Bab 9 Wanita yang Kehilangan Rahimya
Bab 9 Wanita yang Kehilangan Rahimya
Ruby masih terbaring lemah di tempat tidurnya. Sepertinya cairan anastesi cukup kuat bersarang pada tubuhnya. Setelah pindah dari ruang ICU dokter membawanya ke ruang perawatan. Selang infus dan beberapa alat medis masih terpasang di tubuhnya. Perlahan jarinya tergerak dan matanya yang masih melekat pun terbuka. Mencoba melihat sekelilingnya bahwa ia tak lagi berada di kamar hotel seperti yang di tempatinya bersama Ben semalam.
Seorang dokter tiba-tiba datang bersama asistenya. Memastikan bahwa keadaanya baik-baik saja dan hanya menunggu pemulihannya untuk beberapa hari.
“Apa masih terasa pusing?” tanya dokter padanya.
“Iya dok berat sekali kepala saya. Dan perut saya rasanya masih nyeri,” jelas Ruby.
“Itu hanya efek operasi semalam. Nanti juga akan mereda,” ucapan dokter yang telak membuat Ruby melebarkan tatapan matanya.
“Operasi? Saya kenapa dok?” tanyanya masih kebingungan.
“Suami anda yang meminta saya untuk melakukan tindakan bedah semalam. Karena kondisi anda yang sudah sangat parah. Kami menyebutnya sebagai endometriosis namun keadaan anda sudah tak memungkinkan lagi jika kami hanya memberikan terapi obat-obatan. Kami terpaksa melakukan histerektomi atau sering kita sebut dengan pengangkatan rahim,” jelas dokter lagi membuat Ruby menggeleng tak percaya.
“Apa?” tanya Ruby setelah mengatasi keterkejutannya. “Jadi saya...”
“Tuan Ben sudah menyetujuinya nona, anda harusnya bersyukur memiliki suami yang sangat menyayangi istrinya dalam keadaan apa pun.” dokter belum paham situasi.
Rasanya Ruby kembali hancur setelah mendengar penjelasan dokter yang mencoba menyembuhkannya. Lagi-lagi hidupnya berantakan karena ulah Ben. Wanita mana yang bisa merasakan kebahagiaan jika ia tak bisa melahirkan keturunan. Bahkan ia belum merasakan indahnya sebuah pernikahan. Apa ini hukuman Tuhan yang begitu instan dari perbuatan yang dilakukanya bersama Jack waktu itu? Sudah jelas jika itu dosa yang tak akan tertebus oleh apa pun. Ruby hanya menangis sendirian tubuhnya masih lemah namun semua sarafnya seolah mengejang hebat. Rasanya ia ingin bangkit dari pembaringannya dan meluapkan amarahnya pada Ben.
“Maaf By aku mabuk malam itu,” ucap Ben yang terdengar syarat akan penyesalan. Ruby beberapa kali menghela napas. “Diamlah,” pintanya.
“By... aku akan menebus kesalahanku padamu. Aku akan menikahimu.” Ben menggenggam tangan wanita itu erat. Ben begitu mantap mengucapkan kalimatnya.
Ruby yang terkejut pun hanya mengerutkan kening dan menggelengkan kepalanya. “Kau tidak perlu melakukan itu Ben,” tegas Ruby.
“Tapi aku sudah salah By. Sampai Jakarta nanti aku akan menghubungi orang tuamu dan mengakui semua perbuatanku ini pada mereka.” Ben masih mencoba meyakinkan Ruby.
“Tapi aku tidak menginginkannya,” jawaban Ruby bagai tamparan keras untuk Ben.
Ben hanya diam ia keluarkan telpon genggamnya dan pergi meninggalkan Ruby yang menangis di tempat tidurnya. Rasanya tak mungkin jika ia harus menghubungi Jack bahkan membuka handphonenya saja ia tak berani. Ruby hanya bisa meratapi kesedihannya sendiri. Sekalipun Ben ada di sana tapi Ruby lebih menganggapnya jika Ben bukan manusia. Gara-gara dialah ia harus menanggung derita pilu dalam hidupnya. Ruby berangsur pulih kali ini ia sendiri yang mengantar Ruby pulang ke apartemennya. Betapa kaget Ruby jika di dalam telah hadir papa dan juga kakaknya, Rania. Mereka telah menunggu kedatangan Ben dan Ruby sejak tadi.
“Papa!” Ruby memeluk erat laki-laki berkacamata yang duduk di sofa berwarna coklat itu.
Menumpahkan semua tangis kesedihannya pada pelukan ayahnya. Rasanya Ruby ingin mengadukan semua dosa-dosa yang pernah dilakukanya hingga membuatnya seperti ini.
“Sudah By... Papa sudah tahu. Papa hargai kejujuran Ben yang mau bertanggung jawab atas semua yang dia lakukan pada mu,” jelas Pak Pramono mencoba menenangkan putrinya.
“Kakak sudah atur semua keperluanmu dan juga Ben. Bahkan surat-surat kalian sudah kakak daftarkan ke KUA.” Kali ini Rania yang mengambil perannya.
Mata Ruby melebar sepersekian senti saat mendengar hal itu. Rasanya bagai tersambar petir disiang bolong ketika mendengar Rania mengatakan KUA. Apa maksudnya? Apa Ben benar-benar meminta pada papa bahwa ia ingin menikahiku?
“Papa setuju dan Papa merestui kalian,” tegas pak Pram tiba-tiba.
Ruby tak bisa lagi menahan kesedihannya. Nafasnya semakin sesak saat sang ayah membicarakan soal pernikahannya, apalagi pernikahan yang hanya disetujui oleh salah atu pihak saja. Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika ia harus benar-benar menikah denga Ben yang sangat dibencinya. Lalu apa kabar dengan Jack, pacar yang selama ini ia tinggalkan tanpa sebuah kabar.
**
Ruby telah kembali pada rutinitasnya ia sudah sangat rindu dengan segala kesibukan seperti yang biasa ia kerjakan. Tapi Ben tak mengizinkannya bekerja seperti biasa. Terlebih lagi ia adalah calon istrinya dan baru saja sembuh dari sakitnya tempo hari. Ben terlihat sibuk sendiri, hari ini adalah meeting pertamanya dengan para content creator dari salah satu platform terkenal yang bekerja sama dengan The Azurape untuk mengisi sebuah jurnal digital. Ruby yang tidak terlibat hanya dapat melihat dari kejauhan Ben terlihat begitu sangat antusias menjelaskan setiap bab yang tengah dipresentasikanya. Mencoba kembali mencari beberapa artikel yang menyebutkan kesuksesan Ben sebagi ssalah satu pemilik perusahaan jurnalistik.
Prestasinya dan reputasinya sangat bagus, tidak heran jika semua hal yang berkaitan dengan Ben selalu menarik untuk disorot. Terlebih lagi semakin banyak bermunculan berita tentangnya dan juga Ruby yang gencar tengah menjalin hubungan. Ruby pun menutup layar laptopnya. Muak sekali ketika semua hedline menyebut kabar hubunganya dengan Ben.
“Jika saja ada Mama.” Ruby kembali mengingat seseorang yang telah lama meninggalkanya.
Mama yang begitu sabar dan selalu membela dirinya. Perempuan yang selalu ia banggakan namun harus pergi dengan cepat saat sebuah kecelakaan mobil merenggut nyawanya. Air matanya perlahan menetes mengingat dan merasakan kembali kerinduan pada wanita yang begitu dicintainya.
“By,” panggil Monic.
Ruby pun berusaha mengusap air matanya.
“Kenapa By?” Monic masih menatap rekannya itu penuh tanya.
“Hanya kelilipan,” sahut Ruby menutupi kesedihannya.
“Kau perlu sesuatu yang menenangkan,” ucap Monic sembari menarik tangan Ruby tanpa menunggu respon.
Ruby hanya mengangguk mengiyakan ajakan Monic. Ia pun segera menuju pantry untuk menyusul sahabatnya itu.
“By, tunggu sebentar aku akan ke kamar mandi,” Monic tampak terburu-buru dan sedikit berlari menuju sebuah kamar mandi.
Ruby yang baru tiba hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan konyol wanita berambut pendek itu. Sambil menunggu Monic kembali Ruby membuat secangkir kopi panas favoritnya. Tiba-tiba masuklah seorang wanita yang sudah tak asing di Azurape. Rossa, tiba-tiba masuk dengan wajah yang begitu sedih dan sangat kacau. Wanita yang di tugaskan Ben bekerja pada posisi HRD. Entah apa yang membuatnya begitu sedih, hingga menggugah rasa penasaran Ruby.
“Mbak Rosa gak apa-apa kan?” tanya Ruby polos.
Ruby menyodorkan sebuah tissu dan segelas air putih pada Rosa. Tapi Rosa masih menutupi wajahnya. Rambut panjangnya ikut menutupi wajah yang sejak tadi ia sembunyikan.
“Hmm... Oke, Ruby pergi dulu,” Ruby mencoba meninggalkan Rosa yang masih sibuk dengan tangisnya. Ruby yang mencoba berempati pun bisa merasakan jika Rosa dalam keadaan tidak baik. Ia lantas pergi.
“Tunggu By.” Rosa kembali menahan langkahnya. Ruby pun kembali menoleh ke arahnya. “Apa benar jika kamu dan Ben akan menikah?”
Ruby hanya tergagap ia tak bisa menjawab apa yang ditanyakan Rosa padanya.
“Apa benar Ben pernah tidur denganmu?”
“Apa maksud mbak Rosa?” Ruby mencoba mengelak apa yang dicecarkan padanya.
“Jawab saja By?” cecar Rosa padanya.
Ruby pun pergi tak dipedulikanya lagi Rosa yang terus mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Kenapa tiba-tiba ia menanyakan pertanyaan yang demikian itu. Aneh rasanya ketika tiba-tiba ia bertanya tentang siapa saja yang pernah tidur bersama Ben. Ben, sudah pasti dia lah yang menyebabkan kesedihan di hati Rosa.
**
Beberapa hari sejak Ruby kembali ke kantor tak dilihatnya Jack. Rasa penasarannya semakin kuat semenjak keberadaanya di Bandung ia pun tak mencoba menghubunginya. Apa benar Jack lebih percaya dengan berita–berita yang bermunculan di berbagai headline berita mengenai dirinya dan juga Ben.
“Mon, Jack ke mana kelihatan?” tanya Ruby pada Monic.
“Oh Jack ke Banyuwangi bersama si Tara,” jujur Monic yang memang tidak tahu hubungan kedua temannya itu.
“Ini pasti ulah Ben,” sergah Ruby.
“Kau pasti lebih paham akan hal itu,” jawab Monic.
“Apakah pemotretan Tara belum selesai?” tanya Ruby lagi. Di hatinya masih ada sedikit rasa cemburu pada Tara. Ruby masih belum bisa membuang rasa cintanya pada Jack, tapi Jack seperti menghindar dan mencoba semakin menjauhinya. Semenjak kepergiannya ke Bandung tak ada pesan apapun yang ia kirimkan Ruby. Hingga dirinya telah kembali ke Jakarta, Jack pun menghilang tanpa berita.
