Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3

Dua minggu telah berlalu. Areum mulai merasa ada yang tidak biasa dalam rutinitas pekerjaannya di kedai kopi. Dua gadis yang selalu datang-Byul dan gadis lainnya-tiba-tiba menghilang begitu saja. Tidak ada jejak, seolah mereka lenyap begitu saja. Awalnya, Areum mencoba mengabaikan perasaan itu. Mereka hanya pelanggan biasa, pikirnya. Tapi entah kenapa, kepergian mereka meninggalkan kegelisahan dalam hatinya.

"Kenapa kamu terlihat gelisah seperti itu?" tanya rekan kerjanya, membuyarkan lamunan Areum.

Areum hanya tersenyum kecil, tidak ingin membahasnya. Namun, rasa gelisah itu tidak hilang. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu tidak penting, namun pikirannya terus kembali pada dua sosok itu.

Ketika lonceng di pintu kedai berbunyi, Areum mendongak. Gadis berhoodie itu masuk, menghampirinya seperti biasa. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Meskipun Areum belum pernah benar-benar melihat wajah Byul dengan jelas, ia bisa merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ada sesuatu yang berubah-auranya, caranya berjalan, bahkan gestur kecilnya. Gadis itu tampak sama, namun terasa berbeda.

"Byul? Ice Americano?" tanya Areum memastikan.

Gadis itu menoleh, mengangguk pelan tanpa banyak bicara. Areum merasa tidak nyaman. Ia menatap gadis itu lebih lama dari biasanya, mencoba mencari tanda-tanda yang bisa membuktikan bahwa dia benar-benar Byul.

"Ini Ice Americano-mu," ucap Areum setelah menyelesaikan pesanan itu. Gadis itu meraih minumannya dengan gerakan santai, tetapi Areum memperhatikan sesuatu-tangan gadis itu, yang dua minggu lalu terluka, kini terlihat sempurna. Tidak ada bekas luka, tidak ada tanda apapun.

"Kamu sungguh Byul?" tanyanya dengan ragu, mencoba memastikan perasaannya.

Gadis itu mengangkat sedikit topinya, menatap Areum dengan ekspresi datar. "Namaku memang Byul, apa ada yang salah?" tanyanya. Suaranya terdengar tenang, tetapi ada nada dingin di sana yang membuat Areum bergidik.

Areum terdiam, mencoba mencerna jawaban itu. Segalanya terasa membingungkan-dari luka yang tiba-tiba hilang, hingga perubahan kecil dalam suara gadis itu. Meski ia mengatakan namanya Byul, Areum merasa seperti sedang berbicara dengan orang yang sama sekali berbeda.

"Tidak, tidak ada yang salah," jawab Areum akhirnya, meski suaranya terdengar ragu. Ia menatap tangan gadis itu lagi, mencoba menemukan penjelasan. Tapi tidak ada apa-apa. Luka itu benar-benar lenyap, seolah tidak pernah ada.

"Kalau begitu, apa kamu baik-baik saja?" Areum mencoba bertanya lebih lanjut. "Kemarin kamu tampak terluka."

Byul menatapnya sejenak, senyumnya muncul perlahan-senyum tipis yang terasa asing. "Aku baik-baik saja, terima kasih," jawabnya singkat, nadanya datar, seperti sedang menghindari percakapan.

Areum hanya bisa terdiam, mencoba membaca ekspresi Byul. Ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, namun ia tidak berani bertanya lebih jauh. Byul tampak seperti menutup dirinya rapat-rapat, membangun dinding yang tak kasat mata di antara mereka.

Tanpa berkata banyak, gadis itu mengambil minumannya, memberikan anggukan kecil, lalu pergi meninggalkan kedai. Areum hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, sementara pikirannya berputar-putar dengan pertanyaan yang tak terjawab. Apa dia benar-benar Byul? Atau ada sesuatu yang sedang disembunyikan gadis itu? Sesuatu tentang cara dia berbicara, caranya bertindak, bahkan intonasi suaranya... semuanya terasa sedikit salah.

Areum mencoba menenangkan pikirannya, tetapi firasat buruk itu tidak mau pergi. Byul yang ia lihat hari ini terasa seperti orang asing dengan tubuh yang sama. Dan Areum tidak tahu kenapa tiba-tiba dia seperti merasa kehilangan sesuatu dari sosok Byul, Si Gadis aneh itu.

~

Suasana kedai tempat Areum bekerja tiba-tiba terasa lebih dingin, meskipun udara diluar tidak dapat menembus kedalam kedai itu. Areum berdiri diam dibelakang meja kasir, sembari memperhatikan wajah pemilik kedai yang kini sudah memerah seperti api yang siap menyambar apapun disana. Matanya menyala penuh amarah, seolah setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah api yang siap menyambar tubuh Areum.

  "Apa kamu sudah gila?! Tahu tidak berapa besar kerugian yang harus aku tanggung?!" suara pemilik kedai menggema, menghantam setiap sudut ruang sempit itu yang berusaha membuat Areum mengerti akan apa yang dilakukannya tadi adalah sebuah kesalahan untuknya.

  Areum gadis yang memiliki tahi lalat tepat dibawah alis kanannya itu hanya berdiri diam, tubuhnya kaku, matanya berputar-putar mencari jawaban agar dirinya dipercaya. Ketegangan ini memang terjadi karena dirinya yang berusaha mempertahankan harga dirinya setelah seorang pelanggan Pria dengan berani menyentuh bagian tubuh Areum yang tidak seharusnya.

  Areum mencoba mengatur napasnya yang mulai tidak beraturan, dadanya terasa sesak oleh berbagai macam emosi takut, marah, dan malu bercampur menjadi satu.

  Pelanggan Pria itu berdiri dengan wajah tanpa dosa, seakan apa yang baru saja terjadi itu bukanlah masalah besar untuknya. Suasana kedai kini hening, hanya terdengar suara samar mesin espresso yang bekerja tanpa peduli dengan nasib Areum selanjutnya. Beberapa pasang mata mulai memperhatikan, namun tidak ada satupun yang berani angkat bicara ataupun peduli.

  Areum tahu ini adalah saat yang menentukan. Jika dia diam saja, maka harga dirinya akan hancur begitu saja tidak hanya dimata orang lain, tapi juga bagi dirinya sendiri. Namun, jika ia berbicara, apa pemilik kedai ini akan percaya padanya? Dia sungguh tidak ingin kehilangan pekerjaannya ini. Karena hari ini tepat dirinya menerima pesangon dan harus membayar kontrakkannya yang sudah jatuh tempo hari ini.

  "Aku hanya membela diri!" akhirnya Areum memilih mempertahankan harga dirinya meskipun dengan resiko yang mungkin akan dia terima sebentar lagi. "Dia... dia menggangguku, dia melecehkanku!" Ucapnya sembari menunjuk pada Pelanggan Pria itu yang sedari tadi hanya menatapnya rendah.

  "Hey, apa kamu memiliki bukti aku melakukannya? Jangan membuatku terlihat seperti Pria yang memiliki sifat buruk Nona" sanggah Pelanggan Pria itu.

  Ah, Areum lupa dunia memang sering kali lebih memihak kepada yang lebih kuat, yang lebih berani, atau yang lebih pandai menyembunyikan sebuah kesalahan.

  Areum mengigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan dirinya. Dia mengingat pesan ibunya dulu yang selalu menjadi alasan dirinya menjadi kuat: "Areum, dalam hidup. jangan pernah biarkan siapapun mengijak dan mempermalukanmu, tidak peduli seberapa sulitnya situasimu." Kata-kata ibunya seolah menggema di dalam pikirannya, memberikan kekuatan yang baru.

  Dia baru saja ingin mengucapkan pembelaannya lagi tapi tertahan saat melihat pemilik kedai itu memutar badannya, memperhatikan Areum dengan tatapan tajam seolah-olah ia sedang menilai kebenaran dari kata-katanya. Sementara itu, pelanggan pria tersebut memasang senyum sinis, menciptakan kesan bahwa dia adalah korban dari tuduhan yang tidak berdasar.

  Tapi sepertinya pemilik kedai tidak mempercayainya, ia malah semakin mendekat dengan langkah cepat, menatap Areum dengan mata yang menyala penuh kebencian. "Kamu dipecat! Tidak ada pesangon! Sekarang keluar dari sini!" teriaknya dengan suara menggelegar, menghantam udara yang sudah sesak. Kata-katanya menusuk langsung ke hati Areum, seakan menghancurkan semua harapan yang ia miliki.

  Areum merasakan sakit di dadanya, nafasnya tercekat. Sebuah pukulan emosional yang lebih berat daripada apapun yang ia alami di kedai itu. Dia hanya ingin bekerja. Itu saja. Namun, kini ia dihadapkan pada kenyataan yang lebih pahit: ia tak punya tempat lagi untuk berpijak.

  Areum terisak pelan. "Kenapa? Aku hanya... aku hanya membela diri. Bagaimana bisa kamu tidak percaya dan bahkan tidak memberikan pesangonku?" Dia menunduk, wajahnya tertutupi oleh rambut yang basah karna tetesan air mata. Perasaan terpojok semakin menambah berat di dadanya.

  "Jangan buat alasan, kamu sudah cukup membuatku rugi dan masalah dengan partnerku. Sekarang kamu harus pergi! Tidak ada tempat untukmu di sini!" Ucap pemilik kedai sembari menunjuk pintu keluar.

  Areum berjalan menuju pintu, langkahnya terasa begitu berat, seakan dunia menindih bahunya. Hujan di luar mengucur deras, seolah ikut menyertai kesedihannya. Di luar kedai, suara air yang jatuh dari langit menjadi latar belakang isakan kesedihannya yang tidak tertahan lagi.

  "Aku sudah kehilangan semuanya. Sejak mereka pergi... aku tidak pernah merasa ada yang peduli. Semua yang aku lakukan, akhirnya berakhir begini," pikirnya.

  Ia berjalan, tubuhnya terasa kosong, tak ada tujuan. Udara dingin menusuk kulitnya, namun yang lebih menyakitkan adalah perasaan hampa yang semakin mendalam. Ia berjalan melewati kerumunan orang yang sibuk dengan dunia mereka, tak ada yang memperhatikannya, tak ada yang peduli. Areum merasa seperti kehilangan pegangan, seperti orang asing di dunia yang dulu ia kenal.

  Lampu penyebrangan di depannya menyala merah, namun ia berjalan tanpa sadar, pikirannya terperangkap dalam kesedihan yang memuncak. Dunia terasa kabur di sekitarnya. Suara klakson dari kendaraan terdengar mendekat dan semakin mendekat. seperti mimpi buruk yang datang menghampiri.

  Tiba-tiba...

  TIIIIINNNNN!!!

  Klakson tajam memecah keheningan, tubuh Areum terkejut, namun terlalu lambat. Suara rem yang mencakar aspal terdengar begitu dekat.

  BRAAAKK!!

  Semuanya terjadi begitu cepat. Areum terlempar ke trotoar, tubuhnya menghantam permukaan keras, mengirimkan rasa sakit yang mengalir seperti api. Namun, meskipun rasa sakit itu begitu nyata, dunianya tetap terasa kosong. Waktu seperti membeku, dan suara-suara samar mulai mendekat.

  Suara samar dari orang-orang yang melihat kejadian itu:

"Apa dia mencoba bunuh diri?"

"Cepat panggil ambulans!"

"Nona, apa Anda mendengar saya?!"

  Namun, suara-suara itu terasa menjauh, seperti gema yang terhalang oleh kabut tebal yang menyelimuti kesadarannya. Areum hanya bisa merasakan tubuhnya yang semakin berat, dunia yang semakin mengabur, dan akhirnya, kegelapan menyelimutinya.

-To be Continued-

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel