Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6

Tokyo

Langit Tokyo perlahan berubah menjadi oranye keemasan saat matahari tenggelam di ufuk barat, menyelimuti kota dengan kehangatan senja yang kontras dengan udara dingin yang mulai merayap. Lampu-lampu neon dari deretan toko di sepanjang jalan mulai menyala, menciptakan pemandangan yang indah. Suara langkah tergesa-gesa orang-orang yang berlalu-lalang berpadu dengan gemerisik dedaunan yang tertiup angin lembut, menghadirkan harmoni kehidupan di tengah keramaian. Namun di antara semua itu, seorang wanita mungil tampak melangkah santai, seperti berada di dunianya sendiri.

Hoodie kebesaran berwarna krem membungkus tubuh kecilnya, berpadu dengan ransel pastel yang menggantung ringan di punggungnya. Harin, nama wanita itu, tampak berseri, matanya berbinar setiap kali melihat benda-benda unik di etalase toko. Senyumnya yang kecil namun manis menghiasi wajahnya, menambahkan kehangatan di tengah dinginnya udara sore.

Ketika matanya menangkap sebuah toko aksesori kecil di sudut jalan, Harin menghentikan langkahnya. Ia melangkah masuk dengan semangat yang tak tertahan, seolah menemukan oasis kecil di antara lautan gedung pencakar langit Tokyo. Rak-rak kecil penuh gantungan kunci lucu menyambutnya. Tangannya terulur, mengambil sebuah gantungan berbentuk kucing dengan hati-hati. Alisnya sedikit berkerut, pertanda ia sedang mempertimbangkan sesuatu dengan serius.

“Hmm... apa ini cocok untuk oleh-oleh?” gumamnya pelan. Suaranya nyaris tenggelam di antara langkah pengunjung lain yang bergerak mondar-mandir. Pandangannya berpindah-pindah, menyusuri rak dengan teliti, seperti mencari benda yang sempurna untuk seseorang yang istimewa.

Getaran halus dari ponselnya mengalihkan perhatian. Harin merogoh ranselnya, menarik ponsel yang tertimbun di antara buku catatan kecil dan botol minumnya. Sebuah pesan muncul di layar.

_"Tidak perlu bawa oleh-oleh."_

-Ice Princesseo-

Harin mendesah pelan, tetapi tak bisa menahan senyumnya. Pesan itu mungkin terdengar dingin, tetapi ia tahu, itulah cara khas kakaknya, Seohee, menunjukkan perhatian. Harin mengetik balasan cepat.

_"Tidak menerima penolakan, Eonnie. Terima saja."_

Ia menambahkan emotikon hati di akhir pesannya, lalu terkikik kecil sambil bergumam, “Apa dia cenayang? Dasar.”

Belum selesai ia menaruh ponselnya, getaran lain muncul. Pesan baru dari kakaknya yang lain.

_"Apa kamu akan pulang? Aku akan jemput."_

-Knight Ji-

Senyum Harin semakin melebar. Pesan itu khas Jiyeon—kakak yang selalu protektif dan penuh perhatian.

_"Tidak perlu, Rian sudah menjemputku."_

Harin mengetik cepat. Setelah mengirim pesan, ia menatap layar ponselnya sejenak, membiarkan rasa hangat menyelimuti hatinya. Jiyeon selalu memberinya rasa aman.

Tak lama kemudian, balasan Jiyeon muncul.

_"Baiklah, kabari aku jika sudah sampai di Korea."_

_"Siap, Eonnie,"_ jawab Harin sebelum memasukkan kembali ponselnya.

Sebuah suara pria terdengar dari dekat kasir, “Harin-ah, apa kamu sudah memilihnya?”

Harin menoleh dan mendapati Rian, teman lamanya sekaligus pengawalnya selama di Tokyo, mendekat dengan santai.

“Sudah,” jawab Harin ceria. Ia membawa tiga gantungan kunci ke kasir—kupu-kupu, anjing kecil, dan kucing—dan menyerahkannya untuk dibayar.

Rian mengangkat alis, lalu berkomentar pelan, “Itu terlalu kekanak-kanakan, bukan?”

Harin hanya tersenyum jahil. “Aku tahu kamu iri karena aku tidak membelikanmu,” ujarnya dengan santai mengeluarkan gantungan kunci kayu tambahan dan menyerahkannya ke kasir.

Rian mendengus kecil. “Tidak. Aku juga punya uang untuk benda kecil seperti itu, tahu.”

Tawa Harin memenuhi ruangan kecil itu, membuat suasana menjadi lebih hangat.

Saat mereka melangkah keluar toko, Harin berjalan di belakang Rian dengan senyuman kecil. Dengan gerakan hati-hati, ia memasang gantungan kayu yang baru saja dibelinya pada tas Rian.

Langit Tokyo kini berubah menjadi tabir malam yang dihiasi gemerlap bintang-bintang kecil, berpadu dengan cahaya neon yang hidup di setiap sudut kota. Mereka berjalan di trotoar yang mulai lengang, langkah mereka berirama dengan suara musik dari musisi jalanan.

“Apa kamu tidak lelah?” tanya Rian, menoleh ke belakang memastikan Harin masih mengikutinya.

“Tidak,” jawab Harin ceria. “Tokyo terasa sangat hidup, meskipun sudah malam.”

Rian mengangguk kecil, membiarkan Harin menikmati setiap momen.

Namun, saat mereka melewati sebuah kedai kopi kecil, Harin berhenti. “Ah, kita mampir sebentar ya?”

“Kamu tadi bilang sudah kenyang,” protes Rian.

“Aku tidak lapar, tapi aku ingin minuman hangat,” kata Harin, menarik lengan jaket Rian tanpa menunggu persetujuan.

Di dalam kedai yang hangat, mereka menikmati minuman masing-masing—cokelat panas untuk Harin dan espresso untuk Rian. Harin memandangi jendela besar sambil tersenyum kecil, membiarkan pikirannya melayang.

“Kamu terlihat bahagia,” komentar Rian.

“Tentu saja,” jawab Harin. “Aku ingin menikmati setiap momen. Kapan lagi aku bisa merasakannya lagi.”

Saat mereka kembali berjalan, mata Harin tertuju pada tas Rian. Gantungan kayu kecil itu bergoyang lembut, memantulkan cahaya lampu jalan. Harin terkikik pelan, merasa puas dengan keusilannya.

“Ada apa?” tanya Rian curiga.

“Tidak apa-apa,” jawab Harin, menyembunyikan senyumnya. Dalam hati, ia merasa senang. Terkadang, kebahagiaan ditemukan dalam kejutan kecil dan momen sederhana.

~

Rooftop diSeoul malam itu terasa begitu dingin, tetapi Jiyeon tidak peduli.

Rokok di tangannya menyala redup, menyebarkan asap tipis yang melayang-layang di udara sebelum lenyap bersama angin malam. Dari tempatnya berdiri, pemandangan lampu gedung-gedung tinggi Seoul terlihat begitu indah, namun kesunyian di dalam hatinya jauh lebih memekakkan dibanding hiruk pikuk jalanan di bawah sana. 

Ini adalah tempat pelariannya selama beberapa tahun terakhir, sejak hubungan dengan Seohee terasa seperti perang dingin yang tak pernah berakhir. Namun, Jiyeon tahu itu bukan perang—karena dia tidak pernah mencoba melawan. Seohee-lah yang dingin, yang menjaga jarak, yang entah mengapa berubah begitu jauh. Dan Jiyeon hanya bisa bertahan di dekatnya, mencoba untuk tetap ada tanpa tahu bagaimana memperbaiki semuanya. 

"Ku dengar Harin akan pulang. Apa kamu juga akan pulang, Jiyeon-a?" 

Suara yang sangat familiar membuyarkan lamunannya. Lee Sunhwa, dokter sekaligus tetangga yang sudah lama ia kenal, berdiri di sampingnya. Wajah Sunhwa terlihat tenang seperti biasanya, dengan jubah dokternya yang sedikit kusut akibat shift panjang. 

Jiyeon hanya diam sejenak, menghisap rokoknya sekali lagi sebelum menghembuskan asap ke udara. "Hmm, aku akan pulang kalau Harin pulang nanti," jawabnya datar. Matanya masih terpaku pada lampu-lampu gedung, seolah mencoba menghindari tatapan Sunhwa. 

Sunhwa mengambil rokok di tangan Jiyeon, mematikannya dengan ujung sepatunya. "Sebelum itu, harusnya kamu meminta maaf dulu, bukan?" tanyanya lembut, tetapi dengan nada yang sulit diabaikan. 

"Aku sudah pernah melakukannya. Apa aku harus melakukannya lagi?" Jiyeon menjawab sambil mendengus kecil. 

"Ya, seharusnya," balas Sunhwa tegas. Dia menatap Jiyeon, yang kini menendang puntung rokok ke tepi rooftop. "Apa kamu pikir meminta maaf sekali cukup untuk meluruskan semuanya? Kamu tahu betul, Seohee bukan orang yang mudah melupakan sesuatu. Dia tidak seperti kamu." 

Jiyeon memasukkan kedua tangannya ke saku jaket kulitnya. Udara malam yang menggigit kulit tidak cukup membuatnya terganggu, tetapi kata-kata Sunhwa cukup menusuk hati. Jiyeon tahu Sunhwa benar. Seohee selalu menyimpan segalanya—amarah, rasa kecewa, bahkan rasa sayangnya—di tempat yang sulit dijangkau siapa pun. Tapi di balik semua itu, Jiyeon yakin Seohee tidak pernah benar-benar membencinya. 

"Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan," gumam Jiyeon akhirnya, suaranya serak. "Aku sudah mencoba, Eonnie. Tapi sepertinya aku selalu salah." 

Sunhwa tersenyum tipis, senyum penuh pengertian. "Apa kamu pernah menjelaskan kenapa lima tahun yang lalu kamu tidak datang ke pemakaman Appa kalian? Kamu bahkan menghilang waktu itu, Jiyeon-a." 

Pertanyaan itu membuat Jiyeon tertegun. Luka lama yang sengaja ia kubur dalam-dalam kini muncul kembali. Ia menggigit bibir bawahnya, menunduk, dan menarik napas panjang. "Aku tidak bisa, Eonnie," gumamnya nyaris seperti bisikan. "Aku... aku tidak cukup kuat waktu itu." 

"Atau kamu memilih untuk lari?" potong Sunhwa tajam. 

Jiyeon menutup matanya, berusaha menahan rasa sakit yang tiba-tiba menghantam dadanya. "Aku takut. Aku takut melihat wajah Seohee, takut mendengar amarahnya. Aku tahu aku salah, tapi aku tidak tahu bagaimana menghadapinya." 

Sunhwa menghela napas panjang, mencoba memahami. "Dan sekarang, kamu pikir dengan hanya mendekati Seohee tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, semuanya akan baik-baik saja?" 

"Aku tidak tahu, Eonnie," Jiyeon mengaku dengan jujur. "Aku hanya ingin ada di dekat mereka. Aku tidak peduli jika Seohee membenciku seumur hidupnya, selama dia tetap sehat, tetap bahagia. Itu sudah cukup bagiku." 

"Tapi itu tidak cukup untuk Seohee," balas Sunhwa dengan suara yang lebih lembut. "Dia ingin tahu kenapa kamu memilih pergi di saat-saat yang paling sulit untuk kalian berdua. Dia ingin tahu kenapa kamu menghilang." 

Jiyeon merasa dadanya semakin sesak. Dia tahu Sunhwa benar. Namun, menjelaskan semuanya tidaklah semudah itu. Ada terlalu banyak hal yang ia takutkan, terlalu banyak luka yang belum sembuh. 

"Aku akan mencoba," gumam Jiyeon akhirnya, suaranya hampir tak terdengar. "Tapi... bisakah kamu memberiku waktu, Eonnie? Aku tidak tahu bagaimana memulainya." 

Sunhwa tersenyum, kali ini lebih hangat. "Aku tidak bisa menjanjikan Seohee akan mendengarkanmu, tapi kalau kamu benar-benar mencoba, mungkin dia akan melihat bahwa kamu tulus. Jiyeon-a." 

Jiyeon menatap langit malam Seoul, lampu-lampu kota tampak seperti bintang yang bersinar terang. Dia berharap keindahan itu bisa memberinya sedikit keberanian.

~

Sinar matahari pagi menyusup lembut melalui tirai tipis di jendela, menyebarkan kehangatan ke seluruh kamar. Cahaya itu perlahan membangunkan suasana ruangan yang nyaman dan elegan. Di atas tempat tidur besar dengan selimut putih bersih, Areum masih terlelap, tubuhnya tenggelam dalam kenyamanan yang sudah lama tidak ia rasakan. Tidurnya begitu nyenyak hingga ia tak menyadari waktu yang terus berlalu.

Di luar, kicauan burung-burung kecil terdengar samar, melengkapi ketenangan pagi yang jarang ia dapatkan. Namun, ketenangan itu segera pecah oleh suara ketukan lembut di pintu.

Tok tok tok.

Areum menggeliat malas di tempat tidur, alisnya sedikit berkerut karena merasa terganggu. Ketukan itu datang lagi, kali ini lebih tegas, memaksanya untuk membuka mata.

"Nona, sarapan sudah siap," suara lembut seorang pelayan terdengar dari balik pintu, penuh sopan santun yang terjaga.

Areum menghela napas panjang, lalu perlahan bangun dari tempat tidur. Matanya masih setengah terbuka, dan rambutnya yang berantakan menambah kesan polos pada penampilannya. Tubuhnya masih terasa lelah, tapi kenyamanan tempat tidur itu membuatnya sedikit enggan untuk meninggalkan kamar.

"Baik, saya mandi dulu," jawab Areum dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur. Tanpa menunggu respons, ia berbalik menuju kamar mandi yang terletak di sudut ruangan. Langkahnya lambat, seolah tubuhnya masih menyesuaikan diri dengan pagi yang damai.

Pancuran air hangat mengalir deras, membasahi tubuhnya, membawa sensasi nyaman yang menyapu sisa kelelahan. Areum berdiri di bawah pancuran, membiarkan pikirannya melayang tanpa arah. "Ini seperti mimpi," gumamnya pelan, matanya terpejam menikmati kehangatan air. "Kemarin aku hampir tidur di trotoar, tapi pagi ini aku bangun di tempat semewah ini."

Ada perasaan campur aduk yang menjalar di hatinya, kombinasi antara syukur dan kebingungan. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia tidak perlu memikirkan tempat tinggal atau makanan—setidaknya untuk hari ini. Namun, ketenangan itu juga diselimuti perasaan tidak pasti yang sulit ia pahami.

Setelah selesai mandi, Areum berdiri di depan cermin besar di kamar mandi, menatap pantulan dirinya. Wajahnya yang segar terlihat sedikit lebih tenang, meskipun ada jejak kegelisahan yang tersisa. Dengan jari-jarinya, ia merapikan rambut basah yang menjuntai di wajahnya, mencoba menata dirinya untuk menghadapi hari yang baru.

Pikirannya melayang ke Seohee—wanita dengan aura kuat yang memberinya tempat berlindung, tetapi sekaligus membuatnya merasa kecil dan canggung. Sejauh ini, Seohee tidak pernah bersikap kasar padanya, tetapi kehadirannya yang begitu dominan membuat Areum sulit untuk bersantai.

"Santai saja, Areum. Ini cuma sementara. Jangan terlalu bergantung padanya" bisiknya kepada diri sendiri, suaranya pelan tetapi penuh usaha meyakinkan. Ia menarik napas dalam, membiarkan udara pagi yang sejuk menenangkan hatinya.

Dengan langkah ringan, Areum keluar dari kamar mandi, mengenakan pakaian sederhana yang ia temukan di kamar. Ia berdiri sejenak, memandangi ruangan itu sekali lagi, masih sulit percaya bahwa tempat ini adalah kenyataan. Sambil menarik napas panjang, ia mempersiapkan diri untuk menghadapi hari baru yang penuh tanda tanya di tempat yang asing tetapi hangat ini.

-To be Continued-

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel