Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Gagasan Gila Atau Jalan Keluar?

Malam itu hujan turun gerimis membasahi jendela kamar Maya. Di atas tempat tidurnya yang empuk, Maya duduk bersandar sambil memeluk selimut. Lampu baca menyala hangat, dan tablet di tangannya menampilkan sebuah artikel dari laman parenting yang baru saja ia temukan.

"Konsep Ayah Sambung Kontrak: Solusi Emosional untuk Anak Tanpa Figur Ayah?"

Judul itu langsung menyita perhatian Maya. Ia membaca dengan seksama. Artikel itu menceritakan tentang seorang ibu tunggal yang menyewa seorang pria untuk berpura-pura menjadi ayah bagi anaknya demi kesehatan mental dan kebahagiaan si kecil. Hubungan itu bersifat profesional dan terikat kontrak, dengan batasan dan kesepakatan jelas.

Maya membelai rambutnya yang terurai. Wajah Aying terlintas di benaknya.

“Kalau ini bisa membuat Aying bahagia… kenapa tidak?” gumamnya pelan.

Paginya, saat berada di ruang kerja pribadinya di lantai atas kantor PT. Maya Food, Maya memanggil Lia yang tengah mengecek agenda meeting hari itu.

“Lia… aku mau ngobrol, tapi bukan soal kerjaan,” kata Maya serius.

Lia langsung duduk di hadapan Maya dengan penasaran.

“Oke,” ujar Lia, "serius amat, ada yang salah ya?"

Maya menyerahkan tablet yang menampilkan artikel semalam. “Coba baca ini. Aku… aku kepikiran sesuatu.”

Lia membaca cepat, lalu mengangkat alis. “Ayah sambung kontrak? Ini kayak ide di film ya, May…”

“Tapi masuk akal, kan?” Maya menatapnya. “Aying makin hari makin sering nanyain soal papanya. Dia bilang iri lihat temen-temennya yang dijemput ayah mereka. Aku bisa jadi ibu, Lia, tapi... aku gak bisa isi kekosongan itu sendirian.”

Lia menarik napas pelan dan mencoba memahami keinginan Maya.

“Aku paham, Mbak. Aku tahu kamu sudah berjuang luar biasa buat Aying. Tapi konsep ini… serius sudah kamu pertimbangkan?”

“Ya. Tapi aku gak akan asal pilih. Ini bukan cuma soal aku. Ini soal Aying. Aku cuma mau dia bahagia.”

Lia termenung. Ia menatap Maya lama, seolah sedang menimbang. Dirinya tidak ingin ada penyesalan dibelakang hari.

“Aku gak bilang ini ide buruk. Tapi jangan buru-buru ya, Mbak. Semua butuh pertimbangan matang. Pria seperti apa yang kamu cari? Bisa dipercaya gak? Niatnya baik gak? Jangan sampai malah jadi bumerang.”

Maya mengangguk pelan. Memahami apa yang diucapkan Lia ada benarnya, dirinya juga tidak sembrono dalam hal ini.

“Aku tahu. Aku gak akan gegabah. Aku cuma… ingin lihat harapan di mata Aying. Waktu dia cerita bonekanya pura-pura punya papa… hatiku hancur, Lia.”

Lia menggenggam tangan Maya dengan lembut, “Kamu ibu hebat. Dan aku akan dukung apapun keputusan kamu. Tapi janji ya, pelan-pelan. Kalau Tuhan mengizinkan, mungkin orang yang tepat itu akan datang di waktu yang tepat.”

Maya tersenyum sendu, “Iya, Lia. Mungkin ini gila. Tapi buat anakku… aku rela lakukan apapun.”

Di luar jendela, awan menggantung di langit Surabaya. Tapi di hati Maya, mulai muncul secercah ide baru. Mungkin benar, kebahagiaan anak adalah alasan paling logis untuk melakukan hal paling tak masuk akal sekalipun.

** Aroma yang Membawa Cerita **

Maya melangkah masuk ke dalam Kedai Kopi Aroma di sudut Jalan yang tidak jauh dari perusahaan PT. Maya Food, tempat favoritnya yang selalu berhasil menenangkan pikiran. Bau kopi khas yang kuat menyambutnya, mencampur dengan aroma kayu dari interior bergaya vintage yang hangat. Di pojok ruangan, lagu jazz mengalun lembut dari speaker, menambah suasana santai yang Maya butuhkan pagi itu.

Di balik meja bar, seorang gadis dengan senyum manis langsung melambai.

“Hallo besty...! Tumben datang pagi-pagi begini,” sapa Astria, adik Bram yang juga sekaligus sahabat dekat Maya.

“Lagi butuh pelukan dari secangkir kopi hitam,” Maya tersenyum, meletakkan tas tangannya di kursi kayu tinggi di depan meja bar. “Dan ngobrol sama kamu pastinya.”

Astria tertawa kecil sambil mulai meracik kopi. “Yang spesial ya? Kopi Aceh Gayo kesukaan kamu?”

“Yap. Yang bisa nyembuhin kepala penuh pikiran,” jawab Maya sambil menghela napas panjang. Matanya sesekali melirik foto besar di dinding, seorang pria tampan berbalut apron dengan senyum khas dan tatapan teduh, Bramudia.

Astria mengikuti arah pandangan Maya dan nyengir. Ia tahu kalau sahabatnya itu diam-diam terpesona dengan Bram, kakaknya.

“Gak bosan apa, tiap ke sini, yang dipantengi pasti foto mas Bram?”

Maya tersipu lalu tertawa.

“Itu foto favoritku di kedai ini. Tapi sampai sekarang aku belum pernah lihat dia langsung.”

Astria meletakkan cangkir kopi di depan Maya. “Lagi di Bandung. Ada pertemuan komunitas barista se-Indonesia. Tujuh hari di sana. Kalau enggak, kamu udah bisa salaman sama dia.”

“Wah, berarti aku belum beruntung ya,” gumam Maya sambil meniup uap kopi perlahan. “Kapan sih Bram balik?”

“Mungkin Sabtu sore. Tapi kayaknya minggu depan dia baru aktif di kedai lagi. Kenapa? Penasaran?”

Maya memutar cangkir kopinya sambil menatap ke luar jendela. “Entahlah. Kayaknya dia punya aura… damai. Diliat dari foto aja, aku bisa nebak dia tipe yang sabar dan ramah.”

Astria menyandarkan tubuh ke meja bar. “Dia memang gitu. Bram itu lelaki penuh luka masa lalu, tapi enggak pernah nunjukin kalau dia rapuh. Dia suka dengerin orang dan jarang mengeluh. Cocok jadi teman ngobrol atau… calon ayah sambung mungkin?”

Maya nyaris tersedak kopinya.

“Woy! Kamu denger dari siapa soal itu?”

Astria terkekeh. “Lia curhat waktu kita makan bareng. Tenang aja, aku jaga rahasia. Tapi kalau aku boleh jujur, ide kamu itu… aneh, tapi juga berani. Dan entah kenapa… kayaknya kakakku cocok.”

Maya terdiam sejenak. “Aku belum tahu. Mungkin aku cuma cari tempat buat Aying bersandar. Tapi aku juga takut… terlalu berharap.”

Astria tersenyum lembut. “Kadang orang yang tepat muncul dari tempat yang nggak kamu sangka. Tapi sebelum itu, kamu nikmati dulu kopimu. Siapa tahu aroma hari ini bisa kasih petunjuk ke arah sana.”

Maya mengangkat cangkirnya, menghirup aroma kopi yang hangat, dan membiarkan hatinya tenang. Di tengah rasa pahit kopi itu, ia merasa ada manis kecil yang mulai tumbuh entah dari sahabat, dari secangkir kopi, atau mungkin dari sosok yang masih terpajang di dinding kedai.

** Pria Dibalik Kamera **

“Eh, tunggu deh,” kata Astria sambil meraih ponselnya dari saku apron. “Kamu belum pernah lihat foto Bram yang ini, kan?”

Maya menoleh, rasa penasarannya memuncak. “Yang mana?”

Astria membuka galeri ponselnya dan menunjukkan beberapa foto candid Bram. Ada yang sedang membuat latte art dengan konsentrasi penuh, ada pula yang tertawa lepas sambil duduk di bangku kayu depan kedai. Di salah satu foto, Bram mengenakan kemeja putih dan topi cokelat, tampak maskulin tapi tetap santai.

“Ini aku ambil waktu kami ke Batu bulan lalu. Lihat yang ini, dia lagi ajarin anak kecil bikin cappuccino mainan,” ujar Astria sambil tertawa.

Maya nyengir, lalu mendekat, menatap layar dengan serius. “Dia… kelihatan beda dari foto di dinding. Lebih hidup. Lebih… hangat.”

“Emang, Bram itu susah difoto dengan aura yang pas. Tapi kalau udah senyum begitu, bikin semua cewek leleh,” kata Astria menggoda.

Maya menggigit bibir bawahnya pelan. “Kamu… boleh nggak kirim beberapa fotonya ke aku?”

Astria melongo, lalu tertawa senang. “Hoo... mulai baper nih. Boleh dong! Tapi jangan sampai kamu jatuh cinta gara-gara galeri ya.”

Maya menjulurkan tangan. “Udah, kirim aja. Aku cuma... penasaran, itu doang.”

Beberapa detik kemudian, notifikasi masuk ke ponsel Maya. Empat foto Bram langsung tersimpan di galeri. Maya membuka satu per satu. Senyuman lelaki itu… terasa damai. Ada ketulusan yang terpancar dari wajahnya, seolah lelaki itu sudah kenyang dengan luka, tapi tetap percaya pada harapan.

“Dia kelihatan… seperti tipe pria yang nggak gampang pergi,” gumam Maya lirih.

Astria diam sebentar, lalu berkata, “Iya. Dia nggak pergi, kecuali orang lain yang ninggalin duluan.”

Ucapan itu membuat Maya terdiam. Ada sesuatu dalam kalimat itu yang terasa akrab… dan menusuk.

Astria mengalihkan suasana. “Kalau mau ketemu langsung, minggu depan dia balik ke kedai. Tapi jangan berharap terlalu tinggi ya, Bram itu... complicated.”

Maya menatap kopi yang mulai dingin. “Siapa yang nggak complicated? Aku juga... penuh luka. Tapi kadang, luka yang sama bisa saling mengerti.”

Astria tersenyum. “Kamu bisa aja.”

Maya pun tersenyum tipis, lalu mengusap layar ponsel sekali lagi, berhenti di satu foto Bram yang sedang menatap ke arah jendela, sorot matanya dalam… seperti menunggu sesuatu yang belum juga datang.

Maya menyandarkan punggung ke kursi. Hari ini, aroma kopi benar-benar membawa sesuatu yang baru.

** Janji untuk Pulang Cepat **

Deru mobil mewah berwarna hitam berhenti perlahan di depan rumah bergaya minimalis modern itu. Pak Slamet, satpam yang sudah setahun lebih bekerja di sana, sigap membuka pintu pagar otomatis.

“Selamat sore, Bu Maya,” sapa Pak Slamet sambil memberi hormat kecil.

Maya tersenyum dari balik kaca mobil yang sudah diturunkan. “Terima kasih, Pak Slamet.”

Begitu mobil berhenti di garasi, pintu samping langsung terbuka. Seorang gadis kecil berambut sebahu dengan pita merah di rambutnya, berlari-lari kecil ke arah mobil.

“Mamaaa!” teriak Aying dengan suara nyaring dan semangat.

Maya turun dari mobil dan segera merentangkan tangannya. Aying langsung memeluk kaki ibunya erat-erat. Di belakangnya, Surti, sang pengasuh, berjalan sambil membawa boneka kesayangan Aying.

“Maaf ya, Mama agak telat lima menit,” ucap Maya sambil mengangkat tubuh kecil Aying ke pelukannya.

Aying mencebik lucu. “Katanya pulang sebelum langit oranye, ini udah pink, Ma!”

Maya terkekeh. “Aduh, iya deh, maafin Mama. Tapi Mama beneran ngebut biar bisa pulang cepet. Kangen banget sama Aying.”

“Aying juga kangen banget! Tadi Aying udah gambar rumah kita loh, ada Mama, Aying, sama… kucing!” katanya dengan mata berbinar.

“Kucing? Bukannya kita nggak punya kucing?”

“Iya, makanya Aying gambar dulu. Biar Mama nanti beliin!”

Surti ikut tertawa mendengar tingkah Aying. “Dari tadi, Bu, nanyanya ‘Mama udah sampe belum?’ tiap dua menit sekali.”

Maya mengelus rambut Aying dengan lembut. “Aduh anak Mama sayang banget, ya. Ayo masuk yuk, Mama mandi dulu, terus bacain cerita sebelum tidur.”

“Yeaaay!” Aying bersorak dan menggenggam tangan Maya erat.

Mereka masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah, aroma diffuser lavender menyambut, memberi kesan hangat dan tenang. Maya meletakkan tas kerjanya di sofa dan langsung duduk bersila di karpet bersama Aying yang sudah mengambil buku dongeng dari rak.

Surti pamit sambil berkata, “Saya siapkan makan malam dulu ya, Bu.”

“Iya, Makasih ya, Mbak Surti.”

Aying sudah membuka halaman pertamanya. “Hari ini kita baca Putri dan Katak ya, Ma! Tapi ending-nya harus beda. Kataknya jangan jadi pangeran, biarin aja tetep katak, tapi bisa ngobrol!”

Maya tertawa kecil. “Wah, kreatif banget. Oke, Mama ikutin versi Aying malam ini.”

Di luar rumah, langit mulai gelap. Tapi di dalam rumah itu, tawa seorang ibu dan anak kecil mengisi malam dengan kehangatan dan harapan. Sejenak, Maya melupakan semua luka masa lalu dan dunia bisnis yang keras. Bersama Aying, hidup terasa lebih jujur, lebih lembut, dan lebih berarti.

** Foto yang Membuat Hati Bergetar **

Setelah dongeng selesai dan Aying tampak mulai mengantuk, Maya menyandarkan punggung ke sandaran tempat tidur sambil memainkan handphonenya. Tapi belum sempat membuka email dari kantor, tangan mungil Aying menyentuh lengannya.

“Mama, pinjam handphone dong,” ucapnya dengan suara manja.

Maya tersenyum, menyerahkan ponselnya. “Mau lihat apa, sayang?”

“Galeri foto… Aying mau lihat waktu bayi lagi. Yang waktu masih tidur di boks, lucu banget katanya Tante Lia,” katanya sambil menggeser-geser layar.

Maya membiarkan Aying menjelajah galeri. Beberapa detik hanya suara geseran layar terdengar, diselingi tawa kecil Aying saat melihat dirinya mengenakan topi rajutan warna kuning.

Tiba-tiba jari kecilnya berhenti menggeser.

“Mama… ini siapa?”

Maya menoleh cepat. Di layar, tampak foto Bram sedang menyeduh kopi di kedai, tersenyum tipis dengan apron coklat dan tatapan hangat ke kamera.

Deg.

Jantung Maya serasa bergetar. Sejenak ia terdiam, mencari kata-kata. Tapi mata Aying yang bulat dan polos terus menatapnya, menunggu jawaban.

“Ehm… itu…” Maya menarik napas pelan, lalu tersenyum—meski hatinya mulai diliputi rasa bersalah. “Itu Papa.”

Aying tampak terkejut sejenak. “Papa? Papa Aying?”

Maya mengangguk pelan. “Iya, sayang. Papa kamu sekarang lagi kerja di Bandung. Nanti kalau sudah bisa pulang, kita bisa ketemu, ya?”

Aying menatap foto itu lama, lalu perlahan mendekatkan layar ponsel ke wajahnya… dan mencium layar itu dengan lembut.

“Aying kangen Papa… makasih Mama udah kasih lihat,” ucapnya lirih.

Maya menelan ludah. Ada yang mengganjal di tenggorokannya. Perasaannya campur aduk—antara sedih, bersalah, dan haru. Tapi di sisi lain, ia melihat sinar bahagia di wajah Aying yang sudah lama tak muncul.

Aying memeluk Maya erat. “Mama, nanti kalau Papa pulang, kita jalan-jalan bertiga ya. Ke kebun binatang, terus makan es krim!”

“Iya, sayang. Nanti Mama atur ya.”

Aying tersenyum manis dan kembali menatap layar ponsel. Matanya perlahan mulai mengantuk, dan akhirnya ia tertidur dengan senyum masih menghiasi bibirnya—masih menggenggam ponsel dengan foto Bram yang belum tertutup.

Maya pelan-pelan mengambil handphonenya, menatap foto Bram lama-lama. Ada rasa tak terjelaskan dalam dadanya. Entah itu rasa bersalah karena berbohong, atau mungkin… sebuah harapan yang belum berani ia akui.

Ia mencium kening Aying dan berbisik pelan, “Maaf ya, sayang… Mama janji, suatu hari nanti kamu akan punya sosok ayah yang baik.”

Di luar kamar, malam menua dalam diam. Tapi di dalam hati Maya, benih harapan baru mulai tumbuh perlahan.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel