Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3: Selembar Kertas yang Mengubah Segalanya.

Dua hari setelah pertemuan singkat di ruang tamu, Ruri tidak bisa berhenti memikirkan Rodiah. Obsesi itu kini terasa seperti parasit yang menggerogoti setiap sel otaknya, mendikte setiap tindakannya.

Malam harinya, ia bahkan bermimpi tentang Rodiah, sebuah mimpi yang begitu nyata hingga nyaris terasa seperti pengalaman.

Ia bermimpi tentang bagaimana gaun satin itu meluncur dari tubuhnya, memperlihatkan payudara besar yang bergoyang bebas, dan bokong sintal yang menunggu sentuhannya.

Ruri terbangun dengan ereksi yang menyakitkan, dibalut rasa bersalah yang menusuk, namun juga hasrat yang membakar, sebuah api yang menuntut pemuasan.

Pagi harinya, Ruri memutuskan untuk mencari alasan agar bisa kembali ke rumah mertuanya. Vera sedang beristirahat di rumah mereka setelah kontrol kehamilan kemarin, yang membuatnya cepat lelah.

Rahman, seperti biasa, sudah tenggelam dalam kesibukannya di kantor pusat Wijaya Group. Ini adalah jendela kesempatan yang sempurna untuk bergerak tanpa pengawasan. Ruri memutar otaknya, mencari alasan yang paling masuk akal dan meyakinkan.

Akhirnya, ia teringat bahwa ia pernah meminjam beberapa buku tentang investasi properti dari perpustakaan pribadi Rahman, yang terletak di ruang kerjanya, dan belum mengembalikannya. Alasan yang sempurna, sebuah alibi intelektual.

Sekitar pukul sepuluh pagi, Ruri tiba di rumah keluarga Wijaya. Gerbang otomatis terbuka, dan mobilnya melaju mulus masuk ke halaman. Seperti yang ia duga, rumah itu terasa sepi, diselimuti aura kemewahan yang tenang.

Bibi Sumi, asisten rumah tangga utama, mungkin sedang sibuk di dapur belakang. Mas Joko, ART pria, mungkin sedang di halaman belakang mengurus taman yang luas.

Ruri melangkah masuk, membiarkan keheningan menyelimutinya. Ruangan terasa dingin, diisi oleh suara dentingan jam dinding kuno di ruang tamu dan gemericik air dari kolam ikan di taman belakang. Ia menarik napas, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang terasa tidak wajar.

"Assalamualaikum!" seru Ruri.

ia memastikan kehadirannya diketahui, terutama oleh para asisten rumah tangga.

"Waalaikumsalam, Den Ruri!" sahut Bibi Sumi dari arah dapur.

Wanita paruh baya itu muncul dengan senyum ramah, tangannya memegang lap piring.

"Mama kemana, Bi?" tanya Ruri, berpura-pura santai.

"Nonya Rodiah sedang di ruang kerja Tuan Rahman, Den. Katanya lagi membereskan berkas-berkas lama yang menumpuk," ucap Bibi Sumi.

Jantung Ruri berdegup lebih kencang, sebuah ledakan kegembiraan yang tersembunyi. Ruang kerja Rahman adalah tempat yang relatif tersembunyi, jarang dilewati kecuali oleh penghuni rumah yang berkepentingan. Sebuah kesempatan yang jauh lebih baik dari yang ia bayangkan.

"Oh, begitu ya, Bi? Kalau begitu saya langsung ke sana saja. Mau mengembalikan buku yang kemarin saya pinjam," ujar Ruri.

Ia mengangkat sebuah buku tebal tentang pasar modal yang sengaja ia bawa sebagai alibi.

"Silakan, Den," Bibi Sumi mengangguk, kembali ke dapur, meninggalkan Ruri sendirian.

Ruri berjalan menuju ruang kerja Rahman di ujung koridor lantai satu. Setiap langkahnya terasa berat sekaligus bersemangat, sebuah kombinasi ketegangan dan antisipasi.

Pintu ruang kerja sedikit terbuka, memperlihatkan celah kecil yang mengundang. Ruri bisa mendengar suara gemerisik kertas dan beberapa kali Rodiah mendesah pelan, mungkin karena lelah memilah dokumen.

Ia berdiri sebentar di depan pintu, mengatur napasnya sendiri.

"Ma?" Ruri mengetuk pintu pelan, suaranya berusaha terdengar sopan dan hormat.

"Ruri? Oh, masuk, Nak," sahut Rodiah, suaranya sedikit terkejut, namun langsung dihiasi kehangatan.

Ruri mendorong pintu dan masuk. Ruang kerja Rahman luas, dipenuhi rak buku tinggi yang menjulang dan meja kayu mahoni yang besar. Udara di ruangan itu terasa beraroma kayu tua dan kertas, namun juga samar-samar tercium parfum khas Rodiah.

Rodiah sedang berdiri di dekat salah satu rak buku, tangannya memegang tumpukan map lama. Ia mengenakan blus katun longgar berwarna putih yang dipadukan dengan celana panjang kain berwarna coklat muda.

Pakaian yang sederhana, namun kontras antara kain putih yang sedikit menerawang dan bentuk tubuhnya yang padat tetap tidak bisa menyembunyikan daya pikatnya.

"Sedang apa, Ma?" tanya Ruri.

ia berjalan mendekat, seolah ingin meletakkan buku yang ia bawa.

"Ini, Papa minta Mama membereskan beberapa arsip lama. Kamu tahu sendiri Papamu, semua berkas harus diarsipkan. Banyak sekali, sampai pusing Mama," keluh Rodiah.

ia tersenyum lelah sambil mengusap keningnya.

"Oh, kamu mau mengembalikan buku rupanya." Tambahnya, saat melihat buku di tangan Ruri.

"Iya, Ma. Mau saya bantu?" tawar Ruri.

sebuah ide licik mulai berputar cepat di benaknya.

Rodiah terlihat berpikir sejenak, menimbang tawarannya dengan pandangan mata yang cerdas.

"Boleh juga, Ruri. Lumayan ada yang bantu. Kau bisa bantu Mama membereskan laci-laci di meja ini, banyak berkas yang sudah tidak terpakai. Kamu bisa buang yang sudah tidak relevan," ucap Rodiah.

ia menunjuk salah satu laci besar di meja kerja Rahman.

Sebuah senyum kecil, senyum kemenangan tersembunyi, nyaris terukir di bibir Ruri.

Ini adalah kesempatan yang ia butuhkan, peluang untuk mengobrak-abrik privasi Rahman dan, mungkin, menemukan sesuatu yang bisa ia gunakan.

"Siap, Ma," jawab Ruri cepat.

Ruri segera bergerak ke meja kerja, menarik kursi. Ia mulai membuka laci-laci, meneliti isinya: tumpukan dokumen keuangan, surat-surat lama, dan beberapa barang pribadi Rahman.

Rodiah sendiri sibuk dengan rak buku di sisi lain ruangan, punggungnya sedikit membelakangi Ruri. Ini adalah kesempatan untuk mengendus lebih jauh, bukan sekedar mencari berkas, tapi juga memandangi punggung Rodiah yang menggairahkan.

Saat ia merogoh laci paling bawah, mata Ruri tertuju pada sebuah kotak kayu kecil yang tersembunyi di balik tumpukan buku tebal yang jarang disentuh.

Kotak itu tampak tua, permukaannya sedikit usang, dan tidak terkunci. Sebuah firasat aneh, firasat akan rahasia besar, mencengkeram Ruri.

Rodiah masih sibuk di rak buku.

"Sudah beres, Ruri?" tanya Rodiah tanpa menoleh, suaranya terdengar sedikit jauh.

"Belum, Ma. Banyak sekali isinya," Ruri menjawab.

suaranya sedikit tegang karena adrenalin yang memuncak.

Tangannya perlahan meraih kotak kayu itu, menariknya keluar dari persembunyiannya. Ia bisa merasakan jantungnya berdebar lebih cepat.

Ia membuka tutup kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ada beberapa perhiasan imitasi kuno, sebuah saputangan berenda, dan... selembar kertas lusuh yang terlipat rapi.

Kertas itu tampak tua, warnanya sudah menguning di beberapa bagian, dan ada sedikit sobekan di sudutnya, namun tulisannya masih jelas terbaca.

Dengan tangan gemetar, Ruri meraih kertas itu. Ia membukanya, mata tajamnya langsung menyapu baris-baris tulisan.

Ada beberapa istilah medis yang tak ia pahami, namun kemudian, matanya terpaku pada sebuah bagian yang dicetak tebal, sebuah kesimpulan yang langsung membuat darahnya berdesir dingin.

Di bagian atas kertas itu tertera: HASIL UJI DNA. Di bawahnya, nama "Vera Putri Wijaya" dan "Rahman Wijaya". Dan kemudian, sebuah kalimat yang membuat dunia Ruri berputar seratus delapan puluh derajat, menghancurkan fondasi logikanya:

PROBABILITAS PATERNITAS 0%.

Jantung Ruri berdetak begitu kencang, ia nyaris tak bisa bernapas. Seluruh tubuhnya menegang, merasakan sensasi panas dingin menjalar di punggungnya.

Ini adalah bom waktu, sebuah rahasia yang lebih mematikan dari yang ia bayangkan. Vera, istrinya yang sedang hamil anak pertamanya, ternyata bukanlah putri kandung Rahman Wijaya. Semua asumsinya tentang keluarga ini, tentang kesempurnaan mereka, hancur dalam sekejap.

Ruri mendongak, menatap punggung Rodiah yang masih sibuk di rak buku. Wanita itu, yang selama ini menjadi pusat obsesi terlarangnya, ternyata menyimpan rahasia sekelam ini, yang melibatkan pengkhianatan di masa lalu.

Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, perlahan terukir di bibir Ruri. Senyum kemenangan, senyum dominasi.

Rasa bersalahnya hilang ditelan nafsu kekuasaan. Ia telah menemukan kuncinya. Kunci untuk mendapatkan Rodiah, untuk memuaskan setiap hasrat terlarang yang selama ini ia pendam.

Rahasia ini adalah senjata yang jauh lebih kuat daripada rayuan apapun. Ia kini memegang nasib seluruh keluarga Wijaya di tangannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel