Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4

Lorong rumah sakit terasa hening, hanya diwarnai langkah kaki perawat yang sesekali melintas dan bunyi monoton monitor dari ruang UGD. Dua sosok berdiri di depan pintu, tenggelam dalam keheningan yang canggung. Wanita yang berwajah dingin itu mengenakan mantel hitam panjang, rambutnya tertata rapi, kontras dengan suasana tegang yang menyelimuti. Di sebelahnya, seorang pria dalam setelan formal berdiri tegap.

  "Nona Jung, jika Anda ingin, Anda bisa pulang lebih dulu. Saya bisa menangani sisanya di sini," ucap pria itu dengan nada sopan, sedikit menundukkan kepala sebagai bentuk hormat.

  Wanita yang dipanggil Nona Jung itu tidak segera menanggapi. Pandangannya tertuju pada kaca jendela ruang UGD, menatap sosok wanita tak sadarkan diri yang terbaring di dalam. Beberapa detik berlalu sebelum dia akhirnya tersenyum tipis, lalu menyilangkan tangan di depan dadanya dengan gerakan yang anggun namun penuh wibawa.

  "Tidak perlu, Pak Kim. Ini juga tanggung jawab saya," balasnya singkat, dengan nada tenang yang mencerminkan otoritas. Seohee memang tidak mengerti kenapa Gadis yang berbaring itu membuatnya merasa sedikit bertanggung jawab meskipun kecelakaan tadi bukan karena dirinya.

  Pak Kim. Pria yang sudah terlihat sedikit lanjut usia itu hanya mengangguk kecil, sebelum melaporkan sesuatu dengan suara hati-hati, "Sepertinya Nona Harin akan kembali ke Korea dalam waktu dekat, Nona Jung."

  Seohee meliriknya sekilas, pandangannya tajam namun tenang. "Cukup panggil saya Seohee, Pak Kim," ucapnya dingin. Dia menarik napas pendek sebelum menambahkan dengan nada santai, "Sepertinya dia mulai bosan di sana." Senyum tipis menghiasi wajahnya yang tetap serius. Jika tentang Adik kecilnya entah kenapa Seohee selalu merasa sedikit antusias meskipun berusaha menutupinya.

  Sebelum Pak Kim sempat merespons, langkah cepat seorang perawat terdengar dari lorong. "Permisi, teman Anda sudah sadar, Nona," ucapnya sambil menunduk sopan.

  Seohee segera menoleh, ekspresinya berubah serius dalam sekejap. "Terima kasih," katanya singkat, lalu melangkah masuk ke ruangan dengan langkah pasti, diikuti oleh Pak Kim yang berjalan di belakangnya.

  Di dalam ruangan, Areum perlahan membuka matanya. Cahaya lampu putih yang terang langsung menusuk pandangannya, membuatnya refleks menyipitkan mata. Nyeri tajam di bahunya membuatnya mengerang pelan. Saat pandangannya mulai jelas, dia memeriksa sekeliling dengan tatapan bingung. Ruangan itu terasa asing, tetapi entah kenapa juga memberikan kesan yang samar-samar familier. Ketidaknyamanan segera menyelimuti pikirannya.

  Dengan gerakan tergesa-gesa, Areum mencoba turun dari tempat tidur. Tangannya meraih jarum infus, berniat mencabutnya tanpa berpikir panjang. Namun, suara dingin menghentikan gerakannya seketika.

  "Mau ke mana kamu?"

  Nada suara itu tegas, menusuk seperti perintah yang tidak bisa dibantah. Areum membeku, tubuhnya menegang. Dengan ragu, dia menoleh ke arah sumber suara. Seohee berdiri di sana, tatapannya tajam seperti pisau. Aura yang memancar darinya membuat Areum merasa kecil dan tak berdaya. Kata-kata tertahan di tenggorokannya, menyisakan keheningan yang memekakan.

  Pak Kim melangkah maju, berusaha mencairkan ketegangan yang terasa. "Tenang saja, Nona. Anda masih perlu beristirahat," ujarnya lembut, membimbing Areum dengan hati-hati agar kembali duduk di tempat tidur. Suaranya yang tenang seperti berusaha membuat Areum nyaman.

  "Siapa nama Anda, Nona?" tanya Pak Kim dengan sopan sambil memastikan jarum infus masih terpasang dengan benar.

  Areum menelan ludah, ragu sejenak sebelum menjawab dengan suara pelan. "Areum. Kim Areum." Setelah menghela napas panjang, dia menambahkan, "Maaf atas kecerobohanku. Aku tidak tahu bagaimana bisa membayar kerugian yang aku sebabkan."

  Pak Kim tampak sedikit bingung, tapi dengan cepat membungkuk sopan. "Mohon maaf, Nona Areum. Itu sepenuhnya kesalahan saya. Saya seharusnya lebih berhati-hati di jalan." ucap Pak Kim yang sedikit melirik pada Seohee.

  Areum terkejut. Dia tidak menyangka akan menerima permintaan maaf, apalagi dari seseorang yang tampak memiliki kekuasaan seperti Pak Kim. Dia mencoba membuka mulut untuk merespons, tetapi Seohee memotongnya terlebih dahulu.

  "Cukup," kata Seohee dengan nada datar. "Kami akan mengantarmu pulang. Semua biaya rumah sakit sudah kami urus." Kalimat itu disampaikan dengan dingin, tetapi ada sedikit kehangatan terselubung di balik intonasinya.

  Areum buru-buru menggeleng, ekspresi canggung tergambar jelas di wajahnya. "Terima kasih atas kebaikan kalian, tapi saya bisa pulang sendiri," katanya sopan, membungkukkan tubuh hampir 90 derajat. Namun, gerakan itu segera memicu rasa nyeri tajam di bahunya, membuatnya meringis pelan.

  Tanpa menunggu persetujuan lebih lanjut, Areum meraih tasnya yang tergeletak di samping tempat tidur dan melangkah cepat menuju pintu. Langkahnya terdengar tergesa-gesa, seperti seseorang yang berusaha menjauh dari situasi yang membuatnya tidak nyaman. Bahunya sedikit terangkat, menahan rasa nyeri yang jelas terlihat di wajahnya.

  Seohee tetap berdiri di tempatnya, tidak menunjukkan upaya untuk menghentikannya. Matanya hanya mengikuti gerakan Areum, penuh perhatian tetapi tetap sulit untuk ditebak. Pandangannya yang tajam tidak mengandung cela, tetapi juga tidak memberikan kehangatan.

  "Wanita yang keras kepala," gumam Seohee dengan nada datar, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan ruangan. Dia menoleh sedikit ke arah Pak Kim, ekspresinya tetap dingin. "Ikuti dia. Pastikan dia sampai di rumah dengan aman." Tatapannya tetap dingin, tetapi ada sesuatu yang bergolak di dalam dirinya. Seohee tidak tahu kenapa wanita muda yang keras kepala itu membuatnya merasa... terikat. Bukan dalam arti yang jelas, tetapi lebih seperti dorongan naluriah untuk memastikan dia baik-baik saja. Sangat tidak seperti dirinya yang biasanya begitu acuh.

  Pak Kim mengangguk singkat tanpa berkata-kata, langsung melangkah keluar untuk mengejar Areum yang sudah hampir menghilang di ujung lorong.

  Di luar, hujan yang sebelumnya deras kini hanya tersisa rintik-rintik kecil. Genangan air di trotoar memantulkan kilauan lampu jalan, menciptakan suasana tenang yang dipenuhi suara gemericik air. Areum berjalan pelan, satu tangannya memegangi bahu yang masih terasa nyeri. Setiap langkahnya tampak berat, tetapi dia tetap menjaga posturnya, seolah tidak ingin menunjukkan kelemahannya pada siapa pun yang mungkin melihat.

  Seohee tetap diam di balik pintu kaca, matanya tidak pernah lepas dari punggung Areum yang perlahan menjauh. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tetapi matanya mengandung sesuatu yang sulit diterjemahkan—mungkin pengamatan, mungkin juga pemikiran yang lebih dalam.

  "Semua orang membawa beban mereka sendiri," gumam Seohee pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri. Dia berdiri di sana selama beberapa detik lagi, membiarkan bayangan Areum lenyap di antara kilauan lampu jalan.

  Setelah itu, tanpa perubahan di wajahnya, Seohee berbalik dan melangkah masuk kembali ke dalam rumah sakit. Langkahnya tetap tegas, tidak terburu-buru, menciptakan gema kecil di lorong yang kosong. Tidak ada yang tahu apa yang ada di pikirannya saat itu—seperti kebiasaannya, dia menyimpan semuanya untuk dirinya sendiri.

~

Areum berhenti di depan rumah kontrakannya, yang kini tak lagi layak disebut rumah. Barang-barangnya tergeletak begitu saja di depan pagar yang terkunci rapat, seperti jejak kehidupan yang ditinggalkan tanpa peduli. Hatinya mencengkeram perasaan pahit saat melihat tumpukan itu, menyadari betapa kecilnya tempatnya di dunia ini. Angin malam yang dingin menyentuh wajahnya, membawa serta rasa kelelahan yang tak hanya berasal dari tubuh, tetapi juga dari jiwanya.

  Dengan napas berat, Areum menatap koper tua yang kini menjadi satu-satunya harta miliknya. Tangannya yang gemetar meraih gagangnya, mengangkat koper itu perlahan. Langkah-langkahnya terasa gontai saat ia mulai meninggalkan tempat itu, seolah setiap langkah membawa beban yang tak kasatmata. Ingatannya kembali ke peristiwa tadi—pemecatannya yang memalukan, dan kontrakan yang harus segera dibayar tanpa ada uang yang cukup. Betapa hancur hatinya ketika harus menerima kenyataan bahwa dia harus meninggalkan tempat itu tanpa bisa menyelesaikan semuanya.

  "Hari ini pasti masuk dalam daftar hari terburuk sepanjang hidupku," batinnya, berusaha menahan air mata yang mendesak keluar. Jalanan di depannya tampak kosong, diterangi lampu-lampu jalan yang temaram dan redup. Langkahnya terasa semakin berat, baik karena koper yang ia bawa, maupun perasaan putus asa yang menggelayuti hatinya tanpa ampun.

  Sebuah sedan hitam mewah tiba-tiba berhenti mendadak di depan Areum, suaranya membelah keheningan malam yang dingin. Areum tersentak, langkahnya terhenti. Perlahan, dia menoleh ke arah mobil itu dengan tatapan penuh keraguan. Kaca penumpang diturunkan, memperlihatkan wajah Seohee yang menatap lurus ke arahnya dengan ekspresi dingin namun tegas.

  "Masuk," ujar Seohee singkat. Nada bicaranya lebih mirip perintah daripada tawaran.

  Areum tidak segera bergerak. Tubuhnya terasa kaku, sementara pikirannya penuh dengan tanda tanya. "Kenapa dia ada di sini? Apa maunya?" pikirnya dalam hati, mencoba memahami situasi yang tampak ganjil ini.

  Seohee memperhatikan Areum yang tampak bimbang di tempat. Ekspresinya mulai menunjukkan tanda-tanda kesabaran yang habis. Dengan nada tajam, dia mengulangi, "Jangan buang waktuku. Masuk sekarang. Ini sudah malam."

  Terbangun dari lamunan, Areum akhirnya mengangguk pelan. "Baik," jawabnya lirih, hampir seperti gumaman. Dengan langkah ragu, dia mendekati mobil itu.

  Pak Kim, yang duduk di kursi pengemudi, keluar dari mobil tanpa banyak bicara. Dengan gerakan terlatih, dia mengambil koper dari tangan Areum yang gemetar dan memasukkannya ke dalam bagasi dengan hati-hati.

  Areum berdiri sejenak, menatap pintu mobil yang terbuka di hadapannya dengan keraguan. Akhirnya, dia mengumpulkan keberanian untuk masuk. Begitu duduk di kursi belakang, aroma kulit mobil yang bersih dan mewah langsung menyergapnya, membuatnya semakin merasa asing. Dia memegang ujung tasnya erat, tidak tahu harus berkata apa atau bahkan memulai percakapan.

  Seohee tetap memandang lurus ke depan, wajahnya tidak menunjukkan emosi sedikit pun. Dengan nada datar, dia berkata, "Pak Kim, antar kami ke rumah."

  "Baik, Nona," jawab Pak Kim patuh, lalu menyalakan mesin dan membawa mobil itu melaju perlahan melewati jalanan yang basah oleh sisa hujan.

  Areum menunduk, menggigit bibir bawahnya sambil mencoba menenangkan detak jantungnya yang tidak beraturan. "Terima kasih..." gumamnya pelan, nyaris tak terdengar di antara deru mesin mobil.

  Seohee menoleh sedikit, sekilas melirik Areum dengan tatapan dingin. "Kamu membutuhkan tempat untuk bermalam. Tidak usah pikirkan hal lain," katanya tanpa banyak basa-basi, lalu kembali memandang ke depan.

  Areum tidak mampu menjawab apa-apa, hanya mengangguk pelan sambil menundukkan kepalanya lebih dalam. Mobil melaju pelan, membelah malam yang kembali diselimuti rintik hujan. Keheningan di dalam mobil terasa tegang, tetapi di balik perasaan campur aduknya, Areum merasakan secercah rasa lega. Meski hidupnya terasa berantakan, setidaknya kali ini, ada seseorang yang memberinya ruang untuk bernapas.

-To be Continued-

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel