
Ringkasan
WARNING!!!!! ----------- NOVEL INI BERGENRE 21++ DENGAN DESKRIPSI SEKSUAL EKSPLISIT DAN KONTEN KEDEWASAAN VULGAR. TIDAK DITUJUKAN UNTUK PEMBACA DI BAWAH UMUR. JIKA ANDA BELUM CUKUP UMUR, SILAKAN MEMBACA NOVEL LAIN. ----------------- Premis: Ruri Permana, terjerat dalam obsesi terlarang terhadap Rodiah Setyaningrum, mama mertuanya yang mempesona dan juga memancarkan daya tarik seksual yang kuat. Kehidupan sempurna keluarga ini runtuh ketika Ruri menemukan rahasia terbesar rodiah: hasil tes DNA yang membuktikan bahwa istrinya, Vera Putri Wijaya bukanlah putri kandung Rahman Wijaya (suami Rodiah). Bagi Rodiah, rahasia ini adalah bom waktu yang dapat merenggut status, kehormatan, dan keharmonisan keluarga yang ia bangun. Ruri tanpa ragu menjadikan lembar hasil tes DNA itu sebagai senjata untuk memuaskan hasratnya, dimulai dari sentuhan fisik paling intim sampai tuntutan hubungan seksual penuh Gairah. Rodiah menyerahkan tubuhnya untuk menjaga kebohongan yang ia sembunyikan selama bertahun-tahun, sementara Ruri semakin tenggelam dalam euforia menguasai Tubuh Mama mertuanya itu. Rodiah terpaksa mengkhianati suaminya dan dirinya sendiri, tenggelam dalam kesepakatan gelap demi menjaga fondasi pernikahan yang ia bangun di atas kebohongan, menjadikannya tawanan nafsu menantunya sendiri.
Bab 1: Racun Manis Bernama Rodiah Setyaningrum
Ruri Permana menghela napas panjang, aroma kopi Arabika dari cangkir di tangannya tak mampu mengusir kepenatan yang melekat di benaknya. Pukul delapan pagi, dan ia sudah duduk di meja kerjanya yang luas di lantai dua gedung Wijaya Group, perusahaan properti raksasa milik ayah mertuanya.
Dari balik dinding kaca, lanskap kota Semarang membentang di bawahnya, gedung-gedung pencakar langit berkejaran dengan awan, dan lalu lintas pagi yang mulai menggeliat di kota itu.
Usianya baru dua puluh delapan, namun ia sudah menempati posisi manajer pemasaran, sebuah jabatan dengan gaji yang lebih dari cukup, fasilitas mewah, dan segala privilese yang diidamkan banyak orang.
Semua itu adalah bagian dari paket "menantu idaman" yang ia sandang, sebuah label yang dulu ia terima dengan bangga, namun kini terasa memberatkan, bagai borgol emas yang mengikat kebebasannya.
Di sudut meja, sebuah foto pernikahan mereka terpajang manis, Ruri menatapnya, mencari jejak kebahagiaan yang dulu begitu nyata.
Vera, istrinya yang tercinta, tersenyum ceria di sana, Usianya dua puluh tiga tahun, dengan rambut hitam panjang terurai dan lesung pipi yang manis, Vera adalah definisi kesempurnaan di mata banyak orang.
Ia adalah putri semata wayang Rahman Wijaya, pemilik Wijaya Group yang disegani, dan Rodiah, wanita yang kecantikannya tak lekang oleh waktu.
Vera kini sedang hamil empat bulan, perutnya mulai membuncit dengan manis, dan toko bunganya di pusat kota berjalan lancar, menjadi bukti kemandiriannya.
Ruri seharusnya menjadi pria paling bahagia di dunia, bergelimang harta, dikaruniai istri yang sempurna, dan sebentar lagi akan menjadi seorang ayah.
Namun, sebuah bisikan gelap terus menggerogoti jiwanya, mengikis kebahagiaan itu perlahan tapi pasti. Bisikan itu memiliki nama: Rodiah, mama mertuanya.
Rodiah Setyaningrum, yang kini berusia empat puluh tiga tahun. Sebuah nama yang seharusnya ia hormati, namun kini menjadi pusat gravitasi dari segala hasrat terlarang Ruri.
Satu nama itu yang mengubah setiap sentuhan Vera terasa hambar, setiap tawa sang istri terdengar sumbang di telinganya, bagai melodi yang kehilangan iramanya.
Ketika Ruri pertama kali bertemu dengannya tiga tahun lalu, ia terkesima, Bukan hanya karena aura "wanita matang" yang terpancar kuat, tetapi juga karena Rodiah menentang segala stereotip usia.
Payudaranya yang besar dan kencang, bokongnya yang sintal dan berisi, lekuk tubuhnya yang padat, semuanya adalah hasil dari dedikasi Rodiah di gym yang rutin ia datangi.
Tidak ada kerutan berarti di wajahnya yang bersih, kulitnya tampak sehat dan bercahaya, Ia adalah definisi dari "awet muda" yang sempurna, sebuah kombinasi yang mematikan bagi Ruri, seperti racun manis yang merasuki indranya.
Obsesi itu bermula perlahan, merayap bagai lumut di pikiran Ruri, tak terlihat namun terus membesar, mengakar kuat.
Bermula dari kunjungan-kunjungan rutin ke rumah mertuanya, rumah megah yang berdiri anggun dengan taman tropis yang terawat sempurna, cerminan kemakmuran keluarga Wijaya.
Ruri seringkali mendapati Rodiah baru pulang dari gym sore, tubuhnya masih terbungkus pakaian olahraga yang ketat, menonjolkan setiap lekuk yang menggoda.
Salah satu momen yang paling membekas adalah pada sore itu, Ruri sedang duduk di sofa ruang keluarga, berpura-pura serius membaca laporan pekerjaan di tabletnya, padahal matanya terus melirik ke arah pintu depan, sedangkan Vera, istrinya, sedang di lantai atas, mungkin sedang beristirahat setelah lelah mengurus toko bunganya.
Tiba-tiba, pintu depan berderit, dan Rodiah masuk, Rambutnya basah oleh keringat, beberapa helai menempel di pelipisnya yang mulus. Legging hitam ketat membalut setiap inci paha dan bokongnya yang sintal, seperti kulit kedua yang sengaja diciptakan untuk memamerkan keindahan itu.
Kaus sport bra yang tipis menonjolkan bentuk payudaranya yang besar dan penuh, garis belahannya terlihat jelas, mengundang mata untuk menelusuri lebih jauh.
Ruri merasakan pandangan matanya terkunci pada Rodiah, sebuah tarikan yang nyaris tak terkendali, bagai magnet yang menarik besi.
Ia mencoba mengalihkan pandangan, memusatkan fokus pada tabletnya, namun otaknya seolah memberontak, mencatat setiap detail visual yang terekam dengan akurat.
Ia bisa merasakan tonjolan yang mendadak menyeruak di celananya, sebuah respons fisik yang tak diminta, namun sangat nyata dan memalukan.
Rodiah tidak menyadarinya, sibuk dengan ponsel di tangannya. Ia hanya tersenyum tipis, pandangannya sekilas bertemu dengan Ruri.
"Baru pulang, uri? Apa Vera ada di atas?" ucap Rodiah, suaranya lembut namun penuh energi.
"Iya, Ma, baru saja. Dia di kamar, mungkin istirahat," Ruri menjawab.
suaranya sedikit serak, berusaha terdengar normal dan tidak gugup. Ia berharap Rodiah tidak menyadari perubahan nadanya.
Rodiah kemudian menuju dapur, mungkin untuk mengambil minum, melangkah dengan anggun.
Saat ia berjalan, bokongnya yang sintal bergoyang lembut di balik legging ketat itu, setiap langkahnya adalah tarian yang memabukkan bagi mata Ruri, sebuah simfoni gerak yang membius.
Otot pahanya yang terbentuk sempurna dari sesi squat di gym terlihat jelas, menegaskan kekuatan sekaligus keindahan yang tersembunyi, seolah memanggil untuk disentuh.
Ruri menelan ludah, tenggorokannya mendadak kering, jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang.
Fantasi singkat, liar, melintas di benaknya: tangannya seakan meremas gundukan kenyal itu, merasakan setiap serat ototnya yang padat, membayangkan kehangatan kulitnya.
Ia mengeratkan cengkeraman pada tabletnya, buku-buku jarinya memutih, berusaha mengusir imajinasi kotor itu dari benaknya.
Beberapa menit kemudian, Rahman, ayah mertuanya, pulang.
Pria paruh baya yang sibuk namun kharismatik itu masuk ke dapur dan melontarkan lelucon tentang hari kerjanya yang melelahkan.
Rodiah tertawa lepas, tawa renyah yang memenuhi ruangan, bagai lonceng perak yang berdering.
saat ia tertawa, payudaranya yang besar dan kencang bergoyang di balik kaus sport bra yang tipis itu, memantul-mantul dengan irama yang mematikan, seperti buah ranum yang siap dipetik.
Itu bukan sekadar goyangan biasa, Bagi Ruri, itu adalah penampakan kekuatan dan vitalitas wanita matang yang begitu memikat, begitu menggoda, sebuah pemandangan yang mengoyak akal sehatnya.
Penis Ruri, yang sejak tadi sudah mulai mengeras, kini berdiri sepenuhnya, tegang dan berdenyut, Ia harus menyesuaikan posisi duduknya di sofa, kakinya menyilang rapat, berusaha menyembunyikan tonjolan yang memalukan di balik celana kainnya.
Panas menjalari tubuhnya, perasaan bersalah bercampur dengan gelombang gairah yang tak terbendung, sebuah kontradiksi yang menyiksanya.
Ia tahu ini salah besar, Rodiah adalah mama mertuanya, istri dari bosnya, ibu dari istrinya yang sedang hamil, Sebuah tabu yang tak boleh dilanggar.
Namun, setiap kali melihat Rodiah, setiap kali tubuh wanita itu bergerak atau tertawa, Ruri merasa tak berdaya, seperti terhipnotis.
Ia terjebak dalam hasrat yang terlarang, sebuah benih obsesi yang kini telah tumbuh menjadi pohon rindang di dalam dirinya, siap menjerat dan meruntuhkan segala hal yang ia miliki, termasuk kehidupannya yang sempurna.
Malam harinya, Ruri berbaring di samping Vera yang sudah pulas, tidur nyenyak dalam damai, Tangannya mengelus lembut perut Vera yang membesar, merasakan denyut kehidupan di dalamnya.
Seharusnya ia merasakan kebahagiaan yang tak terhingga, koneksi mendalam dengan calon anaknya, tunas baru dari cinta mereka.
Namun, pikirannya melayang, jauh dari kenyataan yang ada di sampingnya, ke kamar sebelah, ke sosok mama mertuanya.
Bayangan payudara yang bergoyang, bokong sintal di balik legging, dan tawa renyah itu terus menghantuinya, membakar setiap sel tubuhnya, mengubah rasa bersalah menjadi bara yang siap membakar batas-batas moralitas, menghancurkan fondasi pernikahannya.
Ruri memejamkan mata, merasakan desakan hasrat yang begitu kuat, Ia tahu, ia menginginkan Rodiah, lebih dari yang ia inginkan pada siapa pun, lebih dari yang seharusnya.
Dan dalam kegelapan malam itu, sebuah tekad kotor mulai terbentuk di benaknya: ia akan mencari cara untuk mendapatkannya.
