuri adonan pancake.

Maya mengambil sendok dan membantu mengaduk adonan pancake.

"Berharap pelanggan tidak kabur ke sirkus jika mereka melihat kita di dapur," jawabnya sambil berusaha menahan tawa.

Setelah beberapa saat sibuk memasak, aroma hasil masakan mulai memenuhi dapur. Surti menghidangkan pancake di atas piring, sementara Maya dengan teliti memasak omelet.

"Ternyata kita berdua bisa juga memasak, meski hasilnya lebih mirip lukisan abstrak!" Surti bergojlok, menunjuk omelet Maya yang agak membulat. "Hei, ini kan bisa jadi karya seni!"

Maya menepuk pundak Surti sambil tersenyum. "Yang penting kan rasanya enak, bukan penampilannya?" Dia kemudian menata sarapan di atas meja makan. "Ayo, kita hidangkan semua ini sebelum Aying terbangun."

"Sesuatu yang enak untuk memulai hari dengan baik! Bu, seandainya kita punya program masak di televisi, judulnya pasti 'Bencana Dapur Bersama Maya'," Surti menambahkan sambil meneruskan candaan.

Akhirnya, mereka siap untuk menikmati hasil kerja keras mereka. Maya melihat sarapan yang penuh warna dan mulai mengatur meja makan dengan sendok dan piring.

"Mari kita berdoa supaya Aying suka dengan sarapan kita," Maya berkata, tidak lupa mendoakan agar segala urusan hari ini berjalan lancar.

Surti menyilakan tangan kirinya, "Dan biar tidak ada yang gagal di dapur hari ini! Semoga kita tidak menjadi chef yang terkenal karena bencana!"

Maya tertawa, merasakan hangatnya suasana pagi yang ceria. "Amin! Sekarang, ayo kita makan sebelum Ying bangun."

Ketika mereka berdua duduk di meja makan, Maya merasa bersyukur bisa berbagi momen ini dengan Surti. Keduanya tahu bahwa dengan candaan dan kerja sama yang baik, segala rintangan bisa dilalui, termasuk hari yang penuh tantangan nanti di kota Jakarta.

*****