Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6. Kebenaran Yang Berdarah

Musuh di Ambang Pintu

Hening pagi itu pecah oleh suara ban berderit di luar rumah tua. Arvino segera berdiri dari kursi, tubuhnya menegang. Ia berjalan cepat ke jendela dan melihat sebuah mobil hitam tak dikenal berhenti di depan gerbang kayu tua.

Aluna ikut berdiri. “Siapa itu?”

Arvino tak menjawab. Ia mengambil pistol dari laci meja dekat ruang tamu, mengokangnya dengan gerakan tegas.

“Diam di sini. Jangan ke mana-mana.”

“Tunggu, Vino. Kita bahkan tak tahu siapa—”

“Aku tahu.”

Suara langkah mendekat dari luar. Ketukan terdengar. Tenang, ritmis, namun jelas penuh ancaman.

Arvino membuka pintu perlahan.

Di hadapannya berdiri pria yang tak asing. Wajahnya rapi, mengenakan jas kelabu gelap. Wajah yang pernah muncul dalam mimpinya dan dalam sejarah luka masa lalu: Rafael, tangan kanan Reinald.

“Arvino,” sapa Rafael dengan nada tenang. “Kami tidak datang untuk berperang. Hanya membawa pesan.”

Arvino mengangkat pistolnya. “Kau berani datang ke sini setelah apa yang kalian lakukan?”

Rafael tersenyum tipis. “Kami tidak pernah benar-benar pergi, Vino. Kami hanya menunggu waktu yang tepat.”

Aluna muncul di balik pintu, menatap Rafael dengan rasa ingin tahu dan waspada.

“Apa yang kalian inginkan dariku?” tanya Aluna.

Rafael menatapnya. “Reinald ingin bicara. Sekali saja. Setelah itu, kau boleh memilih: tetap bersama Arvino, atau ikut kami dan hidup tanpa diburu masa lalu.”

“Lalu kalau aku menolak?”

Rafael mengangkat bahu. “Kau tetap akan diburu. Oleh masa lalu kalian. Kami hanya menawarkan jalan keluar.”

---

Malam itu, ketegangan menggantung seperti awan badai. Aluna duduk memeluk lutut di kamar, sedangkan Arvino mondar-mandir di ruang bawah.

“Aku tidak percaya mereka tahu tempat ini,” kata Arvino. “Berarti… tak ada lagi tempat aman.”

Aluna berdiri dan menatapnya. “Kalau begitu, mungkin kita tak perlu lari. Mungkin kita harus menyerang balik.”

Arvino terdiam. “Kau yakin?”

“Sudah cukup aku jadi korban, Vino. Sekarang aku ingin jadi bagian dari pertarungan ini.”

---

Keesokan harinya, mereka menyusun rencana. Arvino menghubungi kontak lamanya di luar negeri—hacker bernama Deon, yang dulu pernah menyusup ke jaringan Reinald.

Deon mengirim data penting: rekaman lama yang memperlihatkan Reinald memerintahkan penculikan Aluna sejak jauh sebelum kematian ayahnya.

“Dia bukan hanya membalas dendam,” ujar Deon dalam sambungan video. “Dia ingin menciptakan ulang sejarah. Dengan kau sebagai bidaknya.”

---

Di sisi lain, Rafael kembali dengan pesan baru.

“Reinald ingin bertemu. Tapi hanya Aluna. Di tempat netral. Tanpa senjata. Tanpa pengawal.”

Arvino menolak. Tapi Aluna menyela, “Aku akan pergi.”

“Kau gila?!”

“Aku harus tahu apa yang sebenarnya dia inginkan dariku. Kita tak bisa menunggu terus.”

Arvino akhirnya setuju, dengan satu syarat—ia akan mengawasi dari jauh.

---

Hari pertemuan tiba. Aluna berdiri di pelataran kuil tua di tengah hutan. Reinald muncul, masih dengan senyum manipulatifnya.

“Kau benar-benar mirip ibumu,” ucapnya membuka percakapan.

“Aku tak datang untuk nostalgia,” balas Aluna. “Apa yang kau mau?”

Reinald menyodorkan sebuah map.

“Ini bukti bahwa ayahmu—Adam Wiratmaja—menjebakku. Tapi bukan hanya aku. Arvino juga bagian dari permainan ini.”

Aluna membuka map itu. Matanya membesar saat membaca isi dokumen di dalamnya.

“Apa… maksudmu?”

Reinald mendekat. “Arvino tidak memberitahumu segalanya, Aluna. Dia bukan hanya korban. Dia juga… pelaku.”

---

Aluna kembali ke rumah tua dengan kepala berputar. Ia menyimpan map itu di bawah bantal dan duduk diam, menatap Arvino.

“Kau tak pernah cerita soal ayahku yang menjebak Reinald. Tapi lebih dari itu… kenapa dalam dokumen ini namamu ada sebagai saksi?”

Arvino terdiam. Suasana di ruangan itu seperti membeku.

“Aku… belum siap kau tahu.”

“Lalu kapan? Setelah aku benar-benar jadi boneka semua orang?”

Arvino menghela napas dalam. “Besok… aku akan ceritakan semuanya.”

---

Tapi malam itu, sebelum pagi datang… map di bawah bantal Aluna lenyap.

Dan sebuah catatan tertinggal di tempatnya:

> “Rahasia tidak mati. Mereka hanya berpindah tangan. —R.”

---

Pengakuan Berdarah di Tengah Dingin Subuh

Langit masih kelam ketika Aluna terbangun dari tidurnya yang resah. Suara angin di luar seperti bisikan hantu yang tak pernah benar-benar pergi. Di sisi lain kamar, Arvino duduk dengan kepala tertunduk, tubuhnya membatu seperti patung yang menahan beban dunia.

“Vino?” panggil Aluna pelan.

Arvino menoleh, matanya merah, wajahnya lelah seperti habis bertarung dengan setan dalam dirinya sendiri.

“Aku janji akan cerita. Dan ini waktunya.”

Aluna duduk di depannya. Tangannya mengepal. Hatinya berdebar. Ia siap untuk terluka.

“Aku dulu masih remaja saat ayahmu dan Reinald memulai bisnis gelap itu. Ayahku... pria yang selama ini kuanggap pahlawan, ternyata hanya pion yang dikorbankan. Dan aku... aku dijadikan saksi palsu saat kasus itu hampir terbongkar.”

Aluna mengerutkan dahi. “Saksi?”

Arvino mengangguk pelan. “Ayahmu datang padaku. Menyuruhku bersaksi bahwa Reinald yang memerintahkan penyelundupan senjata ilegal. Padahal… sebenarnya keduanya sama-sama bersalah. Tapi ayahmu ingin menyingkirkan Reinald dan menjadi satu-satunya pengendali.”

“Dan kau… menurut?”

“Aku… aku tak punya pilihan. Ibuku sedang sakit parah saat itu. Ayahmu menjanjikan pengobatan untuknya jika aku membantu.”

Aluna menutup mulutnya dengan tangan. Dunia terasa runtuh di sekelilingnya.

“Kenapa kau tak bilang dari dulu?”

“Karena aku takut kehilanganmu. Karena semakin aku mencintaimu, semakin aku merasa hina. Aku adalah bagian dari kebohongan yang menghancurkan keluargamu.”

Aluna berdiri, memalingkan wajah. Matanya berkaca-kaca. “Jadi, seluruh waktu ini… kau menebus dosamu dengan menyiksaku?”

Arvino berdiri juga, wajahnya hancur. “Tidak! Aku… aku ingin menebus semuanya. Tapi aku kehilangan kendali. Dendam dan rasa bersalahku bercampur. Aku tahu, aku salah. Tapi perasaanku padamu… itu nyata.”

Aluna menatapnya dengan mata tajam. “Aku butuh waktu. Jangan ikuti aku.”

Tanpa menunggu jawaban, Aluna mengambil jaket dan keluar dari rumah itu. Dingin subuh menusuk kulitnya, tapi rasa perih di dadanya jauh lebih menyakitkan.

---

Ia berjalan tanpa arah hingga tiba di jalan tanah yang sunyi. Kabut masih menyelimuti pepohonan. Ia tak menyadari mobil hitam yang mengikutinya dari kejauhan.

Saat ia menyadari, sudah terlambat.

Pintu mobil terbuka. Dua pria bertopeng keluar. Salah satunya menyuntikkan sesuatu ke leher Aluna sebelum ia sempat berteriak.

Dunia menggelap.

Selamat membaca dan jangan lupa bahagia!!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel