Bab 5. Warisan Gelap Dari Ibu Mereka
Aluna duduk di tepi tempat tidur dengan napas tersengal. Buku harian itu masih berada di pangkuannya, terbuka pada halaman yang mengungkap kenyataan paling mengejutkan dalam hidupnya.
Ia menatap ke luar jendela, melihat cahaya matahari menyusup malu-malu lewat tirai tipis. Tapi tak ada kehangatan yang terasa. Dunia telah bergeser. Ia, Aluna, bukan hanya korban penculikan atau alat balas dendam. Ia bagian dari jaringan kelam masa lalu yang lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan.
Pintu diketuk pelan. Arvino masuk. Wajahnya kusut, rambut acak-acakan, dan mata merah.
“Kau membaca sesuatu?”
Aluna menatapnya tajam. Ia mengangkat buku harian itu. “Tentang ibumu. Tentang… ayahku. Dan tentang kau.”
Wajah Arvino memucat. Ia duduk di kursi, terdiam. Tangannya bergetar.
“Aku sudah lama mencurigai. Tapi tidak pernah tahu pasti.”
Aluna membentaknya, “Jadi apa ini semua, Vino? Dendam? Atau pelampiasan karena kita mungkin… sedarah?”
Arvino memejamkan mata. “Tidak. Tidak… Tuhan, tidak.”
Aluna melempar buku itu ke lantai. “Kau yakin? Karena ibumu bilang dalam catatannya, dia hamil… dan bukan dari ayahmu. Tapi dari ayahku.”
“Dia juga bilang ibumu tahu dan berjanji akan diam demi keluarga masing-masing. Itu artinya… kita mungkin saudara tiri, Arvino.”
Arvino bangkit, berjalan pelan ke jendela. Wajahnya hancur. “Aku… aku tidak tahu harus merasa apa. Aku membenci ayahmu selama ini. Tapi jika itu benar… aku juga membenci darahku sendiri.”
Aluna berdiri, mendekat. “Kita harus tahu kebenarannya. Tidak bisa terus hidup di antara teka-teki.”
“Aku akan cari tahu. Tapi jangan benci aku dulu. Jangan tinggalkan aku sebelum kita tahu segalanya.”
---
Hari itu mereka diam di ruangan berbeda. Malam pun tiba, dan petir menggelegar seperti mengumandangkan aib yang akhirnya terbuka. Aluna tak bisa tidur. Ia membuka kembali buku harian itu dan membaca halaman terakhir:
> 15 Mei 2001
“Jika suatu hari anakku membaca ini, ketahuilah—aku mencintainya tanpa syarat, walau darahnya mungkin dari dosa masa lalu. Aku hanya ingin ia tumbuh dengan kekuatan, bukan dendam.”
> Dan untuk Aluna, jika kau membaca ini juga… maafkan kami. Maafkan cinta yang seharusnya tidak tumbuh dari pengkhianatan.
Tangis Aluna pecah. Tangannya menutupi wajah. Tak ada tempat di dunia ini untuknya yang penuh luka. Tapi ia tahu—ia tidak sendiri.
---
Sementara itu, Arvino menemukan dokumen lama di gudang bawah tanah rumah itu: akta kelahiran palsu, surat medis, dan catatan rahasia yang menunjukkan bahwa Marta pernah menjalani tes DNA—tapi hasilnya disembunyikan.
Esok paginya, ia duduk di hadapan Aluna dengan map usang di tangannya.
“Ada cara untuk tahu kebenaran.”
Aluna menatapnya penuh harap dan takut.
“Tes DNA ulang. Aku akan melakukannya. Kita akan tahu kebenaran. Dan setelah itu… jika kau mau pergi, aku tidak akan menahanmu lagi.”
---
Aluna mengangguk pelan. “Aku hanya ingin tahu… apakah kita bisa saling mencintai tanpa dihantui rasa bersalah.”
Bayangan dan Suara yang Mengganggu
Hujan turun sepanjang malam ketika sampel DNA dikirim ke laboratorium rahasia milik Arvino di luar kota. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali menunggu hasilnya—dan bertahan dari kekacauan batin yang semakin tak tertahankan.
Aluna mencoba tidur di ranjang kecil kamar atas, tapi matanya tak bisa terpejam. Di luar kamar, suara kayu tua yang berderit, angin menerpa jendela, dan gemuruh petir membuat rumah itu terasa seperti hidup dan menyimpan rahasia sendiri.
Sementara itu, Arvino duduk di ruang bawah, sendirian di kursi tua, menatap potret ibunya. Gelas whiskey di tangannya kosong. Di kepalanya, suara-suara mulai berdatangan.
“Anakku, jangan biarkan dendammu menghancurkanmu…”
Ia menoleh. Tak ada siapa pun.
“Arvino… darahmu bukan kutukan. Tapi pilihanmu bisa jadi neraka.”
Arvino menutup telinganya. Suara ibunya. Suara yang sudah lama tak ia dengar, kini terdengar nyata seolah berbisik langsung di telinga.
---
Pagi harinya, Aluna menemukannya masih duduk di sana, dengan mata sembab.
“Vino? Kau belum tidur?”
Ia menggeleng. “Aku mendengar suaranya… Ibu.”
Aluna menghela napas, duduk di depannya. “Kau terlalu keras pada dirimu sendiri.”
Arvino mencengkeram kepala. “Kalau hasilnya nanti membuktikan kita… sedarah, aku tak tahu apa yang akan aku lakukan. Aku mencintaimu, Aluna. Tapi aku tak bisa mencintai… saudaraku.”
Aluna menggenggam tangannya. “Aku tahu. Dan aku juga takut. Tapi kita tidak bisa terus hidup dalam asumsi. Kita butuh kebenaran.”
Arvino mengangguk. Lalu mendongak menatap langit-langit kayu. “Rumah ini seperti hidup. Seperti ibu masih di sini. Menjaga… atau menghukum.”
---
Hari-hari berikutnya berjalan dalam keheningan yang menyiksa. Aluna kembali membaca buku harian Marta, berharap ada petunjuk lain. Ia menemukan potongan surat tak terkirim:
> Untuk Arvino,
Jika kau membaca ini saat aku tak lagi ada, ketahuilah… aku tidak pernah menyesal melahirkanmu. Kau bukan hasil dosa. Kau adalah anugerah dari luka. Dan kau berhak bahagia. Dengan siapa pun yang hatimu pilih.
Aluna menunjukkan surat itu pada Arvino. Pria itu membaca dengan tangan gemetar. Air matanya jatuh untuk pertama kali di hadapan Aluna.
“Aku… takut mencintaimu, tapi lebih takut kehilanganmu.”
---
Malam itu, mereka tidur di kamar yang sama. Tak saling sentuh, hanya berbagi kehangatan tubuh. Di antara suara hujan, suara hati mereka berdenyut dalam irama yang sama.
Dan dalam tidur yang resah, Arvino bermimpi:
Ia melihat ibunya di taman rumah ini. Memegang bunga mawar putih. Tapi darah mengalir dari tangannya.
“Ibu?” panggil Arvino dalam mimpi.
Marta menoleh. “Jangan ulangi kesalahan kami, Nak. Tapi jangan juga menyiksa hatimu sendiri.”
Saat ia mendekat, Marta menghilang. Dan Arvino terbangun dengan peluh dingin.
---
Pagi pun datang. Dan dengan itu… hasil DNA.
Email masuk ke tablet milik Arvino. Ia duduk bersama Aluna. Tangan mereka saling menggenggam erat.
Ia membuka file itu perlahan. Dan membaca.
Lalu membeku.
Aluna menatap wajahnya. “Bagaimana?”
Arvino menoleh, matanya basah.
“Kita… bukan sedarah.”
Aluna menutup mata, jatuh ke dalam pelukan Arvino. Tapi pelukan itu tak sepenuhnya kelegaan. Karena di luar rumah, mobil hitam tak dikenal mulai mendekat perlahan…
Selamat membaca dan jangan lupa bahagia!!
