7
Pagi ini suasana ruang makan terasa sunyi. Hanya terdengar suara halus jarum jam yang berdetak di dinding, melengkapi keheningan di meja makan yang luas. Hidangan-hidangan yang tersaji—roti panggang, salad segar, dan kopi hangat—terlihat menggugah selera. Namun, Areum yang duduk di salah satu sisi meja tampak sibuk menatap piringnya, alih-alih menikmati makanan yang ada.
Di seberangnya, Seohee duduk dengan sikap santai tetapi tetap berwibawa. Dengan gerakan anggun, ia meneguk susu dari gelas kaca di tangannya sebelum melirik sekilas ke arah Areum. Ekspresinya tetap tenang, tanpa senyum maupun tanda ketidaksabaran.
"Makan saja, jangan canggung begitu," ucapnya tiba-tiba, memecah keheningan. Suaranya terdengar tegas namun tidak dingin, lebih seperti perintah yang tidak memaksa.
Areum tersentak, wajahnya langsung memerah. "I-iya," jawabnya tergagap, buru-buru mengambil sendok dan menyuapkan makanan ke mulutnya. Namun, tangannya sedikit gemetar, dan rasa canggung di antara mereka masih belum sepenuhnya hilang.
Seohee menatapnya sesaat, alisnya terangkat samar, sebelum kembali fokus pada laptop yang terbuka di hadapannya. Ketika suasana kembali hening, ia bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Kamu bekerja di mana sebelumnya?"
Areum terdiam. Sendok yang baru saja ia angkat melayang di udara sebelumnya perlahan ia letakkan kembali. Wajahnya tertunduk, bibirnya tergigit, seolah mencari kata-kata yang tepat.
"Aku baru saja dipecat kemarin," ucapnya akhirnya, suaranya kecil, dipenuhi rasa malu. Ia berhenti sejenak sebelum menambahkan, "Karena itu aku tidak fokus saat menyeberang jalan. Maafkan aku."
Seohee menutup laptopnya perlahan. Pandangannya kini tertuju sepenuhnya pada Areum, tetapi ekspresinya tetap sulit terbaca. Ia mengamati Areum sejenak, kemudian berkata dengan nada datar, "Tidak apa-apa."
Areum mengangkat wajahnya, menatap Seohee dengan bingung.
Seohee menghela napas ringan sebelum melanjutkan, "Tidak ada yang terluka parah. Hanya mobilku saja yang sedikit lecet."
Ucapan itu terdengar begitu sederhana, tetapi Areum merasa dadanya semakin berat. Rasa bersalah terus menghantui pikirannya. Ia segera berdiri, membungkuk berkali-kali dengan tergesa-gesa, suaranya terdengar semakin cemas. "Aku minta maaf! Aku akan mencicil kerusakan mobilmu begitu aku mendapat pekerjaan baru. Aku sungguh menyesal."
Seohee menatap Areum dengan tatapan datar, seolah sedang menilai sesuatu. Ia berdiri dengan tenang, merapikan blazer yang dikenakannya. "Tidak perlu dipikirkan," ujarnya singkat.
Areum mendongak, kebingungan tergambar jelas di wajahnya.
Seohee berjalan menuju pintu ruang makan, langkahnya ringan tetapi penuh keyakinan. "Jangan khawatir. Makan saja yang banyak," ucapnya, tanpa menoleh. Suaranya memecah keheningan yang sempat kembali menyelimuti ruangan.
Areum kembali duduk perlahan, pandangannya tertuju pada makanan di depannya, tetapi pikirannya melayang jauh. Seohee membuatnya bingung—tidak ada kemarahan, tidak ada keluhan, hanya ketenangan yang sulit ia pahami.
"Dia ini sebenarnya orang seperti apa?" pikir Areum, menghela napas panjang.
Namun, di balik sikap dingin dan sulit dipahami Seohee, Areum mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Ada kehangatan samar yang sulit dijelaskan, sesuatu yang membuatnya merasa dihargai meski dalam situasi yang aneh ini.
~
Di rumah megah itu, Areum merasa dirinya bagai ikan kecil di lautan besar. Kemewahan yang menghiasi setiap sudut ruangan hanya mempertegas betapa asing dan dinginnya tempat itu baginya. Langit-langit yang tinggi, dekorasi yang sempurna, serta suara langkah para pelayan yang berjalan anggun memberikan kesan istana megah, tetapi tanpa kehangatan.
Langkahnya pelan, melewati lorong panjang yang dihiasi lukisan-lukisan mahal. Seorang maid mendekatinya dengan senyum ramah. "Non, ada yang bisa saya bantu? Atau mungkin ingin sesuatu untuk dimakan?" tawarnya sopan, nada suaranya lembut.
Areum tersentak kecil, tidak terbiasa dengan perhatian semacam itu. Senyum kaku menghiasi wajahnya. "Ah, tidak perlu. Terima kasih," ujarnya cepat sebelum melanjutkan langkah. Namun, rasa canggung itu tetap membayangi.
Ia mengikuti nalurinya, kakinya membawa dirinya ke dapur yang sunyi. Dapur itu terlihat sangat rapi, seperti jarang digunakan. Aroma samar roti panggang menyambutnya. Ia berdiri di ambang pintu, memandangi ruangan yang terasa lebih bersahabat daripada ruangan lainnya.
Seorang pelayan paruh baya tengah sibuk menata piring di rak. Saat melihat Areum, ia tersenyum hangat. "Ingin makan sesuatu, Non? Atau ingin bibi buatkan minuman?" tanyanya ramah.
Areum balas tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan rasa canggung yang terus menghantui. "Tidak perlu, Bi. Saya cuma mau ambil air putih," jawabnya sambil melangkah ke arah dispenser. Tangannya sedikit gemetar saat mengisi gelas, tetapi ia berusaha terlihat biasa saja.
Ia meneguk air itu perlahan, berharap rasa dinginnya mampu menenangkan pikirannya. Pelayan itu melanjutkan pekerjaannya, tetapi Areum memanggilnya sebelum ia pergi.
"Bi," panggil Areum pelan.
"Iya, Non?" Pelayan itu menoleh, masih dengan senyum hangat yang tak berubah.
"Seohee tinggal di rumah sebesar ini sendirian?" tanya Areum, rasa penasaran mulai menguasai pikirannya.
"Tidak, Non. Nona Seohee tinggal bersama dua adiknya. Tapi beberapa tahun terakhir ini, mereka jarang pulang karena kesibukan masing-masing," jelas pelayan itu. "Hanya Nona Jiyeon yang sesekali datang untuk makan bersama Nona Seohee."
Areum terdiam sejenak, mencerna penjelasan itu. "Jadi dia punya adik, ya? Tapi kenapa rumah ini terasa begitu sepi?" gumamnya, hampir tak sadar bahwa ia berbicara.
Pelayan itu tersenyum, kali ini dengan sedikit kesedihan yang tersirat. "Dulu rumah ini memang lebih ramai, Non. Tapi sejak Nona Harin melanjutkan studinya di Jepang, suasana di sini memang berubah. Semua jadi terasa berbeda."
Areum mengangguk pelan, hatinya sedikit terusik mendengar cerita itu. Ia menatap ke sekeliling dapur yang bersih, tetapi terasa kosong. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di balik keheningan rumah besar ini—dan apa yang membuat Seohee tampak begitu kesepian, meski memiliki segalanya.
~
Pak Kim, yang sudah terbiasa dengan rutinitas Nona Jung, segera dengan sigap membukakan pintu mobil sedan mewah milik majikannya itu. Seohee masuk tanpa sepatah kata, tangannya langsung meraih notepad dan memeriksa beberapa laporan yang baru saja diberikan oleh Aileen. Suasana di dalam mobil terasa dingin, seolah mencerminkan kepribadian Seohee yang sulit ditebak.
"Apa ada sesuatu yang harus dilaporkan, Pak Kim?" tanyanya tiba-tiba, tanpa mengalihkan pandangannya dari notepad. Nada suaranya tegas, penuh otoritas.
Pak Kim, yang sedang fokus pada jalanan di depan, hanya melirik sekilas melalui kaca spion. Ragu terlihat jelas di wajahnya, meskipun dia mencoba menyembunyikannya. Seohee, dengan naluri tajamnya, langsung menangkap keraguan itu.
"Nona Jiyeon," kata Pak Kim akhirnya, sedikit menurunkan volume suaranya. "Dia sudah kembali ke Seoul, Nona."
Seohee tetap diam, melanjutkan membaca laporan tanpa reaksi berarti. Namun, detik berikutnya dia bertanya lagi, kali ini dengan nada lebih tajam, "Hanya itu? Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku, Pak Kim?"
Pak Kim menelan ludah, merasa terpojok. "Tidak, Nona. Tapi... ada hal lain. Kakek Anda ingin bertemu dengan Anda dan Nona Harin."
Seohee mengangkat pandangannya perlahan, alisnya terangkat sedikit. "Berdua?" tanyanya dengan intonasi datar, meski nada skeptis tak bisa disembunyikan.
"Ya, Nona. Anda dan Nona Harin," jawab Pak Kim.
Seohee mendengus kecil. "Katakan saja aku sibuk. Lagipula, Harin masih berada di Tokyo." Nada bicaranya terdengar santai, namun ada sedikit nada penasaran yang terselip.
Pak Kim tidak menjawab, tapi Seohee bisa merasakan kegelisahan pria itu. Dia kembali menutup notepadnya perlahan, pandangannya kosong menatap ke luar jendela. "Kenapa hanya kami berdua yang diundang?" gumamnya pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri.
Keheningan menyelimuti mereka sebelum Pak Kim memberanikan diri berbicara. "Saya mendengar desas-desus, Nona. Ini mungkin berkaitan dengan keputusan bisnis keluarga atau makan malam resmi keluarga besar."
"Bisnis, ya?" Seohee mendengus sinis. "Lucu sekali. Mereka hanya ingat aku dan Harin ketika butuh pewaris. Apa Jiyeon diundang juga?"
Pak Kim ragu sejenak sebelum menjawab, "Sepertinya tidak, Nona. Hanya Anda dan Nona Harin."
Sekilas, jemari Seohee mengencang pada notepadnya sebelum ia kembali tenang. "Selalu seperti ini," gumamnya dingin, nyaris tak terdengar.
Pak Kim tidak berani menanggapi. Dia tahu topik ini selalu menjadi luka lama bagi Seohee—ketidakadilan yang terus dialami Jiyeon di tengah keluarga besar mereka.
"Pak Kim," panggil Seohee akhirnya.
"Ya, Nona?"
"Katakan aku tidak akan datang. Dan Harin sedang tidak di Korea. Jika mereka punya sesuatu yang penting, mereka bisa menyampaikannya lewat telepon."
"Tapi, Nona, mungkin ini—"
"Sampaikan saja seperti itu," potong Seohee, nadanya tegas. "Aku tidak punya waktu untuk duduk bersama orang-orang yang hanya peduli pada warisan dan reputasi. Terlebih jika mereka bahkan tak bisa menganggap kami semua setara."
Pak Kim mengangguk kecil, merasa tidak ada gunanya memperpanjang argumen. Seohee kembali membuka notepadnya, mencoba fokus pada laporan di depannya, meski pikirannya tidak sepenuhnya tertuju pada hal itu.
"Pak Kim," panggilnya lagi, tanpa menoleh.
"Ya, Nona?"
"Jika ada hal lain tentang Jiyeon yang kamu ketahui, laporkan padaku segera. Jangan menunggu aku bertanya."
Pak Kim mengangguk, menyadari betapa rumitnya hubungan Seohee dengan adiknya itu. "Tentu, Nona."
Setelah beberapa saat, suara Seohee terdengar lagi, kali ini lebih pelan. "Dan awasi Harin di Tokyo. Pastikan dia tidak mendapat masalah."
"Baik, Nona. Saya akan mengatur seseorang untuk memantau Nona Harin," jawab Pak Kim dengan nada profesional.
Seohee kembali tenggelam dalam keheningan, matanya menatap keluar jendela. Di balik ekspresi dinginnya, ada pergolakan yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun. Hubungan dengan keluarga besarnya selalu penuh luka dan kepalsuan, tetapi Jiyeon dan Harin—keluarga yang mereka bangun sendiri—jauh lebih berarti baginya.
Saat mobil melaju, Seohee mendesah pelan. Sebuah bisikan keluar dari bibirnya, nyaris tak terdengar. "Kadang aku bertanya-tanya, apa arti keluarga yang sebenarnya."
-To be Continued-
