5
Mobil sedan hitam itu melaju perlahan memasuki area rumah yang luas dan megah. Lampu taman yang tertata rapi di sepanjang jalan masuk memancarkan kesan elegan yang menenangkan. Rumah itu tidak terlalu mencolok, tetapi setiap detailnya memancarkan kemewahan yang sederhana. Begitu mobil berhenti di depan pintu utama, gerbang otomatis tertutup kembali dengan suara halus, menjaga privasi yang menjadi ciri khas tempat itu.
Seohee turun dari mobil dengan gerakan anggun yang penuh wibawa. Seorang pelayan segera menghampiri, membungkuk sopan, dan berkata, "Selamat malam, Nyonya. Anda sudah pulang."
Seohee melirik pelayan itu sekilas, ekspresinya tetap datar. "Panggil aku Nona," ucapnya tegas, lalu melangkah masuk tanpa basa-basi. Langkahnya mantap dan efisien, mencerminkan kepribadiannya yang tidak suka membuang waktu.
Areum keluar dari mobil dengan langkah ragu, koper tua tergenggam erat di tangannya. Dia menatap sekeliling, merasa kecil di antara keanggunan rumah megah ini. Meski canggung, dia mencoba menunjukkan kesopanan. "Selamat malam," sapanya pelan kepada beberapa pelayan yang berlalu-lalang. Senyumnya sedikit dipaksakan, mencerminkan rasa bingung yang tak bisa ia sembunyikan. Para pelayan membalas dengan anggukan sopan, meski tatapan penasaran mereka sulit disembunyikan.
Setelah masuk ke rumah, Seohee melepas mantelnya dengan gerakan santai. Dia berjalan menuju dapur terbuka yang rapi dan modern, membuka pintu kulkas dengan gerakan mulus. Mengambil sebotol air dingin, dia meneguknya tanpa berkata sepatah kata pun, membiarkan suasana sunyi di sekitarnya tetap terjaga.
Areum, yang masih canggung, berjalan perlahan mengikuti Seohee dari kejauhan. Saat Seohee berhenti di dapur, Areum berdiri di depannya, bingung apakah dia harus mengatakan sesuatu atau tetap diam. Sebelum dia bisa memutuskan, Seohee memecah keheningan dengan nada tegas.
"Kamu akan tinggal di sini untuk sementara," ucapnya datar, seolah menyampaikan keputusan yang tidak bisa diganggu gugat.
Areum mengangkat alis, jelas terkejut dengan pernyataan itu. "Apa maksudmu?" tanyanya hati-hati, suaranya mengandung nada bingung. Situasi ini terlalu tiba-tiba baginya untuk dicerna.
Seohee meletakkan botol air yang kini setengah kosong ke atas meja dengan tenang. Tatapannya sekilas bertemu dengan Areum, penuh ketegasan namun tanpa emosi. "Istirahatlah. Ini sudah malam," ujarnya, singkat dan lugas, sebelum berbalik pergi meninggalkan dapur tanpa menunggu jawaban.
Areum yang masih kebingungan akhirnya memberanikan diri memanggil Seohee sebelum dia benar-benar pergi. "Tunggu. Di sini? Maksudku, kenapa kamu melakukan ini? Kita bahkan tidak saling kenal. Aku hanya orang asing bagimu," katanya jujur, meski nada ragu menyusup dalam suaranya.
Seohee menghentikan langkahnya sejenak, menoleh dengan gerakan santai namun tetap menjaga nada dinginnya. "Aku tidak tahu. Mungkin hanya merasa perlu," jawabnya singkat, tanpa memperlihatkan emosi apa pun. Dia lalu melanjutkan langkahnya menaiki tangga, meninggalkan Areum yang masih berdiri terpaku di ambang pintu dapur.
Beberapa saat kemudian, seorang pelayan mendekati Areum dengan langkah tenang, senyumnya ramah dan sopan. "Silakan ikuti saya, Nona. Saya antar ke kamar Anda," katanya dengan nada lembut, tangannya terulur menawarkan bantuan untuk membawa koper yang digenggam erat oleh Areum.
Areum buru-buru menggeleng, menarik koper itu sedikit lebih dekat ke tubuhnya. "Tidak usah, Bi. Saya bisa membawa ini sendiri. Saya sudah terlalu banyak merepotkan kalian," ucapnya sambil tersenyum canggung, mencoba menjaga sopan santun meskipun perasaan asing masih menyelimuti dirinya.
Pelayan yang terlihat sudah lanjut usia itu mengangguk kecil, senyumnya tetap hangat. "Baik, Nona. Kalau begitu, silakan ikuti saya," ujarnya sambil berbalik dan mulai berjalan perlahan. Langkahnya ringan namun terarah, memimpin Areum menyusuri koridor yang luas.
Lampu-lampu temaram di sepanjang lorong memancarkan cahaya lembut, menciptakan suasana yang tenang namun sedikit dingin. Beberapa pintu tertutup rapat berjejer di kedua sisi koridor, memancarkan aura privasi yang terjaga dengan baik. Areum berjalan di belakang pelayan, matanya sesekali melirik ke dinding yang dihiasi karya seni berbingkai rapi.
Setelah beberapa saat, mereka tiba di depan sebuah pintu yang sudah terbuka lebar. Pelayan itu berhenti dan melangkah ke samping, memberi isyarat agar Areum masuk. "Ini kamar Anda, Nona," ujarnya dengan sopan.
Dengan langkah ragu, Areum memasuki ruangan itu. Matanya langsung tertuju pada interior yang memancarkan harmoni antara kesederhanaan dan kemewahan. Dinding berwarna biru lembut berpadu dengan aksen putih yang menenangkan, menciptakan suasana nyaman yang terasa asing baginya. Di tengah ruangan, sebuah tempat tidur besar dengan selimut tebal yang tertata rapi tampak begitu mengundang. Cahaya lampu meja yang hangat menyempurnakan kesan elegan dan menenangkan.
"Terima kasih, Bi," ucap Areum tulus, membungkukkan tubuhnya sedikit sebagai tanda penghargaan. Pelayan itu tersenyum dan meninggalkan ruangan, membiarkan Areum sendirian untuk menyesuaikan diri.
Areum mulai berjalan perlahan mengelilingi kamar. Matanya memindai setiap sudut, dari karpet lembut yang melapisi lantai hingga perabotan yang tertata sempurna. Sentuhan detail yang sederhana namun elegan membuatnya terkesima. Bagi Areum, kamar ini terasa jauh lebih luas dan mewah dibandingkan rumah kontrakannya yang kecil dan penuh sesak bahkan lebih besar dari rumah keluarganya dulu.
"Ini seperti mimpi," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar di antara keheningan ruangan. Ia menghela napas panjang, mencoba mencerna semua yang terjadi. "Aku hampir menyebabkan kecelakaan, tapi sekarang malah berada di rumah seperti ini," pikirnya dengan bingung. Peristiwa hari ini terasa seperti adegan dari drama yang tidak pernah ia bayangkan menjadi bagian dari hidupnya.
Namun, rasa lelah yang menumpuk perlahan mengambil alih tubuhnya. Dengan langkah berat, Areum duduk di tepi tempat tidur, membiarkan punggungnya bersandar sejenak. Udara kamar yang sejuk dan suasana tenang membuat pikirannya yang kusut sedikit mereda.
Matanya semakin berat, dan tanpa disadarinya, dia sudah membaringkan tubuh di atas kasur yang empuk. Dalam beberapa saat, ia terlelap, membiarkan rasa bingung dan semua kekhawatirannya larut bersama malam.
~
Tokyo
Langit Tokyo perlahan berubah menjadi oranye keemasan saat matahari tenggelam di ufuk barat, menyelimuti kota dengan kehangatan senja yang kontras dengan udara dingin yang mulai merayap. Lampu-lampu ruangan dari deretan toko di sepanjang jalan menciptakan pemandangan indah yang berpadu dengan gemerisik dedaunan tertiup angin lembut. Suara langkah tergesa-gesa orang-orang yang berlalu-lalang menambah kesan hidup di tengah keramaian, tetapi di antara mereka, seorang wanita mungil tampak melangkah santai, seolah berada di dunianya sendiri.
Hoodie kebesaran berwarna krem membungkus tubuh kecilnya, kontras dengan ransel pastel yang menggantung ringan di punggungnya. Harin, nama wanita itu, tampak berseri. Matanya berkilat setiap kali menemukan benda-benda unik yang terpajang di etalase toko. Senyum kecil terus merekah di wajahnya, menambah kehangatan di antara dinginnya udara sore.
Ketika matanya menangkap toko aksesori kecil di sudut jalan, Harin melangkah masuk dengan semangat. Deretan gantungan kunci lucu menyambutnya, membuatnya berhenti untuk mengamati dengan saksama. Tangannya mengulurkan diri, mengambil gantungan kunci berbentuk kucing. Dengan gerakan hati-hati, ia membalik-balik benda itu, alisnya sedikit berkerut, tanda ia tengah mempertimbangkan sesuatu dengan serius.
"Hmm, apa ini cocok untuk oleh-oleh?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam di antara suara langkah pengunjung lain. Pandangannya menyusuri rak, memilih satu demi satu, seperti ingin memastikan bahwa setiap benda kecil memiliki makna besar bagi penerimanya.
Getaran halus dari ponselnya mengalihkan perhatian. Harin merogoh ranselnya, menarik ponsel yang tertimbun di antara buku sketsa dan botol minumnya. Sebuah pesan muncul di layar.
"Tidak perlu bawa oleh-oleh." -Ice Princesseo
Harin mendesah pelan, tapi senyum kecil segera menghiasi wajahnya. Apa dia seorang cenayang? Pikirnya.
Pesan itu mungkin terdengar dingin, tetapi Harin tahu ada kehangatan tersembunyi di baliknya—khas Seohee, kakak tertuanya, yang selalu tampil kaku tetapi penuh perhatian.
"Tidak menerima penolakan, Eonnie. Terima saja," balas Harin cepat, menambahkan emotikon hati di akhir pesan.
Sambil mengetik, Harin bergumam pelan, "Eonnie ini memang menyebalkan." Namun, nada sayang yang tersirat di suaranya tidak bisa disembunyikan.
Tak lama, ponselnya kembali bergetar. Sebuah pesan baru muncul, kali ini dari kakak keduanya.
"Apa kamu akan pulang? Aku akan jemput." -Knight Ji
Senyum Harin semakin lebar, menambah rona ceria di wajahnya. Pesan itu terasa khas Jiyeon, kakak yang protektif dan penuh perhatian. Sangat berbeda dengan Seohee.
"Tidak perlu, Rian sudah menjemputku," balas Harin sambil mengetik cepat. Setelah mengirim pesan, matanya menatap nama pengirim itu sejenak, senyum lembut tetap menghiasi bibirnya. Jiyeon selalu memberinya perasaan nyaman, seperti benteng yang kokoh.
Tak lama kemudian, balasan Jiyeon muncul. "Baiklah, kabari aku jika sudah sampai di rumah."
"Siap, Eonnie," jawab Harin singkat sebelum memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.
"Harin-ah, apa kamu sudah memilihnya?" Suara pria yang familiar terdengar dari dekat kasir. Harin menoleh dan mendapati Rian, teman lamanya sekaligus pengawalnya selama di Tokyo, berjalan mendekat dengan ekspresi santai.
"Sudah, Rian," jawab Harin ceria. Ia menaruh tiga gantungan kunci lucu ke meja kasir—kupu-kupu, anjing kecil, dan kucing—sebelum membayar.
Rian mengangkat salah satu gantungan kunci itu sambil mengerutkan dahi. "Apa kamu yakin mereka akan menyukainya?" tanyanya, setengah bercanda tetapi tetap perhatian.
"Tentu saja!" jawab Harin penuh keyakinan. "Seohee Eonnie pasti akan menyukai yang ini," katanya sambil menunjuk gantungan kunci berbentuk kupu-kupu yang terlihat anggun. "Dan Jiyeon Eonnie... Kucing ini sangat cocok untuknya!" tambahnya, senyumnya lebar, membayangkan reaksi kedua kakaknya.
Rian tertawa kecil, menggelengkan kepala. "Baiklah, kalau kamu yakin."
Setelah selesai membayar, Harin dan Rian keluar dari toko, melanjutkan perjalanan mereka. Langit senja Tokyo semakin indah, dipenuhi warna oranye dan ungu yang berpadu sempurna. Harin memandangi langit itu dengan rasa hangat di dadanya, membayangkan dirinya segera pulang ke pelukan dua kakaknya. Seohee, meskipun dingin, selalu memperhatikan dengan caranya sendiri, sementara Jiyeon tak pernah lelah menjaganya dengan tulus.
Hari itu memang sederhana, tetapi kebahagiaan kecil yang Harin rasakan—mulai dari memilih gantungan kunci hingga pesan-pesan singkat dari orang-orang terdekatnya—membuat langkahnya terasa ringan. Tokyo yang sibuk dan dingin pun terasa hangat, seperti keluarga yang selalu menunggu di rumah.
-To be Continued-
