Bab 2: Lekuk Tubuh Yang Menggoda
Keesokan harinya, di bawah langit yang cerah namun terasa memberatkan, Ruri tiba di rumah mewah mertuanya.
Dalihnya adalah menjemput Vera untuk kontrol kehamilan bulanan, sebuah rutinitas yang kini terasa seperti jubah penyamaran paling efektif.
Jantungnya berdebar tidak seperti biasanya; bukan lagi ritme biasa, melainkan drum yang ditabuh kencang di dalam tulang rusuknya, memompa adrenalin yang memabukkan.
Bukan karena tanggung jawabnya sebagai suami, melainkan karena harapan liar, sebuah janji terlarang yang diasosiasikan dengan keberadaan Rodiah.
Ini adalah jendela kesempatan yang sempit, sebuah celah yang ia ciptakan di antara jadwal padat rumah tangga dan kantor.
Keadaan ini membuat Ruri gelisah sekaligus bersemangat, memicu pertarungan internal yang brutal antara kesetiaan yang ia yakini harus dipertahankan, dan hasrat yang menuntut untuk dipuaskan.
Saat Ruri melangkah masuk, melewati pintu utama yang menjulang tinggi, keheningan siang hari menyambutnya.
Udara terasa lebih dingin di dalam, namun seketika dihangatkan oleh aroma yang sudah ia kenal, aroma yang selalu melekat pada Rodiah, Itu adalah parfum pribadinya, memikat dan lembut, seolah memanggilnya untuk melacak sumbernya.
Ia menemukan Rodiah tidak di ruang tamu yang formal, melainkan di taman samping rumah yang asri, menyiram beberapa pot anggrek kesayangannya.
Sinar matahari menembus celah pepohonan, memantul lembut dari kelopak bunga, menciptakan aura keindahan alami yang berpadu sempurna dengan sosok Rodiah. Pemandangan ini seolah disaring dari sebuah fantasi tersembunyi.
Rodiah mengenakan gaun rumah berbahan satin lembut berwarna maroon gelap. Gaun itu tidak ketat, melainkan menjuntai longgar, memberikan ilusi kenyamanan. Namun, bahannya yang licin dan tipis sudah lebih dari cukup untuk mengikuti dan menonjolkan setiap lekuk tubuhnya yang matang dan terawat sempurna, sebuah bentuk kesempurnaan yang tidak bisa disembunyikan oleh kain manapun.
Ruri berhenti di ambang pintu, bersandar di kusen, berpura-pura memeriksa notifikasi di ponselnya, sebuah trik murahan untuk menstabilkan diri.
Matanya diam-diam menyapu Rodiah dengan pandangan penuh hasrat terpendam, memindai setiap detail yang kini terukir jelas dalam ingatannya.
Gaun satin itu meluncur anggun di atas bahu dan lengannya yang berisi, memperlihatkan kulitnya yang bersih, halus, dan terawat, Namun, yang paling mencolok, tentu saja, adalah bagian dadanya.
Kain satin itu jatuh lembut di atas payudaranya yang besar dan penuh, memperlihatkan siluetnya yang padat berisi.
Penampilannya yang sensual tanpa terlihat vulgar sekejap memancarkan daya pikat seorang wanita yang matang, yang mengerti kekuatannya dan mungkin, kelemahannya.
Setiap gerakan kecil Rodiah, saat ia membungkuk sedikit untuk menyiram tanaman, atau meregangkan punggungnya, membuat kain satin itu bergeser, menciptakan kilauan sensual yang mematikan.
Lekukan payudaranya terlihat samar, namun begitu memikat, seolah berjanji akan keindahan yang lebih besar dan hangat jika disentuh. Pemandangan itu memicu fantasi yang lebih jauh, lebih berani, di benak Ruri.
Napas Ruri tercekat di tenggorokan, ia merasa udara di sekitarnya mendadak menipis dan kering. Rasa panas yang akrab, namun selalu mengejutkan, kembali menjalar di selangkangannya.
Penisnya langsung bereaksi, mengeras dengan cepat, sebuah respons fisik yang tak bisa ia kendalikan lagi, sebuah pengkhianatan yang nyata setiap kali Rodiah berada di dekatnya.
Ia merasa malu sekaligus terhina oleh dirinya sendiri, namun sensasi itu terlalu adiktif, sebuah penyiksaan yang menyenangkan.
Ia harus cepat-cepat memalingkan muka, pura-pura batuk kecil untuk menutupi desah tertahan yang nyaris lolos dari bibirnya.
Ia memaksakan diri untuk memusatkan perhatian pada layar ponselnya, namun bayangan Rodiah yang berdiri di sana, dikelilingi aura bunga dan aroma tubuhnya yang lembut, menguasai seluruh benaknya.
Rodiah akhirnya menyelesaikan aktivitasnya dan berbalik, memegang wadah penyiram air.
Ia tersenyum, senyum hangat yang menenangkan, menghilangkan ketegangan di wajah Ruri, namun justru mengintensifkan gejolak di bawah sana.
"Ruri? Sudah lama menunggu? Mama tidak dengar kamu masuk," tanyanya, suaranya halus seperti sutra.
"Tidak, Ma. Baru saja, Saya lihat Mama sedang asyik dengan anggrek, jadi saya tidak mau mengganggu." jawab Ruri.
ia berusaha menormalkan suaranya yang sedikit serak karena upaya menahan napas. Ia memaksakan diri untuk menatap mata Rodiah.
Rodiah meletakkan wadah penyiram air dan menghela napas lembut.
"Anggrek itu butuh ketelatenan, Ruri. Perhatian dan kesabaran. Sama seperti merawat hubungan," Ucap Rodiah.
matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar metafora bunga.
Ruri mengangguk, namun pandangannya tanpa sengaja sekali lagi melirik ke arah dada Rodiah, menangkap lagi lekukan yang memikat itu sebelum ia bisa menguasai dirinya, Ia merasa Rodiah menyadari tatapan itu, namun wanita itu hanya tersenyum lembut.
Rodiah kemudian berjalan melewati Ruri menuju sofa di ruang keluarga, tangannya meraih remote televisi.
Saat ia bergerak, gaun satin itu sedikit terangkat dan bokong sintalnya yang berisi tampak begitu menggoda, bergerak halus dan elastis di balik kain yang tipis.
Ruri nyaris limbung. Obsesinya bukan lagi sekadar pikiran, melainkan sebuah dorongan fisik yang menuntut, yang memenjarakannya dalam gelombang hasrat tak berkesudahan.
Ia merasa marah pada dirinya sendiri—marah pada kelemahannya, pada pengkhianatan yang tak terucapkan ini—namun sekaligus tak bisa menolak sensasi membakar yang ditimbulkan mama mertuanya.
"Vera masih di atas, Ma? Saya takut terlambat untuk jadwal dokter," ucap Ruri.
ia mencoba memecah keheningan yang menyesakkan, berusaha keras terdengar seperti menantu yang bertanggung jawab dan normal.
"Sebentar lagi, ia hanya sedang memilih baju yang paling nyaman. Duduk saja, Ruri. Ada cemilan di meja, itu Mama buatkan pastel udang kesukaanmu." jawab Rodiah, ia menoleh sebentar dengan senyum.
Ruri mengangguk, namun ia menolak duduk di sofa. Ia merasa perlu menjaga jarak, khawatir respons tubuhnya akan terlihat jelas di balik celana kerjanya yang ketat.
"Terima kasih, Ma, tapi saya Belum terlalu lapar," dalih Ruri.
Ia melangkah ke arah jendela besar, memandang ke luar, Namun, pantulan Rodiah di kaca memberinya pemandangan yang tak kalah menyiksa.
Ia melihat Rodiah duduk dengan posisi santai, gaunnya sedikit tersingkap di bagian paha, memperlihatkan kulit pahanya yang mulus di bawah cahaya ruang tamu. Ia menelan ludah, suaranya tercekat.
"Ruri, Ruri. Kamu terlalu tegang. Santai saja. Mama tahu kamu capek mengurus pekerjaan dan Vera sekaligus." Ucap rodiah.
Ia menunjukan kepedulian pada menantunya.
"Hanya... banyak pikiran, Ma," Ruri berbisik, lebih kepada dirinya sendiri.
"Ah, kamu ini. Vera sangat beruntung punya suami kaya kamu, Ruri, selalu perhatian," ujar Rodiah tiba-tiba. Ia menoleh dan tersenyum pada Ruri.
Pujian itu, meskipun tulus, terasa seperti tusukan panas bagi Ruri. Itu menegaskan pengkhianatan emosionalnya.
"Terima kasih, Ma. Saya hanya melakukan yang seharusnya, Mama juga role model yang baik untuk kami. Selalu tenang dan sabar," jawabnya.
Ia merasakan pipinya memanas karena kebohongan yang ia sembunyikan.
"Ah, kamu ini. Kalau sudah memuji, bisa membuat Mama terbang," Ucap Rodiah sambil terkekeh.
suaranya yang merdu membuat Ruri harus mengeraskan rahangnya untuk tidak mendesah.
Tiba-tiba, suara langkah kaki Vera terdengar dari lantai atas, sebuah pengalih perhatian yang krusial.
"Sayang, maaf lama! Kamu sudah lama menunggu? Tadi bingung mau pakai dress yang mana," Ucap Vera sambil menuruni tangga.
Ruri menarik napas lega sekaligus kecewa yang mendalam. Kesempatan telah berlalu, momen intim yang penuh bahaya telah berakhir.
Ia membalikkan badan, menyambut Vera dengan senyum yang dipaksakan, berusaha mengalihkan fokus dari gejolak di tubuhnya.
"Santai saja, Sayang. Baru juga sampai," jawab Ruri pada Vera, berusaha terdengar ceria.
Vera tersenyum lalu mengangguk.
"Ma, kami berangkat dulu ya. Doakan lancar ya," ucapnya.
Rodiah berdiri dari sofa, gaun satinnya bergerak mengikuti lekuk tubuhnya.
"Hati-hati di jalan ya, Sayang. Ruri, tolong jaga Vera baik-baik, jangan ngebut." ucapnya.
"Pasti, Ma," Ruri menjawab.
Sambil beranjak pergi, ia sempat bertukar pandang sejenak dengan Rodiah di ambang pintu.
Tatapan Rodiah polos, seolah tidak terjadi apa-apa, namun Ruri merasa tatapannya sendiri penuh dengan janji terlarang yang baru saja ia sembunyikan.
Senyum Ruri tetap di bibir, namun di dalam dirinya, api obsesi itu semakin membesar, membakar semua rasionalitas.
Ia tahu, ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam fantasi. Ia harus melakukan sesuatu, atau hasrat ini akan menghancurkan dirinya.
