Bab 2. Api Dalam Dada Yang Membakar
Ciuman Pertama yang Goyahkan
Hujan deras mengguyur di luar, menari di atas atap seperti suara-suara dari dunia lain. Ruangan itu kini lebih dingin dari biasanya. Aluna duduk menyandar pada tembok, tubuhnya menggigil. Ia tak di beri selimut malam itu, dan bajunya sangat tipis.
Pintu terbuka perlahan.
Arvino masuk tanpa suara. Di tangannya, sebuah jaket hitam tebal.
Ia meletakkannya di atas lantai, menjauh, dan duduk di kursi pojok seperti biasa. Tak ada dialog. Hanya suara hujan yang memisahkan mereka.
Beberapa menit berlalu sebelum Aluna berkata pelan, "Kenapa kau memberi itu?"
Arvino tak menjawab langsung. Ia menatap lantai, lalu mendongak.
"Karena aku tak ingin kau mati sebelum waktunya."
Aluna tertawa pahit. "Kau benar-benar monster yang baik hati."
"Mungkin. Tapi aku tidak menikmatinya seperti yang kau pikir."
Malam semakin larut. Ketegangan meluruh jadi keheningan yang aneh. Lelah yang terakumulasi membuat emosi mereka rentan.
Aluna berdiri perlahan, menghampiri jaket itu, lalu memakainya. Hangatnya mengusik kesadarannya—bukan hanya secara fisik, tapi juga secara emosional.
"Apa yang sebenarnya kau mau dariku?" bisiknya.
Arvino menatapnya lama. Lalu berdiri, berjalan mendekat. Napas mereka bertemu di udara dingin.
"Aku tidak tahu lagi," katanya jujur.
Jarak mereka hanya sejengkal.
Dan entah siapa yang memulai—mungkin karena kebencian yang bercampur ketertarikan, atau rasa sepi yang menghantui mereka berdua terlalu lama—bibir mereka bertemu.
Ciuman itu kasar, dingin, penuh luka. Tapi juga dalam. Dalam cara yang menakutkan.
Aluna ingin mendorong, menampar, menjerit. Tapi tubuhnya membeku. Ia tak bisa membohongi diri. Sentuhan itu mengalirkan sesuatu dalam darahnya—amarah, ketakutan, dan sesuatu yang bahkan lebih kelam dari semua itu: keterikatan.
Saat Arvino menarik diri, ia menatap Aluna dalam-dalam.
"Kau... berbeda dari yang kupikir."
Aluna membuang wajahnya. Tapi air mata tak bisa ia bendung.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, bukan hanya Arvino yang bingung akan perasaannya. Tapi Aluna juga.
Bayangan dari Ciuman Itu
Aluna terbangun dengan napas memburu. Ruangan itu tetap sama—gelap, lembap, dingin. Tapi dunia dalam dirinya telah berubah. Ciuman malam itu masih tertinggal di bibirnya, bukan sebagai kenangan manis, melainkan luka yang belum berhenti berdarah. Ia menyentuh bibirnya sendiri, seperti ingin menghapus jejak itu, tapi jejaknya bukan hanya di kulit—ia menempel di dada, membakar seperti api yang pelan-pelan melahap kewarasan.
Ia membenci dirinya. Membenci kenapa ia membalas ciuman itu meski tahu siapa Arvino. Membenci bahwa tubuhnya tidak menolak seperti seharusnya.
Ia menatap ke langit-langit yang retak, mencoba menyusun kalimat dalam pikirannya.
“Kenapa aku membiarkannya menciumku?” bisiknya.
Pintu terbuka perlahan. Arvino masuk, mengenakan pakaian yang lebih santai—sweater gelap dan celana panjang berbahan katun. Tak seperti biasanya. Wajahnya lelah. Ia menatap Aluna, lalu ia duduk di kursi tanpa bicara.
Keheningan di antara mereka nyaris menyakitkan.
“Kalau kau datang untuk melanjutkan ‘hukuman’ semalam,” kata Aluna dingin, “aku tidak akan diam kali ini.”
Arvino menghela napas. “Aku tak tahu kenapa aku melakukannya.”
“Tidak tahu? Kau selalu tahu apa yang kau lakukan. Kau menculikku. Kau menyiksaku. Dan kau… menciumku.”
Suara Aluna pecah di ujung kalimat.
Arvino menatap tangannya. “Saat kau menatapku waktu itu… aku melihat diriku sendiri. Bukan yang sekarang. Tapi diriku yang dulu. Yang juga hancur karena seseorang.”
Aluna menggertakkan gigi. “Jangan samakan aku denganmu.”
“Tidak. Aku tidak menyamakan. Tapi aku melihat luka yang sama.”
Mereka terdiam lagi. Lalu Arvino bangkit, meletakkan nampan makanan di atas meja kecil.
“Kalau kau tidak mau bicara, aku juga tidak akan memaksakan. Tapi mulai hari ini, kau boleh bicara sesuka hatimu. Teriak. Marah. Atau… diam.”
“Kenapa?”
“Karena penjara terbesar bukan ini,” katanya, menatap sekeliling. “Tapi isi kepala kita sendiri.”
---
Hari itu berjalan seperti mimpi buruk yang tak tahu ujung. Aluna mencoba makan, tapi mulutnya terasa hambar. Ia tidak lapar, tapi tubuhnya lemah. Ia harus bertahan. Ia belum boleh mati sebelum tahu semua kebenaran ini.
Sore harinya, Arvino kembali. Ia duduk di kursi pojok, tidak berkata apa pun. Hanya memandangi Aluna seperti biasa.
“Kau menikmati ini?” tanya Aluna tiba-tiba.
“Menikmati apa?”
“Melihatku rusak. Melihatku mulai kehilangan kendali.”
Arvino menggeleng. “Tidak. Karena aku tahu rasanya.”
Ia berdiri. Perlahan berjalan mendekat. Tapi kali ini, langkahnya tidak mengancam. Hanya penuh beban. Ia duduk di lantai, bersandar pada tembok yang sama dengan Aluna—dengan jarak satu meter.
“Aku pernah di penjara seperti ini,” katanya lirih.
Aluna menoleh pelan. “Oleh siapa?”
“Bukan secara fisik. Tapi batin. Oleh ayahmu.”
Aluna mendengus. “Lagi-lagi ayahku.”
“Dia menghancurkan ibuku. Bisnisku. Reputasiku. Dan… hatiku. Saat ibuku meninggal karena serangan jantung, dia bahkan tidak datang ke pemakamannya. Padahal dulu… mereka pernah bersahabat.”
Aluna terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Arvino—rasa kehilangan yang terlalu tulus untuk di manipulasi.
“Tapi itu bukan salahku,” ujar Aluna pelan.
“Benar. Tapi darahnya ada di nadimu. Dan aku pikir… dengan menghukummu, aku bisa meredam kemarahan itu.”
Aluna memejamkan mata. “Kalau begitu… kau puas sekarang?”
Arvino tidak menjawab.
---
Malam hari, suara hujan turun seperti tempo musik tragis yang mendayu-dayu. Lampu gantung di atas kepala hanya menerangi sebagian ruangan. Sisanya tenggelam dalam bayang-bayang.
Arvino kembali masuk. Kali ini membawa dua bantal tipis.
“Untukmu dan lantai yang kau cintai,” ujarnya kaku.
Aluna menatapnya curiga. Tapi ia mengambil satu.
“Kau masih akan tidur di kursi?” tanyanya.
Arvino ragu sejenak, lalu menggeleng. Ia meletakkan bantal kedua di sisi ruangan, duduk, dan merebahkan diri. Ia menghadap tembok.
“Kau tidak takut aku akan membunuhmu dalam tidur?” tanya Aluna.
“Aku lebih takut pada pikiranku sendiri daripada tanganmu.”
Aluna menarik napas panjang. Ia menatap punggung Arvino, dan untuk sesaat, ia tidak melihat penculiknya. Ia melihat seseorang yang juga hancur. Seperti dirinya.
Lalu dengan suara nyaris tak terdengar, ia berkata,
“Aku membencimu. Tapi aku tidak bisa berhenti memikirkan ciuman itu.”
Arvino tidak menjawab. Tapi jemari tangannya mengepal pelan, seolah api dalam dada mereka kini membakar ruang yang sama.
selamat membaca dan jangan lupa bahagia!!
