Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Kebaikan Ben!

Bab 4 Kebaikan Ben!

“Arghh... Kenapa aku ini. Kenapa jadi Ruby yang selalu melintas di pikiranku. Please Jack, jangan jadi budak cinta malu sama umur!” gumamnya

**

“Selamat pagi calon sekretaris permanennya si Ben?” sapa Jack yang tiba-tiba muncul di samping Ruby

Senyumannya sedikit tertahan menyaksikan ekspresi wajah Ruby yang begitu tak suka saat ia menyapanya demikian.

“Ini masih pagi, jangan bikin moodku rusak tiba-tiba hanya karena sapaan konyolmu itu Jack!” ketus Ruby pada Jack

“Hmm... sepertinya kamu perlu ke dokter deh By. Buat cek kolesterol sama hipertensi. Masih pagi By, jangan marah-marah.” Ruby semakin kesal mendengar ocehan konyol dari mulut Jack

Ia kembali melanjutkan langkahnya yang sejak tadi terhenti oleh kelakuan jahil fotografer profesional itu. Sepagi ini, kembali ia harus menata mood-nya yang perlahan terganggu oleh kelakuan Jack padanya. Telinganya berdengung kuat dan kembali terbayang wajah kaku Ben serta betapa menyebalkannya bos The Azurape itu. Ruby terus berlalu, dan berjalan menuju kursi kebesarannya. Kursi yang telah menunggunya dengan semua tugas yang harus segera selesai sebelum Ben kembali dari luar kota.

“Huft.. mari kita mulai!” tegas Ruby yang mencoba menyemangati dirinya sendiri

Baru beberapa menit saat ia menunggu layar laptopnya menyala, ponselnya pun berbunyi. Sebuah pesan dari Ben muncul di salah satu pesan aplikasinya. Meminta pada Ruby untuk memesankannya sebuah tiket pesawat karena beberapa hari lagi ia akan segera kembali ke Jakarta. Sebuah pesan yang cukup membuatnya bernafas lega karena kali ini Ben tak menanyakan tentang pekerjaan.

“Hmmm... tumben pesannya hanya itu saja, tapi baguslah!!” gumam Ruby sendirian.

Sesaat ia kembali membayangkan kelakuan kasar Ben yang ternyata sudah hampir 3 minggu ia tak ada di singgasananya. Mencoba mengingat pula kebaikan kecil Ben tempo hari kepada dirinya.

“Kenapa jadi membayangkan Pak Ben, ingat By ingat taruhanmu dengan Jack. Please... jangan berpikiran yang aneh-aneh.” Ruby menggeleng-gelengkan kepalanya

Mencoba menyadarkan kembali otaknya yang sudah mulai blank.

**

“Sudah selesai, Mon?.”

“40% sih... tapi bisa selesai sebelum hari H !” jawab Monic singkat

“Sip. Semangat ya Mon!” Ruby mencoba memberi support pada rekanya

Mereka semua masih tampak sibuk dengan acara persiapan pesta ulang tahun The Azurape. Pesta yang mengusung tema unik ini cukup menyita tenaga semua karyawannya. Kali ini Monic lah yang bertindak sebagai leader mereka, perempuan yang punya skill sebagai salah satu content creator di The Azurape ini selalu punya ide kreatif yang bisa membuat semua orang kagum padanya. Sudah jadi makanannya setiap hari untuk membuat beberapa ide besar untuk sebuah iklan beberapa brand terkenal. Sama dengan apa yang harus dilakukannya sekarang, ia tak ingin ada kesalahan sedikit pun pada konsep yang telah dipilihnya bersama Jack. Ini harus perfect, dan harus benar-benar bisa membuatnya merasa puas.

Flaash... flash...

Kilatan lampu flash dari sebuah kamera kembali mengganggu mata Ruby

Tidak cukup sekali tapi berkali-kali kilatan flash itu mengarah padanya. Siapa lagi jika bukan Jack yang masih terus berusaha menggoda Ruby. Jack sudah membuatnya naik pitam dan merasa sangat kesal kepadanya. Tak digubrisnya kejahilan Jack kali ini, ia masih saja bercengkerama dengan rekan-rekanya membahas konsep ulang tahun yang sedang dikerjakannya itu. Namun bukan Jack namanya jika ia tak bisa membuat Ruby merasa kesal.

“Jack!” pekiknya sedikit keras

“Sssttt... aku sedang mencari angle yang bagus, senyum dong Bu sekertaris,” sekali lagi ia mencoba mengambil potret Ruby

Sebuah modus yang sempurna untuk mencuri gambar Ruby. Wanita ini hanya berdiri mematung melihat Jack, wajahnya pun semakin kesal saat melihat jack yang terus sibuk membidik gambar dirinya. Ingin sekali ia mengambil kamera itu dan membuangnya. Tapi Ruby masih bisa menahan emosi, pantang baginya untuk meluapkan kemarahan di depan banyak orang.

“Lumayan.” Jack kembali mengacungkan jempolnya

Ia hanya tersenyum menatap Ruby yang terus meruncingkan bibirnya.

“Apa sih yang bisa kamu lakukan selain melakukan pekerjaan tak berfaedah itu Jack.”

“Tidak berfaedah bagaimana sih maksud kamu. Ini berfaedah banget loh do-ku-men-ta-si,” mata Jack melebar seolah mencoba membenarkan argumen

Ruby pergi begitu saja. Hari ini Jack benar-benar menguji kesabarannya. Ia lantas pergi meninggalkan kerumunan rekan-rekanya yang masih sibuk dengan berbagai macam persiapan pesta. Berjalan menuju pantry dan memilih untuk menenangkan dirinya di sana. Mencoba membuat secangkir kopi mocha latte favoritnya. Paling tidak secangkir kopi bisa membuatnya sedikit mengusir rasa sebalnya pada Jack, si fotografer jahil itu.

“Non Ruby!” sapa seorang laki-laki setengah baya yang tiba-tiba ikut masuk ke ruang pantry

“Eh Pak Hendro mau ngopi juga pak?.”

“Iya. Non Ruby kok sendirian saja di sini? Yang lainnya mana?.”

“Sedang sibuk Pak, siap-siap untuk acara ulang tahun perusahaan. Pak Hendro mau ke mana?” Diperhatikanya laki-laki tua yang sedang membuat kopi pada sebuah tumbler aluminium

Tiba-tiba Ruby teringat pada sesuatu.

“Ya Allah hampir saja lupa lagi. Bukannya saya punya hutang sama Bapak?.”

“Hutang apa ya non?” tanya Pak Hendro bingung

“Salad buah, yang tempo hari saya kelaparan waktu menemani bos Ben meeting, pak Hendro ingat tidak?.”

“Oh ... itu bukan dari saya non Ruby, itu dari bos Ben. Saya mah mana tahu apa kesukaan non Ruby. Saya cuma disuruh pak Ben waktu itu non!.”

DEGH!

“Ben sebaik itu. Apa iya ada jin baik yang sempat menempel di tubuhnya?”gumam Ruby dalam hati.

Ruby sedikit terkejut mendengar cerita singkat pak Hendro, dan seperti biasa timbul lagi bermacam-macam spekulasi di otaknya.

“Non Ruby, Pak Hendro duluan ya!” Pak Hendro pun pamit pergi

Ruby hanya tersenyum dan mengangguk membalas ucapan supir pribadi Ben itu. Pikirannya masih melayang setelah mendengar cerita singkat Pak Hendro barusan.

“Oh jadi itu dari Ben. Apa iya sih dia sebaik itu, tapi sepertinya tidak deh. Laki-laki begitu mana pernah punya rasa kasihan dengan sesama makhluk Tuhan!” lirihnya lagi

Ruby pun masih menikmati tiap seruput kopi yang masih hangat di cangkir yang ia genggam. Menatap jauh pada sebuah kaca bening yang menampakan pemandangan gedung-gedung pencakar langit kota Jakarta. Masih jelas terlintas di kepalanya ketika ia memutuskan untuk pindah dan tinggal di Jakarta. Pindah dan tinggal di sini bukan keputusan yang mudah. Terlebih ia tak punya kerabat atau saudara yang ada di kota ini. Sejak kecil ia sudah terbiasa berpindah dari satu kota ke kota lain untuk mengikuti perjalanan dinas Ayahnya.

Sejak SMA pun Ruby lebih senang berada di tempat yang jauh dari keluarganya. Bukannya ia tak ingin menemani sang ayah tapi ia ingin membuktikan jika dirinya bisa berkarir sendiri tanpa nama besar keluarganya. Sering dibanding-bandingkan dengan sang kakak, malah membuatnya semakin tak betah berada di rumahnya sendiri. Ia pun ingin mencoba mengetahui seberapa besar keberanian dan kemampuan untuk bertahan di kota metropolitan seperti ini.

“Huft Papa! Sedang apa ya, Papa, tiba-tiba kok kangen!” Kembali ia bergumam menyebut laki-laki hebat yang ada di hidupnya

Laki-laki yang mendidiknya dengan penuh kedisiplinan yang tak pernah membiasakan anak-anaknya untuk sekedar menikmati harta kekayaan orang tuanya. Ruby tetaplah wanita biasa yang tak akan berdiam diri dan berada pada zona nyaman orang tuanya. Menjadi salah satu putri yang masih memiliki keturunan darah biru tak lantas membuatnya kehilangan semangat untuk meniti karir. Lagi pula sejak kecil ia sudah terbiasa untuk tidak bergantung pada siapa pun. Tidak ada kata ‘manja’ dalam kamusnya.

Semua harus bisa ia lakukan sendiri jika itu masih bisa dia melakukannya. Semenjak kepindahannya ke Jakarta, cukup lama ia tak menanyakan kabar Papanya. Sosok laki-lakinya yang tegas dan sedikit keras kepala. Tak akan ada yang berani menolak apa yang menjadi perintahnya. Jika sang ayah sudah memberikan titah maka itu wajib terlaksana. Namun, hanya ada satu orang yang bisa meluluhkan setiap kehendak sang ayah, Rania namanya kakak Ruby.

**

“By pilih, kamu mau topeng yang mana?” Monic menyodorkan beberapa model topeng pada sahabatnya itu.

Topeng ini wajib dipakainya, bukan hanya Ruby tapi semua tamu yang hadir di pesta The Azurape. Ruby membolak-balikkan beberapa topeng yang masih tersisa pada sebuah kotak, wajahnya kecut menatap Monic yang masih berdiri di depannya.

“Kenapa lagi sih?.”

“Mon, coba deh kamu yang pilihkan, sepertinya tidak ada yang cocok untukku.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel