Bab 3. Kerapuhan Yang Terbaca
Hari berganti. Aluna mulai menyadari satu hal yang mengusiknya lebih dari ruangan pengap ini, lebih dari ikatan di kakinya, dan lebih dari rasa laparnya—Arvino mulai berubah. Ia tidak lagi masuk dengan amarah atau intimidasi, melainkan dengan sikap diam yang ganjil, seperti seseorang yang tak lagi yakin pada misinya sendiri.
Pagi itu, ketika makanan tiba, Arvino menyusul. Ia duduk, kali ini tanpa senjata, tanpa perintah. Di tangannya ada buku lusuh—judulnya sudah nyaris hilang dimakan waktu. Ia menaruhnya di hadapan Aluna.
"Bacalah. Buku itu menyelamatkanku dari bunuh diri saat aku masih remaja," katanya.
Aluna menatap buku itu seakan itu jebakan. "Kenapa kau memberiku ini?"
"Karena kau tampak seperti aku dulu—di ambang kehancuran, tapi belum benar-benar jatuh."
Aluna menelan ludah. Ia tak ingin menerima apapun darinya. Tapi buku itu seperti jendela kecil di tengah tembok tebal penjara ini. Ia mengambilnya perlahan.
"Aku tak menjanjikan akan membaca semuanya."
"Tak perlu. Tapi jika satu kalimat di dalamnya bisa membuatmu bertahan... maka itu cukup."
---
Sore harinya, Arvino memutuskan sesuatu yang membuat Aluna gemetar.
"Kau boleh keluar sebentar. Hanya ke halaman dalam. Lima belas menit. Aku akan awasi."
Aluna terdiam. Tubuhnya menegang, pikirannya waspada. Ini bisa jebakan. Tapi udara luar... langit... ia merindukannya sampai ke sumsum.
"Kenapa sekarang?" tanya Aluna pelan.
"Karena kau sudah terlalu lama di sini. Dan aku ingin tahu apakah udara segar akan membuatmu membenciku lebih atau… sedikit lebih manusia."
Dengan pengawalan dua orang pria bertubuh kekar, Aluna dibawa keluar. Halaman itu tidak luas. Dikelilingi tembok tinggi, dengan satu pohon kering di tengah dan tanah berdebu. Tapi langit ada di atasnya. Biru dan bebas.
Aluna menatap ke atas. Untuk pertama kalinya setelah sekian minggu, ia menghirup udara dunia luar. Matanya berkaca-kaca.
Arvino berdiri di ambang pintu, mengawasinya. Tak satu kata pun ia ucapkan.
Aluna menoleh ke arahnya. "Apa ini bentuk simpati?"
"Bukan. Aku hanya ingin tahu... apakah kau akan lari."
"Dan jika aku lari?"
"Aku akan kejar. Tapi tidak dengan rantai. Dengan alasan."
---
Malam itu, Aluna duduk di sudut ruangan sambil membuka buku yang tadi pagi diberi. Tangan gemetar, tapi matanya menyusuri tiap kalimat dengan haus. Buku itu ternyata berisi catatan pribadi seseorang yang pernah kehilangan segalanya—keluarga, cinta, harga diri.
Salah satu kalimat mencuat:
> “Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada jatuh cinta pada seseorang yang kau tahu bisa menghancurkanmu.”
Aluna menutup buku itu. Matanya basah. Dan jantungnya berdetak terlalu kencang untuk sesuatu yang baru dibaca.
Saat itulah Arvino masuk. Ia membawa air hangat.
"Untukmu. Kau gemetar tadi."
Aluna tidak menatapnya. Tapi menerima gelas itu dengan tangan kaku.
"Kau tidak perlu melakukan ini."
"Melakukan apa?"
"Berpura-pura peduli."
"Aku tidak berpura-pura. Aku hanya... lupa bagaimana caranya benar-benar peduli."
---
Malam makin larut. Mereka berdua duduk di lantai. Kali ini jaraknya lebih dekat. Tak sampai sejengkal.
Aluna berkata lirih, "Kadang aku berharap kau membunuhku saja. Itu akan lebih mudah daripada menghadapi kebingungan ini."
Arvino memejamkan mata. "Jangan pernah berharap mati. Karena aku pernah berada di sana. Dan yang menyelamatkanku bukan orang. Tapi kata-kata."
"Kata-kata siapa?"
"Ibuku. Dalam surat terakhirnya."
Ia mengeluarkan selembar kertas dari saku dalam jaketnya. Lipatan tua, kertas yang mulai rapuh.
Arvino membacakan:
> “Kamu tidak harus jadi orang baik, Nak. Tapi jangan pernah jadi seperti mereka yang membunuh cahaya dalam dirimu.”
Aluna memejamkan mata. Untuk pertama kalinya, ia melihat Arvino bukan sebagai penculik, bukan sebagai penyiksa. Tapi sebagai anak dari seorang ibu yang terlalu cepat pergi. Dan seseorang yang tak tahu bagaimana cara berhenti menyalahkan dunia.
Surat Tanpa Nama
Aluna terbangun oleh suara gesekan halus di bawah pintu. Dalam gelap, ia meraba lantai, dan jarinya menyentuh sesuatu—secarik kertas kecil, dilipat dua kali, tanpa nama. Ia menyalakan lampu sudut ruangan dan membukanya pelan. Tulisan tangan di atasnya tidak asing, tapi tak bisa dikenali langsung.
> “R akan menjemputmu. Tapi tak akan ada kebebasan di sana. Pilihanku atau kehancuran. —R.”
Jantung Aluna berdebar. Tangannya menggenggam kertas itu erat. Siapa R? Dari mana surat ini datang? Tak mungkin Arvino yang menulisnya. Isinya terasa seperti ancaman dan juga tawaran sekaligus.
Ia menyimpan surat itu di bawah bantal. Saat pintu terbuka pagi harinya, Arvino datang dengan ekspresi tajam.
“Siapa yang memberimu surat itu?” tanyanya tanpa basa-basi.
Aluna mendongak cepat. “Apa maksudmu?”
“Jangan berpura-pura bodoh, Aluna. Aku tahu kau mendapat surat tadi malam. Kau pikir tidak ada kamera di sini?”
Aluna terdiam. Napasnya mulai tersengal. Jadi, Arvino mengawasinya. Sepanjang waktu.
“Aku tak tahu siapa yang menyelipkannya,” ujar Aluna jujur.
Arvino mendekat. Wajahnya berubah. Bukan hanya marah—ia panik. Ia mencengkeram bahu Aluna.
“Kalau dia datang, jangan ikut dengannya.”
“Siapa dia?”
“Musuh lamaku. Dan ayahmu.”
Aluna menatapnya dalam-dalam. “Reinald?”
Arvino terdiam. Lalu mengangguk.
---
Siang itu berubah menjadi panas menyengat, seolah semua bayangan rahasia mulai menguap dari permukaan. Aluna memikirkan semua kemungkinan: apakah surat itu bentuk tipu daya Arvino? Atau benar ada pihak lain yang ingin mengambilnya?
Saat ia kembali ke ruangan, ia menemukan nampan makanan seperti biasa. Tapi kali ini ada kunci kecil di bawah sendok. Ia mengangkatnya perlahan, memeriksa sekeliling.
Tiba-tiba, pintu dibuka dengan kasar. Arvino berdiri di ambang pintu.
“Berikan padaku,” katanya.
Aluna menyembunyikan kunci itu di balik tubuhnya. “Apa ini juga bagian dari permainanmu?”
“Aku tidak meletakkan kunci itu. Tapi aku tahu siapa yang melakukannya.”
“Kenapa aku harus percaya padamu?”
Arvino mendekat, menatapnya dengan mata gelap yang sekarang tak lagi penuh amarah, tapi luka.
“Karena jika kau ikut dia… kau tak akan pernah kembali.”
---
Malam datang lebih cepat dari biasanya. Aluna tak bisa tidur. Surat itu, kunci itu, dan semua kebingungan di dalam dirinya bercampur jadi satu badai. Ia memeluk lutut di sudut ruangan, menggigil tanpa sebab.
Pintu dibuka perlahan. Arvino masuk, tanpa suara.
“Aku tak bisa tidur,” bisik Aluna. “Aku… takut.”
Arvino duduk di lantai, bersandar di sebelahnya. “Aku juga.”
“Apa yang sebenarnya terjadi di antara ayahku dan Reinald?”
Arvino menarik napas panjang. “Reinald dulu adalah mitra ayahmu. Tapi saat bisnis gelap mereka ketahuan, ayahmu menjebaknya. Reinald kehilangan segalanya. Termasuk keluarganya. Sejak saat itu, dia mengincar semua yang berhubungan dengan Adam Wiratmaja. Termasuk kau.”
Aluna memejamkan mata. Tangis kecil menetes tanpa suara.
“Aku benci semuanya. Aku ingin keluar dari ini.”
“Dan kau akan keluar. Tapi tidak sekarang. Aku belum siap kehilanganmu.”
“Kenapa? Karena aku ‘bayaran dosa’?”
Arvino menggeleng. “Karena aku sudah terlalu dalam.”
Aluna menatap wajahnya. Kemudian, entah dorongan dari mana, ia memukul dada Arvino dengan kedua tangan, lemah tapi penuh amarah.
“Kau membuatku bingung! Aku tak tahu harus membencimu atau… atau…”
Arvino menangkap tangannya. Ia mendekat. Sangat dekat.
“Kalau kau masih punya kebencian itu, gunakan sekarang.”
Dan untuk kedua kalinya, bibir mereka bertemu. Tapi ini bukan seperti sebelumnya. Ciuman ini kasar, liar, menyakitkan. Aluna membalasnya, bukan karena cinta, tapi karena dendam dan kebingungan yang sudah tak tertampung.
Saat mereka melepaskan diri, napas mereka terengah. Mata bertemu. Luka bertemu luka.
Arvino menunduk. “Maaf.”
Aluna hanya berkata, “Aku tak tahu siapa aku lagi.”
---
Pagi berikutnya, kunci yang tadi ia simpan menghilang. Surat juga.
Dan untuk pertama kalinya… Aluna mulai bertanya pada dirinya sendiri:
Siapa yang benar-benar mengurungku? Arvino… atau aku sendiri?
Selamat membaca dan jangan lupa bahagia!!
