Sang CEO Di Balik Layar Kaca
Lampu-lampu sorot menyoroti panggung studio TV Swara Bisnis. Para kru mondar-mandir menyiapkan kamera, mikrofon, dan naskah terakhir. Di balik panggung, Maya duduk tenang di ruang tunggu, mengenakan blazer putih tulang yang elegan, rambut hitamnya disanggul rapi, dengan pulasan makeup natural yang menonjolkan kecantikannya.
"Siap, Bu Maya?" tanya seorang kru perempuan sambil tersenyum ramah.
Maya menoleh dan membalas senyum,"Siap. Deg-degan sedikit, tapi sudah biasa."
Kru itu tertawa.
"Tenang, Ibu pasti keren seperti biasa. Host-nya juga santai kok."
Maya berdiri, merapikan blazernya. Ia melangkah menuju panggung dengan aura percaya diri yang menawan.
Lampu menyala terang. Musik pembuka mengalun. Kamera mulai merekam.
"Selamat malam, pemirsa! Kita kembali di acara Swara Bisnis, tempat kita ngobrol santai bareng para tokoh inspiratif Indonesia!" sambut sang host, Rahma, dengan senyum cerah. "Dan malam ini, kita kedatangan sosok perempuan hebat, CEO muda dari PT. Maya Food Surabaya yang produknya kini merambah pasar Asia! Inilah… Maya Azizah!"
Tepuk tangan bergemuruh. Maya melangkah masuk dengan senyum anggun, menyalami Rahma dan duduk di sofa putih yang disediakan.
"Selamat malam, Mbak Maya. Cantik banget malam ini!" Puji Rahma.
"Selamat malam, Mbak Rahma. Wah, terima kasih. Saya jadi grogi nih dipuji host secantik ini," balas Maya santai, membuat penonton tertawa kecil.
"Langsung aja ya, Mbak Maya. Banyak banget pemirsa penasaran, gimana sih perjalanan PT. Maya Food bisa sampai sebesar ini?"
Maya menatap Rahma dengan tatapan penuh keyakinan. Pandangan matanya tertuju pada kamera.
"Awalnya dari dapur kecil di rumah. Saya suka bereksperimen bikin frozen food sehat buat anak. Eh, teman-teman suka, terus pesanan datang dari mana-mana. Saya nekat ajak dua teman kuliah untuk mulai usaha. Modal waktu itu? Hanya semangat dan keyakinan."
Rahma manggut-manggut, "Dan sekarang, produk Maya Food ada di rak-rak supermarket besar ya?"
"Alhamdulillah, iya. Tapi prosesnya panjang dan nggak mudah. Pernah ditolak lima distributor besar karena katanya brand kita belum meyakinkan. Tapi saya percaya, kalau produk kita punya nilai, cepat atau lambat akan ditemukan."
"Tangguh banget. Ngomong-ngomong, banyak juga perempuan muda yang ingin jadi CEO kayak Mbak Maya. Ada tips khusus?"
Maya tersenyum lebar, "Jangan takut gagal. Saya pernah rugi ratusan juta karena keputusan yang salah. Tapi dari situ saya belajar. Yang penting, kita harus punya alasan yang kuat kenapa kita memulai usaha. Buat saya, alasannya adalah… anak saya."
Rahma tampak tertarik. "Oh, Bu Maya ternyata seorang ibu?"
"Iya. Saya single mom. Anak saya, Aying, adalah alasan kenapa saya terus maju."
Penonton terdiam, tersentuh oleh pernyataan Maya yang jujur dan hangat.
"Wow. Hebat banget. Seorang ibu, CEO, dan masih bisa tampil secantik ini," ujar Rahma dengan tulus.
Maya tertawa kecil.
"Kuncinya satu, jangan lupa sayangi diri sendiri. Kalau kita bahagia, anak juga bahagia. Tim kerja pun jadi nyaman."
"Ada pesan terakhir buat para perempuan di luar sana?"
Maya menatap kamera, nadanya tenang namun mengena.
"Jangan pernah ragu bermimpi besar. Meski dunia kadang bilang kita lemah, buktikan bahwa kita bisa jadi kuat, tangguh, dan tetap penuh kasih."
Tepuk tangan kembali bergemuruh.
Sesi talk show malam itu ditutup dengan hangat. Maya berdiri, menyalami Rahma sekali lagi. Di balik sorot lampu dan kamera, senyum Maya perlahan memudar. Di dalam dirinya, tersimpan rindu seorang anak kecil yang masih berharap pada keajaiban, kehadiran seorang ayah di samping ibunya.
** Sorotan Dan Senyuman **
Udara malam Jakarta terasa hangat, namun suasana di depan gedung stasiun televisi justru semakin ramai. Puluhan wartawan, vlogger, dan fans berseliweran, siap menangkap momen keluarnya Maya Astari dari studio. Flash kamera mulai menyala satu per satu ketika pintu lobi terbuka.
Maya melangkah keluar dengan anggun, ditemani oleh asistennya, Lia, yang sigap menuntun dan mengatur jarak para wartawan. Blazer putih Maya masih tampak rapi, senyum tenangnya tetap menghiasi wajah cantiknya. Langkah kakinya ringan, seolah tak terganggu dengan kerumunan yang mengelilinginya.
"Mbak Maya, lihat ke sini ya!"
"Bu Maya, senyum dong untuk InstaBizTalk!"
"Maya Astari, apakah benar kabar Anda akan IPO tahun ini?"
Maya hanya tersenyum kalem, melambai sebentar ke kamera.
"Terima kasih atas perhatian teman-teman semua. Soal IPO, kita sedang persiapkan dan akan diumumkan di waktu yang tepat, ya."
"Benarkah Bu Maya dekat dengan salah satu investor dari Singapura?"
"Kita hanya menjalin hubungan kerja sama, tidak lebih dari itu."
"Lalu soal rencana ekspansi ke Malaysia, Bu Maya?" Tanya wartawan dari kanal bisnis daring.
"Masih tahap riset dan negosiasi. Tapi doakan saja, semoga berjalan lancar," jawab Maya ringan.
Namun keramaian tak berhenti di situ.
"Bu Maya, soal kehidupan pribadi, benarkah Anda masih sendiri sejak bercerai lima tahun lalu?"
Pertanyaan itu langsung membuat suasana sedikit berubah. Beberapa kamera makin mendekat, mikrofon diarahkan tepat ke wajah Maya.
Lia menegang, siap melindungi, namun Maya tetap tersenyum. Ia menatap wartawan itu, lalu berkata lembut, "Maaf ya, untuk urusan pribadi saya rasa tidak untuk konsumsi publik. Saya berharap teman-teman media bisa memahami."
"Bu Maya, dengar-dengar putri Anda, Aying, sangat merindukan sosok ayah. Apakah itu alasan Anda menolak banyak lamaran pria belakangan ini?"
Maya kembali tersenyum. Kali ini senyumnya sedikit sendu. "Anak saya, seperti anak-anak lain, pasti ingin keluarga yang utuh. Tapi sebagai ibu, saya berusaha memberikan yang terbaik sesuai kemampuan saya. Selebihnya… izinkan saya menyimpannya sebagai bagian dari hati saya sendiri."
Wartawan terdiam sejenak. Satu dua kamera masih memotret, tapi tak ada lagi yang berani melontarkan pertanyaan tajam.
Lia berbisik di sampingnya, "May, mobil sudah siap."
Maya mengangguk pelan. Sebelum pergi, ia menatap para awak media sekali lagi, "Terima kasih atas dukungannya. Saya doakan semua rekan media sehat dan sukses selalu. Sampai jumpa."
Dengan langkah tenang, Maya memasuki mobil hitam yang telah menunggunya. Lia duduk di sampingnya. Begitu pintu ditutup, suara luar mendadak senyap.
Di balik kaca jendela mobil, Maya memandangi kerumunan wartawan yang mulai bubar.
"Seandainya mereka tahu, betapa sunyinya hati yang penuh pujian..." gumamnya lirih.
Lia menoleh, menatap Maya yang kini menyandarkan kepalanya ke jok, memejamkan mata.
“Maya, kamu jangan terlalu capek?”
Maya membuka matanya perlahan dan menatap langit malam dari balik kaca. “Capek… bukan karena talk show, tapi karena pura-pura kuat terus.”
Lia menggenggam tangan Maya pelan. “Aying pasti bangga punya ibu seperti Maya…”
Maya mengangguk, meski setitik air bening jatuh diam-diam dari sudut matanya.
"Langsung ke hotel, Pak," kata Lia kepada sopir taksi sambil menutup pintu belakang mobil.
"Siap, Bu," jawab sopir itu ramah.
Maya duduk tenang di kursi belakang, masih menatap lampu kota Jakarta yang melintas cepat di balik kaca. Meski wajahnya tampak kalem, hatinya mulai terasa penat. Malam semakin larut, dan tubuhnya mulai terasa letih. Acara talk show tadi cukup menyita energi, belum lagi kehebohan media yang selalu menggiring pertanyaan ke arah kehidupan pribadinya.
Lia yang duduk di samping Maya, melirik tablet di tangannya, memeriksa kembali jadwal esok hari.
“Besok pagi jam delapan, kamu jadi pembicara di forum CEO Nasional. Ada juga sesi diskusi panel bareng beberapa pemilik start-up besar. Siang kita langsung terbang balik ke Surabaya.”
Maya hanya mengangguk, lalu memejamkan mata,“Malam ini aku cuma ingin tidur tenang. Rasanya sudah lama sekali aku nggak tidur tanpa mimpi buruk.”
Lia tersenyum simpul dan sangat mengerti dengan kondisi kelelahan sahabatnya, sekaligus bos di tempat kerjanya.
“Nanti saya minta kamar yang paling tenang dan jauh dari lift. Ibu bisa istirahat total.”
Taksi pun meluncur ke hotel bintang lima di kawasan Sudirman. Begitu sampai, petugas hotel segera menyambut mereka dengan ramah. Maya hanya tersenyum sopan, sementara Lia mengurus check-in di meja resepsionis.
“Malam ini kita dapat kamar suite, Maya. Di lantai 20. Tenang dan ada pemandangan kota,” kata Lia seraya menyerahkan kunci kamar elektronik.
Maya berjalan pelan menuju lift, sementara Lia di belakang menarik koper. Begitu sampai di kamar, Maya langsung melepas heels-nya dan menjatuhkan tubuh di sofa putih yang empuk.
“Aku mandi dulu ya, Lia.”
“Silakan, besty. Saya siapkan baju tidurnya dan teh hangat. Mau dibikinkan juga aromaterapi lavender?”
“Boleh…” jawab Maya pelan.
Kamar hotel itu begitu mewah, dengan kaca besar yang memperlihatkan kerlap-kerlip lampu kota. Tapi malam itu, kemewahan tak bisa menghapus sepi yang mengendap di dalam dada Maya. Ketika air hangat menyentuh tubuhnya, yang terasa bukan hanya kelegaan… tapi juga kesedihan yang pelan-pelan merayap naik ke matanya.
Beberapa menit kemudian, Maya keluar dari kamar mandi dengan balutan bathrobe putih. Rambutnya dikeringkan separuh, dan ia berjalan ke jendela besar, menatap malam Jakarta.
“Aku rindu rumah… dan rindu Aying…” bisiknya pelan.
Lia datang membawa secangkir teh hangat. “Aying tadi video call sebentar sama Surti di rumah. Katanya dia tidur sambil peluk boneka beruang yang kamu kasih.”
Maya tersenyum, lalu mengambil teh dari tangan Lia. “Terima kasih Lia, kamu bukan cuma asisten, tapi teman.”
Lia duduk di ujung sofa. “Saya selalu ada buat kamu. Dan kalau boleh jujur… saya harap suatu hari nanti, ada seseorang yang bisa membuat kamu nggak harus selalu kuat sendirian.”
Maya menoleh. Pandangannya jauh.
“Aku juga berharap begitu, Lia. Tapi nggak mudah. Aku butuh seseorang… bukan hanya untukku… tapi juga untuk Aying.”
Lia diam sejenak. Ia tahu, di balik karisma dan keanggunan Maya, ada hati yang sudah terlalu lama menahan luka. Dan mungkin, tak lama lagi, takdir akan mempertemukan Maya dengan seseorang yang bisa mengubah semua kesepiannya.
*****
