
Ringkasan
"Luka yang Membawa Pulang" adalah sebuah kisah penuh emosi yang menggambarkan perjalanan karakter-karakternya menghadapi luka masa lalu, konflik keluarga, dan pencarian makna hubungan. Dengan latar suasana kota besar yang dingin dan rumah yang terasa penuh kehangatan, cerita ini berfokus pada Seohee, seorang wanita berkarakter dingin namun penuh tanggung jawab, dan Jiyeon, adik angkatnya yang bersikap hangat namun tertutup. Konflik batin antara kedua tokoh ini diperparah oleh luka masa lalu yang memengaruhi hubungan mereka. Di tengah ketegangan ini, hadir karakter Areum, seorang wanita yang tanpa sengaja terhubung dengan mereka akibat sebuah kecelakaan. Areum membawa perspektif baru yang perlahan membantu mengungkap sisi lembut dari Seohee dan mempererat hubungan Jiyeon dan Harin, adik mereka yang ceria dan penuh kasih. Cerita ini adalah refleksi tentang memaafkan diri sendiri, menghadapi luka lama, dan menemukan kekuatan di balik hubungan yang rusak, dengan pesan mendalam bahwa setiap luka bisa menjadi jalan untuk pulang, baik ke dalam keluarga maupun ke hati yang damai.
1
Kriiiiingggg !!!!
Kriiiiingggg !!!!!
Suara alarm jam weker menggema keras, memenuhi setiap sudut rumah kecil itu. Rumah yang lebih mirip gudang daripada tempat tinggal, dengan dinding penuh coretan waktu dan perabotan tua yang hampir rapuh. Namun bagi gadis itu, tempat ini adalah satu-satunya zona nyaman yang ia miliki, meski hanya beralaskan kasur tipis dan bantal tua yang sudah kehilangan bentuknya.
Kim Areum menggeliat malas, tubuhnya terasa kaku dan pegal. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia meraih jam weker di sampingnya dan menekan tombol untuk menghentikan suara nyaring itu. Matanya masih berat, tetapi ia memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidurnya. Napas panjang terdengar saat ia beranjak menuju kamar mandi dengan langkah gontai, menyeret kakinya yang terasa seperti membawa beban.
Sesaat ia berdiri di depan cermin besar di lemari kayunya, mengamati pantulan wajah yang tampak lelah dan kusam. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin kentara, tanda perjuangannya menghadapi hari-hari tanpa henti. "Aku terlihat seperti hantu," gumamnya lirih, setengah tertawa, setengah mencemooh dirinya sendiri. Ia meraih lipstik yang hampir habis, mengoleskannya tipis-tipis untuk memberikan sedikit warna pada wajah pucatnya. Tidak ada waktu untuk perawatan atau riasan yang rumit, ini sudah lebih dari cukup untuk menghadapi dunia luar.
Areum mengambil tas lusuhnya, menghirup napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar rumah kontrakannya. Baru saja ia ingin mengunci pagar yang sudah berkarat, sebuah suara berat memanggilnya dari belakang.
"Kapan kamu akan membayar uang sewanya, Areum-ssi?"
Areum tertegun sejenak. Suara itu, suara yang selalu berhasil membuatnya gelisah, kembali terdengar. Ia memutar tubuh perlahan, bertemu dengan pandangan seorang pria paruh baya yang berdiri di depannya. Wajah pria itu penuh garis kehidupan, matanya yang teduh menyiratkan rasa iba yang mendalam.
"Maaf, mungkin beberapa hari lagi saya akan bayar seluruh tunggakannya, Ahjussi," ucap Areum dengan nada pelan, penuh rasa bersalah. Kepalanya tertunduk, tidak berani menatap langsung pria yang sudah terlalu banyak membantunya itu.
Ahjussi itu menghela napas panjang, tatapannya melembut namun sarat dengan kekhawatiran. "Kamu tahu, aku sudah berusaha membantumu berbulan-bulan ini agar istriku mengerti. Aku mencoba meyakinkannya untuk tidak mengusirmu, tapi kali ini aku sudah tidak bisa lagi, Areum. Istriku... dia mengancam akan menceraikanku kalau aku tetap membiarkan ini. Jadi, sebelum pertengahan bulan ini, tolong bayar ya."
Kata-katanya penuh nada berat. Ia bahkan mengulurkan tangannya, menyentuh bahu Areum dengan lembut, seolah mencoba memberikan kekuatan.
Areum merasa hatinya semakin tenggelam. Ia tidak bisa membayangkan apa yang harus ia lakukan jika benar-benar diusir. Ia mengangguk pelan, menahan air mata yang hampir tumpah. "Aku akan berusaha lebih keras, maafkan aku, Ahjussi, yang selalu merepotkanmu," katanya lirih.
Ahjussi itu tersenyum simpul, senyum yang tidak sepenuhnya mampu menyembunyikan kekhawatirannya. "Tidak apa-apa, Areum. Aku tahu kamu sudah berusaha. Aku hanya berharap kamu bisa melewati semua ini."
Ia berbalik, meninggalkan Areum yang masih terpaku di tempatnya. Areum menatap punggung pria itu dengan rasa bersalah yang semakin menyesakkan dadanya. Setelah beberapa saat, ia menghela napas panjang dan melangkah pergi menuju halte bus, membawa beban yang terasa semakin berat di pundaknya.
Saat langkahnya menyusuri trotoar, pikiran Areum terus berputar-putar. "Berusaha lebih keras?" batinnya penuh sinisme. Ia sudah melakukan segalanya, membagi waktunya untuk bekerja dari pagi hingga malam, bahkan hampir tidak pernah tidur nyenyak. Tubuhnya terasa seperti mesin yang dipaksa bekerja hingga batas terakhir. Namun, dunia seolah tidak pernah memberi kelonggaran sedikit pun. "Apa aku harus menyerah saja?" pikirnya dalam hati. Tapi, lagi-lagi, Areum tahu ia tidak punya pilihan lain.
~
Di sebuah ruang makan megah yang dipenuhi nuansa klasik, hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring. Dua gadis duduk saling berhadapan di meja panjang itu, tapi tidak ada percakapan, bahkan sekadar saling melirik pun tak terjadi. Keheningan sudah menjadi kebiasaan mereka, sesuatu yang tidak lagi mengejutkan bagi para pelayan yang sibuk mengawasi dari kejauhan.
Gadis yang berwajah dingin, Jung Seohee, tetap memfokuskan dirinya pada sarapannya, menikmati suasana sepi yang tampaknya ia anggap sebagai hal biasa. Sementara itu, gadis di depannya yang berpakaian lebih santai tampak lebih resah. Tatapannya mengamati Seohee yang tak kunjung menyapa atau memberi isyarat kehadiran.
"Tidak perlu membuang waktumu untuk kemari," suara Seohee akhirnya memecah keheningan, meskipun nadanya tetap dingin dan datar.
Gadis berpakaian santai itu mengangkat wajahnya, menatap Seohee dengan sorot mata terluka yang sulit disembunyikan. Ia tertawa kecil, tawa yang terdengar miris. "Hanya itu yang kamu katakan setelah mendiamkanku bertahun-tahun, Eonnie?" tanyanya, mencoba mencari penjelasan di balik sikap dingin Seohee. Namun, Seohee hanya menatapnya tanpa ekspresi, matanya yang tajam seperti tembok yang tidak bisa ditembus.
"Jangan kembali kemari," Seohee kembali berbicara, suaranya tetap datar, namun ada nada tegas yang hampir menyerupai peringatan. Gadis itu tertegun sejenak, mencoba memahami apa yang sebenarnya dimaksudkan Seohee.
"Aku hanya menuruti permintaannya," gadis itu menghela napas panjang, tubuhnya terasa berat. Ia berdiri dari kursinya, pandangannya tetap tertuju pada Seohee yang tak menunjukkan tanda-tanda ingin memperbaiki suasana. "Kenapa kamu selalu menganggapku musuh seperti ini? Apa aku membuat kesalahan padamu, Seohee Eonnie?" lanjutnya, suaranya terdengar hampir putus asa.
Seohee berhenti mengunyah, meneguk air dari gelasnya hingga habis. Matanya menatap lurus ke depan, seperti mencoba menahan sesuatu yang tak terlihat. Tangannya yang masih menggenggam gelas tampak bergetar. "Permintaan siapa maksudmu?" tanyanya akhirnya, dengan suara yang sedikit lebih dalam. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi cengkeramannya pada gelas mengungkapkan emosi yang coba ia sembunyikan.
"Jangan kemari lagi, atau aku akan membuatmu menyesal," lanjut Seohee, nadanya tegas, bahkan dingin. Ia segera bangkit dari kursinya, membiarkan keheningan kembali menyelimuti ruangan. Langkahnya cepat saat ia meninggalkan ruang makan tanpa menoleh sedikit pun.
Gadis yang berpakaian santai itu tidak langsung pergi. Ia tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung Seohee yang perlahan menghilang di balik pintu. Matanya menyimpan campuran emosi-terluka, marah, sekaligus penuh kebingungan. Namun, bibirnya terkatup rapat. Tidak ada kata-kata lagi yang bisa ia ucapkan saat ini. Ia hanya berdiri diam, membiarkan keheningan kembali berkuasa di ruangan itu.
~
Areum yang sedang sibuk di kedai kopi tempatnya bekerja kini terlihat cekatan menyiapkan pesanan para pelanggan. Kedai itu tidak begitu ramai, tapi cukup membuatnya sibuk. Tugas-tugas seperti ini sudah menjadi rutinitasnya selama beberapa bulan terakhir.
"Ini Ice Americanomu, Nona," ucap Areum ramah, menyerahkan secangkir kopi dingin kepada salah satu pelanggan. Pelanggan itu hanya tersenyum tipis sembari mengambil pesanannya, wajahnya sebagian besar tertutup oleh topi dan hoodie. Meskipun begitu, Areum sempat menangkap sekilas senyum kecil dari balik tudung itu.
"Gadis yang aneh," gumam rekan kerjanya yang berdiri di sebelahnya.
"Apa maksudmu?" tanya Areum, sedikit bingung sambil melirik temannya.
Rekan kerjanya mendekat, berbisik pelan, "Dia sudah melakukan ini bertahun-tahun. Datang ke sini, memesan hal yang sama, duduk di sudut ruangan itu, dan memperhatikan gedung di seberang jalan." Ia berhenti sejenak, menatap Areum penuh arti. "Aku sudah bekerja di sini selama dua tahun, dan orang sebelumku bilang dia sudah melakukan itu jauh sebelum aku datang. Bukankah itu aneh?"
Areum hanya mengangkat bahu, berusaha tidak terlalu memikirkan ucapan temannya. "Mungkin dia hanya menyukai tempat ini," jawabnya singkat, meskipun dalam hati ia mulai merasa sedikit penasaran. Diam-diam, ia melirik pelanggan itu, yang duduk di sudut ruangan dengan pandangan terarah pada gedung di seberang jalan.
Sambil mencatat stok bahan baku yang tersisa, Areum mencoba kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, suara pelanggan lain tiba-tiba mengejutkannya.
"Ice Americano satu," ujar seorang wanita yang tiba-tiba sudah berdiri di depan Areum.
Areum sedikit terlonjak, tapi segera menenangkan diri. "Baik, tunggu sebentar, Nona," jawabnya sambil memulai proses pembuatan pesanan.
Saat menunggu mesin kopi selesai, Areum melirik sekilas ke arah pelanggan hoodie itu. Kali ini, pelanggan itu tidak lagi memperhatikan gedung di luar jendela, melainkan mengarahkan tatapannya ke arahnya. Wajahnya masih sebagian besar tersembunyi, membuat Areum sulit memastikan ke mana tepatnya tatapannya tertuju. Merasa canggung, Areum buru-buru mengalihkan pandangan.
Setelah kopinya siap, Areum menyerahkan minuman itu kepada wanita yang memesan barusan. "Ini Ice Americanomu, Nona," katanya dengan senyum ramah. Wanita itu hanya mengambil kopi tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan segera keluar dari kedai.
Penasaran, Areum melirik lagi ke arah pelanggan hoodie itu. Kali ini, ia melihat tatapan pelanggan itu mengikuti langkah wanita yang baru saja keluar dari kedai. Ekspresi wajahnya masih sulit ditebak, tapi sikapnya terasa... mengawasi.
Rekan kerjanya kembali menghampiri Areum dan berbisik lagi. "Dan wanita tadi juga sama. Selalu datang, memesan hal yang sama, dan pergi setelahnya. Mereka berdua... aneh, bukan?"
Areum hanya menghela napas panjang, mencoba mengabaikan rasa ingin tahunya yang mulai tumbuh. "Kembalilah bekerja. Aku tidak mau kehilangan pekerjaan hanya karena mendengar gosip darimu," ucapnya sambil melanjutkan tugasnya. Namun, di dalam pikirannya, rasa penasaran itu masih bergelut. Ada sesuatu yang ganjil dari dua pelanggan tersebut, sesuatu yang belum Areum pahami.
-To be Continued-
