Part 5
Keesokan harinya.
Mentari pagi menyapa ramah setiap insan di bumi. Membangunkan mereka yang baru saja kembali dari dunia mimpi. Tapi tidak dengan Galang, tidak seperti hari biasanya, yang selalu sulit di bangunkan. Kini Galang sudah terbangun dari jam tiga pagi. Pikirannya terus terngiang dengan perkataan Lula sang Sekretaris. Gadis itu berjanji akan mengubah penampilannya. Hal itu membuat Galang penasaran setengah hidup. Matanya sulit terpejam. Ia sempat tertidur, tapi yang ada dia malah memimpikan Lula.
Ya, Lula benar-benar berubah, tapi sayangnya, bukan berubah menjadi wanita cantik, melainkan menjadi seorang wanita tua yang menyeramkan. Wajahnya keriput, rambutnya berubah putih kusut, memakai jubah hitam, dengan membawa tongkat panjang. Kalau kalian berpikir, Lula seperti nenek sihir, memang itu yang ada dalam mimpinya.
Maka dari itu, rasa penasarannya kini telah membuatnya kesulitan tidur.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu membangunkan Galang dari lamunannya. Dia mengerjapkan matanya saat pintu terbuka pelan, ternyata Lula. Dia memperhatikan gadis itu lekat, melihat dari atas sampai bawah. Galang terperangah saat Lula melangkah masuk.
"Selamat pagi, Pak," sapa Lula, seperti biasanya ekspresinya selalu datar.
"Lula." panggil Galang.
"Saya, Pak."
"Jadi, mana janjimu yang bilang ingin berubah?"
Lula mengerutkan dahinya. Lalu dia melihat penampilannya sendiri. "Saya berubah, Pak. Saya menggunakan rok," kata Lula dengan menunjukkan roknya.
Saat ini Lula memakai rok sepan hitam panjang yang kebesaran, atasannya tetap kemeja putih dan blazer hitam yang juga kebesaran. Iya, bagi Lula itu sudah menjadi
perubahan yang cukup besar, mengingat dirinya sangat tidak suka dan tidak betah memakai rok.
Galang menepuk dahinya, dia berdecak kesal. "Apa begini perubahanmu?" tanya Galang. Lula mengangguk.
"Apa saya harus mengganti dengan celana seperti biasa, Pak?" tanya Lula. Galang menatap Lula tajam.
"Iya, ganti sekarang! Perubahanmu tidak ada bedanya sedikit pun!" seru Galang, lalu dia bangkit dari ranjangnya dan berjalan menuju Kamar mandi.
Lula menatap kepergian Galang yang marah, gadis itu mengedikan bahunya, kemudian dia melihat kembali pada penampilannya.
"Hm, ini cukup bagus." gumamnya. Kemudian keluar dari kamar Galang untuk mengganti bawahannya. Untung saja dia membawa celananya. Kalau tidak, Lula yakin dia tidak akan bergerak bebas hari ini.
****
Galang menatap jam yang melingkar di tangan kanannya. Dia menghela nafas kesal untuk yang ke sekian kalinya, matanya menatap pintu kamar tamu yang tak kunjung terbuka.
"Ke mana sih Lula? Mana ada atasan yang menunggu Sekretarisnya." gumam Galang.
Merasa kesabarannya telah lenyap, Galang pun memilih keluar dari rumahnya. Dia berniat meninggalkan Lula saja. Memangnya siapa gadis itu harus dia tunggu?
Tapi langkahnya terhenti secara mendadak saat melihat orang yang dia tunggu sudah berdiri di depan mobilnya. Gadis itu tersenyum kecil, enggan menampakkan giginya.
"Selamat pagi, Pak. Mau pergi sekarang?" tanya Lula.
"Kamu?!" seru Galang sembari menunjuk Lula. "Kenapa sudah di sini?" tanya Galang.
"Seperti biasa, Pak, saya akan menunggu di sini," jawab Lula dengan ekspresi datarnya.
"Ck. kenapa gak bilang? Sedari tadi saya tunggu kamu di dalam, saya kira kamu masih ganti baju kamu."
"Maaf, Pak, tapi saya sudah ganti sedari tadi." Galang kembali berdecak. Kemudian dia memilih masuk ke dalam mobil dengan pintu yang di bukakan dengan Lula.
***
Galang melangkah lebar menuju lift, dengan Lula yang selalu mengekorinya. Sembari menyebutkan agenda Galang di hari ini. "Hari ini, ada pertemuan penting dengan pak Marcel, Pak," kata Lula.
Galang menatap lurus ke depan sembari menunggu lift terbuka, dia tidak menanggapi ucapan Lula.
Ting!
Galang segera masuk ke dalam begitu juga dengan Lula. "Pak, pak Marcel ingin anda menentukan tempat pertemuannya nanti sore. Tempat mana yang akan ada pilih, saya akan memesannya segera."
"Bilang dengannya, bertemu saja di kantor seperti biasa, kita bukan sedang kencan."
"Baik, Pak." Lula tidak mau banyak bertanya. Bukannya apa, dia malas kalau harus menentang atasannya.
Ting!
Lift terbuka, Galang segera keluar. "Lula buatkan saya kopi hitam seperti biasa." perintah Galang.
Lula mengangguk. " Baik, Pak."
***
Beberapa menit kemudian.
Ketukan pintu terdengar dari luar ruangan. "Masuk!" perintah Galang
Pintu terbuka menampakkan Lula dengan tray yang terdapat secangkir kopi di atasnya, Lula berjalan mengarah ke meja Galang.
"Kopinya, Pak." Lula meletakan kopi itu tepat di hadapan Galang. "Ada lagi, Pak?" tanya Lula. Galang menggeleng.
"Kamu boleh keluar." Lula mengangguk hormat, dia berbalik tubuh hendak keluar, tapi panggilan Galang menghentikan niatnya. "Lula."
"Saya, Pak."
"Kamu sudah pernah melihat Marcel?" tanya Galang.
Lula terdiam sejenak, mencoba mengingat. "Belum, Pak. Pak Marcel satu-satunya orang yang belum saya cari tahu. Ada apa, Pak? Apa perlu saya mencari identitas lengkapnya?"
Galang menggeleng seraya tersenyum kecil. "Jangan, tidak perlu. Kamu boleh keluar." perintah Galang.
Lula kembali menunduk hormat, dan kali ini dia benar-benar pergi dari ruangan Galang. Galang menatap kepergian Lula.
Dia hanya ingin tahu, apa Lula bisa menolak tampang Marcel? Pria berparas tampan yang tidak ada tandingannya.
Karena setiap wanita pasti akan tergila-gila dengan Marcel, begitu juga dengan kekasih Galang dulu. Tidak, bukan kekasih, melainkan matan kekasih.
Ya, setiap wanita Galang selalu pergi setelah melihat Marcel, mereka semua berpaling dari Galang hanya untuk mendekati Marcel, sedangkan pria itu, tak ada bedanya dengan Lula, dingin dan datar. Tapi bukan berarti Marcel polos seperti Lula. Pria itu memang sangat pendiam dan irit dengan bicara.
Andai saja kalau Marcel bukanlah sahabatnya dari kecil, mungkin Galang tidak sudi bertemu dengan pria pelit bicara itu.
"Kita lihat nanti, apa Lula masih bisa bertingkah polos dan berpenampilan kuno seperti itu saat dia bertemu dengan Marcel." gumam Galang sembari menyeringai.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Galang berdecak kesal saat Marcel belum juga memperlihatkan batang hidungnya. Lula yang duduk di satu meja yang sama
dengan Galang merasakan canggung dan risi. Saat ini mereka berada di salah satu restoran yang Marcel pesan, karena Galang tidak mau memesan tempat. Pelit.
"Pak, saya pindah meja saja, ya?" tanya Lula yang hampir menyerupai permohonan.
"Jangan!" larang Galang. "Kamu tetap di sini, jangan buat saya merasa bosan menunggu Marcel." Lula mengangguk.
Sesaat kemudian, pengunjung restoran terdengar riuh, Galang berdecak, dia tahu apa penyebabnya, tak lama dari itu seseorang memanggil namanya. "Galang!"
Galang menoleh, dan benar saja, pembuat onar itu datang sembari melambaikan tangannya. Marcel berjalan dengan penuh pesona menghampiri meja Galang dan Lula.
"Maaf, Gue telat," kata Marcel.
"Enggak aneh," kata Galang sembari bersalaman pria seperti biasanya.
Marcel duduk di dekat Galang, Galang menoleh pada Lula, tapi gadis itu seperti biasanya, dia tetap berekspresi datar.
"Siapa?" tanya Marcel pada Galang sembari menunjuk Lula.
"Ini Sekretaris Gue, Lula," jawab Galang.
Hal yang tidak di duga, Marcel mengulurkan tangannya pada Lula. "Marcel," ujar Marcel mengenalkan diri.
"Lula," jawab Lula.
Mereka saling berkenalan, dan yang membuat Galang tidak habis pikir, Marcel-lah yang terlihat antusias berkenalan dengan Lula. What the heel? - batin Galang.
***
