Bab 4. Suara Dari Masa Lalu
Terbakar oleh Luka Sendiri
Hening pagi itu seperti jeda sebelum badai. Aluna duduk di sisi tempat tidurnya—tempat tidur yang kini tak pernah benar-benar ia tiduri. Pikirannya tidak tenang. Surat itu hilang. Kunci itu pun lenyap. Tapi rasa asing dalam dadanya justru semakin kuat: apakah ia mulai mempercayai Arvino?
Sialnya, ya.
Ia benci fakta itu. Sama seperti ia benci ciuman mereka yang terakhir. Tapi perasaan bukan sesuatu yang bisa ia atur. Dan itu menakutkan.
Arvino tidak muncul pagi itu. Tidak juga siang. Bahkan saat sore menjelang malam.
Aluna mulai panik. Ia menekan telinganya ke pintu. Hening. Ia mengetuk keras. Berulang kali.
“Arvino! Arvino! Kau di mana?! Hei!!”
Tidak ada jawaban.
Setelah sekian lama, suara langkah mendekat. Pintu dibuka pelan.
Tapi bukan Arvino. Seorang pria asing. Tinggi, berjas, wajahnya tajam seperti bilah pisau.
“Selamat sore, Nona Aluna. Saya diutus untuk ‘menjemput’ Anda.”
Aluna mundur. “Kau siapa?”
Pria itu tersenyum dingin. “Anggap saja... aku perantara dari seseorang yang sangat merindukanmu. Inisial R.”
Darah Aluna membeku.
“Mana Arvino?”
“Sayangnya, ia sedang sibuk mengatasi kehancuran yang mulai datang dari semua sisi. Termasuk dari saya.”
Pria itu menyodorkan tangannya. “Ikutlah. Sebelum keadaan memburuk.”
Aluna berdiri. Matanya menatap tangan itu, lalu pintu di belakangnya, lalu wajah pria asing itu.
“Jika aku tidak ikut?”
“Tempat ini akan dibakar malam ini. Dan kau ada di dalamnya.”
---
Aluna memilih ikut. Tapi bukan karena takut. Karena ia ingin tahu siapa yang berani mengancam Arvino dengan cara seperti ini. Dan juga… ia ingin tahu siapa dirinya sebenarnya dalam konflik ini. Korban? Pemicu? Atau… sesuatu yang lain.
Mobil mewah membawa Aluna ke sebuah vila terpencil di tengah hutan. Di sana, Reinald menunggunya. Tua, namun penuh pesona gelap. Senyumnya seperti ular.
“Aluna. Betapa kau mirip ibumu.”
Aluna terkejut. “Kau mengenal ibuku?”
Reinald tertawa pelan. “Aku yang hampir menikahinya dulu. Sebelum ayahmu merebut semuanya.”
Ia mendekat. Wajahnya menegang.
“Dan sekarang, aku ingin menebus yang dulu dirampas. Dengan menjadikanmu milikku.”
Aluna mundur. “Kau gila.”
“Tidak, Sayang. Aku hanya menghitung luka. Dan kau… bagian dari saldo yang harus aku lunasi.”
---
Di tempat lain, Arvino mengamuk. Ruang kerjanya porak poranda. Tangannya berdarah karena meninju meja.
“Kenapa dia bisa masuk?! Siapa yang membuka sistem keamanan?!”
Salah satu bawahannya menggigil. “Kami tidak tahu, Tuan. Tapi… mereka menyusup dari dalam.”
Arvino menutup wajahnya. Nafasnya berat. Penuh amarah dan… ketakutan.
Ia tak menyangka bahwa Reinald akan bergerak secepat ini.
“Siapkan mobil. Kita ke vila Gunung Hitam. Sekarang.”
---
Di vila, malam itu dingin. Reinald membawa Aluna ke ruang makan besar. Di sana ada foto-foto ayahnya, ibunya, dan… dirinya. Semua dalam bingkai-bingkai seperti koleksi obsesi.
“Kau tahu, Aluna,” kata Reinald sambil mengaduk wine, “aku bisa memberimu segalanya. Kehidupan. Kekuasaan. Bahkan kebebasan. Tapi hanya jika kau mau melupakan Arvino.”
Aluna menatapnya dingin. “Kau bukan penyelamat. Kau pencipta penjara baru.”
Reinald tersenyum. “Dan ironisnya, kau akan memilihku. Karena aku satu-satunya yang bisa membunuh Arvino… atau menyelamatkannya.”
---
Malam itu, di kamarnya, Aluna menangis diam-diam. Bukan karena takut. Tapi karena hatinya benar-benar terbagi. Ia ingin membenci Arvino. Tapi tak bisa.
Dan di saat yang sama, ia tahu bahwa dalam kegelapan ini, ia juga terbakar oleh luka sendiri. Luka yang perlahan berubah bentuk menjadi… ketergantungan.
---
Pagi berikutnya, ledakan terjadi di gerbang vila.
Suara tembakan. Jeritan.
Arvino datang. Matanya merah. Bajunya robek. Tapi ia tetap tegak. Ia menghancurkan pintu kamar Aluna dengan bahu.
“Aluna!”
Aluna berdiri. Mereka saling menatap. Lalu… berlari saling mendekap. Tak ada kata. Hanya pelukan dua jiwa yang sama-sama terbakar tapi saling menyembuhkan.
Tapi ini belum akhir.
Ini baru awal dari api yang benar-benar akan melahap segalanya.
Pelarian, Sebuah Rumah Tua, dan Catatan yang Terlupakan
Udara pagi masih mengandung jejak asap dan darah ketika Arvino membawa Aluna keluar dari vila. Mobil yang mereka tumpangi melaju cepat tanpa suara. Di kursi belakang, Aluna menggigil. Bukan karena dingin, tapi karena segalanya kini terasa terlalu cepat, terlalu nyata.
Arvino menyetir dengan tatapan tajam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya selama perjalanan. Wajahnya pucat, tangannya terluka. Tapi matanya menyala dengan amarah dan… ketakutan.
Mereka berhenti di sebuah rumah tua di pinggiran bukit, tertutup pepohonan rimbun dan jalan tanah berliku. Bangunan itu seperti dihentikan waktu. Catnya mengelupas, jendelanya tua, tapi masih berdiri kokoh.
“Ini… tempat apa?” tanya Aluna pelan.
Arvino memandang rumah itu seperti menatap hantu masa kecilnya. “Rumah ibuku. Tidak ada yang tahu tempat ini, kecuali aku.”
Ia turun dan membuka pintu. Aroma kayu tua dan mawar kering menyambut mereka.
---
Malam itu mereka menginap di sana. Aluna tidur di kamar tamu, sementara Arvino berbaring di ruang depan, menatap langit-langit seperti ingin mencari jawaban.
Saat Aluna bangun pagi harinya dan menelusuri rumah, ia menemukan sebuah laci tua terkunci. Kuncinya tergantung di sisi meja rias. Dengan ragu, ia membukanya.
Di dalamnya, ia menemukan buku harian bersampul cokelat usang. Halaman pertamanya tertulis: Marta Delano – Untuk Diriku dan Anakku, Jika Ia Suatu Hari Kembali.
Jantung Aluna berdetak tak karuan. Ia membawa buku itu ke kamarnya dan mulai membaca.
---
> 3 Januari 2001
“Hari ini aku melihatnya lagi. Dia, lelaki itu… suami sahabatku. Kami mengubur terlalu banyak rahasia. Dan hari ini, satu demi satu mulai menggali kuburnya sendiri.”
> 10 Februari 2001
“Aku hamil. Tapi bukan oleh suamiku. Ya Tuhan, bagaimana aku bisa menatap Arvino ketika dia tumbuh besar nanti?”
Aluna menutup buku itu. Tangannya gemetar.
Jadi… Arvino bukan anak dari pria yang ia anggap ayahnya?
Ia membuka halaman lain. Halaman yang membuat napasnya terhenti.
> 20 Maret 2001
“Ibunya Aluna tahu. Kami bertengkar. Tapi ia bilang akan tetap diam demi menjaga keluarga masing-masing. Kami bersumpah tidak akan membiarkan anak-anak kami tahu.”
Aluna menjatuhkan buku itu. Dunia di sekelilingnya berputar. Napasnya sesak.
Arvino… dan dirinya…
Tidak mungkin.
Ia menutup matanya, memeluk buku itu sambil bergetar. Suara dari masa lalu tak lagi sekadar bisikan. Mereka adalah teriakan yang mengoyak logika.
Selamat membaca dan jangan lupa bahagia!!
