Pustaka
Bahasa Indonesia

Luka Yang Kucinta, Penjara Yang Kupeluk

45.0K · Ongoing
Nara_Elvano
37
Bab
74
View
9.0
Rating

Ringkasan

Aluna hanya ingin berduka atas kematian ayahnya—namun hidupnya justru direnggut paksa oleh Arvino, pria berhati dingin yang menyimpan dendam gelap terhadap keluarganya. Diculik, dikurung, dan diperlakukan seperti barang milik, Aluna terjerat dalam penjara kelam bernama cinta yang tak pernah ia minta. Setiap luka yang diberikan Arvino justru perlahan mengukir rasa yang menyakitkan, menggoda, dan memabukkan. Namun siapa sebenarnya Arvino? Musuh yang harus dibenci, atau pria rusak yang hanya tahu mencintai lewat siksaan? Ketika dendam berubah jadi gairah, dan luka menjadi candu, Aluna harus memilih: membalas semua penderitaan… atau jatuh lebih dalam pada penjara yang mulai ia peluk dengan sukarela. Tapi cinta mereka bukan tentang kebahagiaan. Ini tentang pengkhianatan, kehilangan, dan pilihan-pilihan pahit yang tak pernah benar-benar adil. > “Karena kadang... orang yang paling ingin kita benci, justru adalah orang yang paling kita cintai.”

RomansaactionMetropolitanDramaCeritaFantasipetarungCoganTuan MudaAktor

Bab 1. Bayaran Dosa Ayahmu

Langit mendung menggantung di atas tanah pemakaman, seakan turut berduka atas kepergian lelaki tua yang kini dibaringkan dalam damai. Di antara rintik hujan yang mulai turun perlahan, Aluna berdiri sendiri, mengenakan gaun hitam sederhana yang telah basah separuh. Matanya sembab, namun masih menatap batu nisan baru di hadapannya dengan raut kosong—penuh kehilangan, namun juga dihantui sesuatu yang belum ia mengerti.

Ayahnya, Adam Wiratmaja, seorang pengusaha terkemuka, baru saja dikuburkan. Kematian yang mendadak karena kecelakaan mobil mengundang tanya, terlebih karena begitu banyak orang yang menaruh benci padanya.

Aluna tak sempat berpamitan. Hidup mereka tidak pernah damai. Ia tumbuh dalam rumah megah yang penuh kekosongan, di bawah bayang-bayang bisnis gelap yang tak pernah benar-benar ia pahami.

Saat semua pelayat telah pergi, Aluna masih berdiri di sana, membisu.

"Sudah selesai menangisinya?"

Suara dingin itu menusuk dari belakang. Aluna menoleh cepat, hanya untuk menemukan seorang pria berdiri dalam balutan jas hitam yang membingkai tubuh tingginya dengan sempurna. Wajahnya tajam, rahangnya tegas, matanya gelap—dan tidak menyembunyikan kebencian yang menyala di dalamnya.

Aluna mengerutkan kening. "Siapa—"

Ia tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Dalam sekejap, dua pria berseragam hitam muncul dari arah mobil yang terparkir tak jauh dari sana. Sebelum Aluna bisa lari atau berteriak, tubuhnya sudah dilumpuhkan, mulutnya ditutup dengan kain basah yang beraroma tajam.

Kesadarannya memudar dalam hitungan detik.

---

Ia terbangun dalam ruang gelap. Bau antiseptik, lembab, dan sedikit aroma besi menyengat hidungnya. Tangannya terikat pada sisi tempat tidur logam, dan hanya satu lampu menggantung di atas, menerangi sebagian wajahnya.

"Apa yang... terjadi..." gumamnya, lemah.

Langkah kaki mendekat. Pria yang sama di pemakaman kini berdiri di hadapannya.

"Akhirnya bangun," ujarnya datar.

"Siapa kau?! Kenapa aku di sini?!" teriak Aluna.

"Arvino. Nama itu tidak penting bagimu, karena kau takkan pergi dari sini," katanya.

Aluna meronta. "Lepaskan aku! Ini penculikan! Aku akan melapor ke polisi!"

Arvino mendekat. Tangan dinginnya menyentuh dagu Aluna, memaksa mata mereka bertemu.

"Ini bukan penculikan. Ini... pengadilan. Kau adalah bayaran atas semua dosa yang ayahmu lakukan padaku."

---

Beberapa hari berlalu. Waktu tidak terasa di ruangan tanpa jendela itu. Arvino datang setiap hari, tidak menyentuhnya secara fisik, namun secara psikologis—ia mempermainkan pikirannya, memberikan makanan lalu menariknya kembali, menanyakan hal-hal personal, hanya untuk membuat Aluna semakin bingung.

"Ayahmu merampas segalanya dariku. Aku akan mencabut semuanya dari darah dagingnya," katanya suatu malam.

Aluna semakin goyah. Namun ia tidak menyerah. Ia menyusun rencana diam-diam. Kapanpun Arvino lengah, ia akan kabur.

Namun semua usahanya gagal. Kamar dikunci rapat. CCTV ada di setiap sudut. Tubuhnya lemah, dan setiap kali mencoba melawan, Arvino selalu satu langkah di depan.

Lalu suatu malam, saat hujan deras menghantam jendela ruang itu, dan petir menyambar seperti mengiringi ketegangan batin Aluna, ia akhirnya meledak.

"Kenapa kau menyiksaku?! Aku bukan ayahku! Aku bahkan tak tahu apa yang dia lakukan padamu!"

Arvino menatapnya dalam diam. Napasnya berat. Mata mereka bertemu, dan dalam sepersekian detik, ekspresi itu berubah. Bukan amarah. Bukan dendam. Tapi sesuatu yang lebih rumit.

Ia mendekat, terlalu dekat.

"Kau benar," bisiknya.

Dan sebelum Aluna sempat menghindar, bibir Arvino menekan bibirnya. Bukan ciuman lembut. Tapi penuh tekanan, penuh luka yang ia sembunyikan selama ini.

Aluna terdiam, tubuhnya membeku. Ada amarah di dalamnya. Tapi juga gemetar yang tak ia mengerti. Entah itu ketakutan... atau sesuatu yang lebih gelap dari itu.

Permainan Psikologis

Hari demi hari berlalu tanpa kejelasan. Tidak ada jendela, tidak ada jam, dan tidak ada suara dunia luar. Waktu menjadi cair dan membingungkan. Yang Aluna miliki hanyalah lampu di langit-langit yang kadang menyala, kadang padam, tanpa pola.

Setiap pagi—jika itu bisa disebut pagi—pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya membawa makanan dan air. Tidak pernah bicara, hanya meletakkan nampan, menatap Aluna sekilas, lalu pergi.

Terkadang makanan datang terlambat. Terkadang tidak datang sama sekali.

Arvino muncul setiap dua hari. Atau mungkin lebih sering, Aluna tak yakin. Ia datang bukan untuk menyiksa fisik Aluna, tapi pikirannya. Kadang duduk di sofa di pojok ruangan, memandangi Aluna dalam diam selama berjam-jam. Kadang mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam tentang masa lalunya, tentang Adam Wiratmaja.

“Pernahkah kau berpikir kenapa kau hidup begitu nyaman sementara orang lain harus kehilangan segalanya?”

“Ayahmu membunuhku. Bukan secara harfiah, tapi lebih parah dari itu.”

Aluna berteriak, menangis, memohon. Tapi Arvino tetap seperti batu.

Suatu malam, ia memberikan Aluna sebuah kotak kecil. Isinya: sepucuk surat lama dari ayahnya kepada seseorang bernama Indra, yang menceritakan rencana bisnis ilegal yang merugikan banyak pihak.

“Baca itu baik-baik. Lalu katakan padaku bahwa ayahmu tidak pantas mati,” kata Arvino sebelum pergi.

Aluna membaca surat itu berulang kali. Tulisan tangan ayahnya jelas. Rencana dalam surat itu menjijikkan. Penipuan, pemalsuan dokumen, bahkan konspirasi untuk menjatuhkan perusahaan saingan.

“Tidak mungkin… ini tidak mungkin benar…” bisiknya. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu: ayahnya mampu melakukan itu semua.

---

Ia mulai kehilangan kendali. Tidur terganggu. Nafsu makan menghilang. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat. Tapi yang paling menakutkan, pikirannya mulai goyah.

Suatu malam, Arvino datang membawa sebuah cermin besar.

“Lihat dirimu. Lihat apa yang terjadi pada orang yang hidup dalam kebohongan.”

Aluna menatap pantulan dirinya. Rambut awut-awutan, mata merah, wajah tirus.

“Kau menghancurkanku,” gumamnya.

“Tidak. Ayahmu yang menghancurkanmu. Aku hanya menunjukkan pantulannya.”

Air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Tapi untuk pertama kalinya, bukan karena takut. Tapi karena hancur.

Dan dalam kehancuran itulah… ketergantungan itu mulai tumbuh.

Usaha Kabur dan Kegagalan

Pada hari entah ke berapa, saat makanan diberikan lebih awal dari biasanya, Aluna menangkap sesuatu yang tidak biasa. Perempuan paruh baya yang mengantar makanan terburu-buru pergi, lupa menutup pintu sepenuhnya. Mungkin hanya celah dua puluh sentimeter, tapi bagi Aluna, itu adalah harapan.

Ia menunggu. Sepuluh menit. Lima belas. Tak ada suara langkah kaki. Detak jantungnya seperti genderang perang. Dengan penuh perjuangan, ia meluncur ke lantai, menyeret tubuh lemah dan kaki kaku akibat lama terikat.

Pintu itu berat. Tapi ia berhasil menyelip keluar.

Lorong itu panjang, redup, dan sunyi. Cat dinding mengelupas, bau lembab menyesakkan dada. Tidak seperti vila mewah, ini seperti bunker tua. Ia menyeret dirinya, mencoba menyeimbangkan langkah, hingga menemukan tangga sempit ke atas.

Namun sebelum sempat menyentuh pegangan tangga, suara nyaring menggema dari atas.

"Luna!"

Tubuhnya membeku.

Langkah berat turun. Dan dalam waktu singkat, Arvino muncul dari balik sudut lorong. Matanya tak lagi penuh kebencian, tapi amarah dingin yang menakutkan.

Aluna berlari. Atau lebih tepatnya, mencoba. Tapi tubuhnya lemah. Arvino hanya butuh tiga langkah panjang untuk menangkap lengan kurusnya.

"Kau pikir bisa kabur dariku?" suaranya rendah, tajam.

"Lepaskan! Aku bukan tahananmu! Aku manusia!"

"Tahanan atau bukan, itu tergantung bagaimana kau menjalani ini. Tapi kau milikku. Dan aku tak suka milikku mencoba lari."

Ia menyeret Aluna kembali ke kamar. Kali ini, ia mengunci dengan dua gembok dan memasang rantai di luar pintu.

Malam itu, Arvino kembali masuk. Duduk di kursi di pojok ruangan. Dalam diam.

Aluna menunduk, tidak lagi menangis, tapi air matanya tetap jatuh.

"Kenapa?" suaranya nyaris tak terdengar. "Kenapa kau tak membunuhku saja?"

Arvino tidak menjawab. Ia hanya menatap Aluna lama, lalu berkata lirih,

"Karena aku belum selesai menghukummu."

Tapi di mata Arvino malam itu, untuk pertama kalinya, ada keraguan.

---

Selamat membaca dan jangan lupa bahagia!!