Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4: Tawar-Menawar yang Mematikan.

Ruri melipat kertas lusuh itu dengan cepat dan gesit, menyembunyikannya jauh di saku celananya. Jantungnya masih berdegup kencang, memompakan adrenalin murni ke seluruh tubuhnya, bukan lagi karena ketakutan, melainkan euforia kekuasaan.

Ini bukan lagi sekadar hasrat terlarang; ini adalah kekuatan. Kekuatan yang tak terduga, yang bisa ia gunakan untuk mendapatkan apa yang ia inginkan dari Rodiah.

Rodiah akhirnya selesai merapikan arsip di rak buku. Ia berbalik, menghela napas lega, merapikan blus katun putihnya yang sedikit berantakan.

"Terima kasih banyak, Ruri. Mama sudah pusing sekali melihat tumpukan ini," ucap Rodiah, senyumnya memancarkan kelelahan yang manis.

"Apa kamu sudah selesai dengan laci-laci itu?" Lanjutnya.

"Sudah, Ma. Saya sudah sortir beberapa yang menurut saya tidak relevan lagi," jawab Ruri. ia memaksakan senyum di bibirnya.

"Kalau begitu, saya ke dapur sebentar ya, Ma. Haus sekali rasanya." Lanjutnya.

Ia berusaha menyembunyikan badai yang baru saja ia ciptakan di dalam dirinya.

"Silakan, Ruri. Ambil apa saja yang kamu mau," jawab Rodiah.

ia kembali fokus pada beberapa lembar kertas yang perlu disortir, sama sekali tidak menyadari kehancuran yang baru saja ditemukan menantunya.

Ruri segera melangkah keluar dari ruang kerja, menuju dapur. Langkahnya terasa ringan, namun setiap ototnya tegang dan terkontrol.

Otaknya memutar berbagai skenario, menyusun strategi untuk momen yang tepat. Ia tahu ia harus menunggu Rodiah sendirian, benar-benar sendirian, tanpa ada Bibi Sumi atau Mas Joko yang mungkin lalu lalang, menjadi saksi bisu.

Ia mengambil segelas air dingin dari kulkas, meneguknya perlahan. Matanya melirik ke arah pintu dapur yang terbuka sebagian.

Ia menangkap suara Bibi Sumi yang sedang berbicara dengan Mbak Siti di area servis, tampaknya sedang membahas daftar belanja dan menu makan siang. Mereka cukup jauh dan sibuk.

Saat itulah ia melihat Rodiah keluar dari ruang kerja, mungkin akan menuju kamarnya di lantai atas untuk beristirahat sejenak. Sekarang atau tidak sama sekali.

Ruri melangkah keluar dari dapur, berpura-pura akan ke ruang tamu.

"Ma?" panggil Ruri pelan.

namun nadanya cukup kuat untuk menghentikan langkah Rodiah yang sudah berada di lorong menuju tangga.

"Ada apa, Ruri? Kamu mau pamit?" Ucap Rodiah menoleh.

alisnya yang terawat sedikit terangkat, ekspresinya dipenuhi rasa ingin tahu.

Ruri tersenyum tipis. Ia melangkah mendekat, perlahan namun pasti. Setiap langkahnya terasa penuh perhitungan.

Rodiah merasakan aura aneh dari menantunya, sebuah ketegangan yang tiba-tiba muncul di mata Ruri.

"Ada yang ingin ruri tunjukkan pada Mama," ucap Ruri, suaranya rendah dan terkontrol, menciptakan misteri yang mencekam.

Rodiah terdiam, menatap Ruri dengan tatapan bertanya.

"Tunjukkan apa, Ruri? Kalau ada masalah di kantor, bicarakan nanti saja dengan Papa." Ucap Rodiah.

Alih-alih menjawab, Ruri mengulurkan tangannya. Ia meraih pergelangan tangan Rodiah dengan lembut namun tegas, sebuah sentuhan yang lebih dari sekadar sentuhan menantu.

Ia menarik Rodiah masuk kembali ke area dapur yang kini kosong, menutup pintu sedikit agar pandangan dari luar tidak terlalu bebas, meskipun tidak sepenuhnya tertutup. Jantung Rodiah mulai berdegup lebih cepat, sebuah firasat buruk menyelimutinya.

"Ruri, ada apa ini? Jangan begini," ucap rodiah.

suara Rodiah mulai terdengar sedikit cemas, mencoba melepaskan tangannya, namun genggaman Ruri kuat.

Ruri tidak menjawab. Tatapannya menelanjangi Rodiah, kini penuh dominasi yang terbuka. Tangannya perlahan masuk ke saku celananya, mengeluarkan selembar kertas lusuh itu.

Ia membukanya perlahan, memperlihatkan bagian yang paling penting, bagian yang tertera "PROBABILITAS PATERNITAS: 0%" di bawah nama Vera dan Rahman.

Mata Rodiah membelalak. Wajahnya seketika memucat pasi, Bibirnya ternganga, namun tak ada suara yang keluar.

Kertas itu, rahasia terbesarnya, rahasia yang ia kubur dalam-dalam selama lebih dari dua puluh tahun, kini ada di tangan menantunya. Darahnya terasa berhenti mengalir. Kengerian yang murni dan dingin mencengkeramnya.

"Apa ini...?" Suara Rodiah tercekat, nyaris tak terdengar.

Ia langsung mengerti apa yang Ruri pegang. Sebuah kepanikan murni meledak dalam dirinya. Ia menerjang maju, tangannya terulur ingin merebut kertas itu dari genggaman Ruri, matanya memancarkan kengerian yang dalam, air mata nyaris menetes.

Namun Ruri sudah menduganya. Ia lebih cepat dan lebih kuat. Tangannya bergerak mundur dengan cekatan, menjauhkan kertas itu dari jangkauan Rodiah.

Senyum dingin terukir di bibirnya. Ia melihat ketakutan yang begitu jelas di mata Rodiah, dan itu memberinya kekuatan yang memabukkan, sebuah energi baru yang memuaskan hasratnya yang lain hasrat akan kekuasaan.

"Kau tahu ini apa, Ma?" bisik Ruri, suaranya rendah, namun mengancam, seperti desisan ular.

Ia mengangkat kertas itu sedikit lebih tinggi, seolah menggantungkan nasib Rodiah dan seluruh keluarganya di udara.

"Kembalikan itu, Ruri! Dari mana kau dapatkan?! Ini tidak benar! Ini fitnah!" Ucap Rodiah.

Nafasnya terengah-engah, tubuhnya gemetar tak terkendali. Ia mencoba menerjang lagi, meraih-raih udara kosong.

Ruri hanya menggelengkan kepala pelan, menatapnya dengan tatapan meremehkan. Ia melangkah satu langkah mendekat, membuat Rodiah terpaksa mundur hingga punggungnya menyentuh permukaan meja dapur granit yang dingin dan keras. Posisi mereka kini sangat dekat, tubuh Ruri nyaris menempel, mengunci Rodiah di tempatnya.

"Dari mana aku dapatkan itu tidak penting, Ma," desis Ruri.

tatapannya menembus mata Rodiah, penuh dominasi yang mengerikan.

"Yang penting adalah... aku menemukannya. Dan sekarang aku tahu. Aku tahu Vera bukan anak kandung Papa Rahman." tambahnya.

Ia melihat Rodiah menelan ludah dengan susah payah, ketakutan begitu nyata di setiap inci tubuhnya. Rodiah memejamkan mata sesaat, mengakui kekalahan.

Ruri menurunkan tangan yang memegang kertas itu, kini menggenggamnya erat. Tangannya yang lain terulur, perlahan menyentuh bahu Rodiah, sentuhan itu terasa panas membakar menembus kain blus katun tipis Rodiah.

Sentuhan yang selama ini hanya ada dalam mimpinya, kini menjadi kenyataan, didorong oleh ancaman.

"Rahasia ini akan aman bersamaku Ma," ucap Ruri.

suaranya melembut, namun penuh janji terlarang. Ia mendekatkan wajahnya, bibirnya nyaris menyentuh telinga Rodiah.

"Asalkan Mama mau menuruti kemauanku." tambahnya.

Napas Rodiah tertahan di dadanya. Ia merasakan kehangatan napas Ruri di telinganya, sebuah sentuhan yang terasa asing, mengancam, dan terlalu intim. Ia merasakan kekalahan yang pahit.

"Apa... apa yang kau inginkan?" ucap rodiah.

suaranya nyaris tak terdengar, bergetar, putus asa.

Ia meraih tangan Ruri yang menyentuh bahunya, mencoba mendorongnya, namun tenaganya hilang ditelan ketakutan.

"Uang? Berapa? Katakan saja, Ruri! Berapa pun yang kau mau!" tawar Rodiah panik.

"Perhiasan? Ada di brankas... kau bisa mengambil apa saja! Ambil semua yang kau mau, asal kau menyerahkan kertas itu padaku!" Tambahnya, Ia bahkan mencoba menawarkan lebih.

Ruri hanya tersenyum dingin, menggelengkan kepala pelan. Matanya tidak beralih dari Rodiah, dari setiap lekuk tubuhnya yang selama ini hanya ia impikan. Dari payudaranya yang menjulang di balik blus, hingga bokongnya yang berisi yang terasa menempel di meja.

"Bukan uang dan perhiasan yang Ruri mau, Ma," ucapnya.

Ia melangkah lebih dekat, mengunci Rodiah di antara tubuhnya dan meja dapur.

"Yang aku mau... adalah Mama." Tambahnya.

suaranya serak namun penuh ketegasan, sebuah pernyataan yang membalikkan peran mereka.

Rodiah tersentak, mata lebarnya menatap Ruri dengan campuran kejutan, kemarahan, dan ketakutan yang mendalam.

Ia mencoba membaca niat di mata menantunya, namun yang ia temukan hanyalah kegelapan dan hasrat murni. Ia tahu, ia benar-benar tidak punya pilihan. Rahasia itu lebih berharga daripada kehormatannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel