Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8

"Kamu tahu nggak, kalau kamu mirip sama anak kucing?" bisik Dirga sambil memeluk Anya dari belakang. Menggigit gemas telinganya.

"Apaan sih!" sungut Anya. "Masa aku disamain sama anak kucing. Kamu nggak usah gombal, nggak ngaruh sama aku."

Dirga terkekeh pelan. "Aku nggak gombalin. Kamu beneran mirip sama anak kucing, tau samanya dimana?"

"Nggak!" sahutnya singkat sambil melepaskan pelukan Dirga untuk melanjutkan memasak. "Memang dimana?"

"Sama-sama punya bulu, kalau bulu kucing gemesin, bulu kamu bikin seksi."

"Dirgaaa!" Anya langsung melempar spatula namun meleset karena pria itu terlanjur lari menjauh sambil tertawa terbahak-bahak.

"Mama, lihat ini." Sasa menunjukkan sebuah gambar yang baru saja di buatnya di buku gambar. Wajahnya terlihat gembira. Mata bulatnya berbinar cerah dan juga antusiasnya membuat Anya tersenyum dan pura-pura menilai gambarannya milik puterinya.

Anya sedikit terhenyak saat melihat gambar milik puterinya. Gambar itu adalah gambar Anya yang sedang menggandeng Sasa dengan tulisan, Mama Sasa.

Anya langsung memeluk puterinya erat. Menumpahkan tetesan air matanya yang kian mengalir deras. Dari dalam dirinya sedikit menyesal karena Anya tidak pernah memperkenalkan ayah kandung puterinya, namun dia juga tidak ingin mengacaukan semuanya yang telah direncanakan oleh kedua orang tuanya.

"Sayang, besok kamu tinggal di rumah Tante Dela ya? Mama ada urusan seharian." Anya menarik puterinya ke dalam pangkuannya.

Wajah Sasa berubah mendung. Ia mendongak kemudian menggeleng. "Sasa ikut Mama."

Anya tidak sanggup melihat wajah sedih puterinya, namun lebih tidak mau jika Dirga melihat sosok Sasa. Ia tidak ingin kehilangan Sasa apalagi jika harus bertemu mertuanya atau sebentar lagi akan menjadi mantan mertua.

"Sayang, Mama nggak lama. Mama janji setelah Mama pulang, Mama akan bawa Sasa makan es krim dan jalan sepuasnya."

"Sasa ngga mau sama Nte Dela. Nte Dela jahat. Suka cubit-cubit pipi Sasa."

Anya tersenyum. "Kalau Tante Dela suka cubit pipi Sasa lagi, nanti Mama pukul Tantenya."

"Jangan pukul. Nte Dela suruh beli boneka barbie untuk Sasa aja."

"Iya. Besok Mama suruh Tante Dela beli boneka barbie. Jadi, Sasa mau kan sama Tante Dela?"

Sasa langsung mengangguk. "Mau, Ma. Sasa mau."

"Good, itu anak Mama!"

***

Pagi ini, Anya mengantar Sasa ke rumah Dela dan setelahnya ia langsung ke rumah sakit lalu pulangnya singgah ke rumah orang tua yang mengangkatnya. Ya, selama ini Anya hidup dibiayai oleh kedua orang tua Shela yang telah memungutnya dari panti asuhan. Sebab itulah kedua orang tua Dirga membencinya karena asal-usulnya yang tidak jelas. Mereka membencinya hanya karena Anya dibesarkan oleh panti asuhan.

Selama menjalin hubungan dengan Dirga, Anya selalu mendapat tekanan dari orang tuanya. Ia berhasil menyembunyikannya dengan baik. Tidak pernah sekalipun Anya membiarkan Dirga mengetahui perilaku Mamanya.

Yang membuat Anya bertahan hanyalah cinta. Cinta dari Dirga untuknya dan juga cinta darinya untuk Dirga. Apakah selama ini Anya telah bertindak bodoh dengan menjaga suami orang? Ya, katakanlah begitu. Anya terlalu menutup mata pada semuanya hingga ia lupa bahwa hati orang akan berubah. Seperti saat ini, dimana ia menyaksikan ciuman sepasang kekasih dari balik kemudi mobilnya.

Senyum kedua orang itu mengiris hati Anya dengan perlahan. Tapi, Anya sama sekali tidak menangis dan dia tidak akan pernah lagi menunjukkan tangisan itu pada Dirga. Cukup kemarin ia melakukan kebodohan, dan kini tidak lagi.

Lagipula, bukankah ini adil? Ketika dia kehilang Dirga, Anya mendapatkan Sasa. Daripada dia kehilangan Sasa dengan memilih Dirga. Sesungguhnya itulah yang pernah ditawarkan oleh seorang Ibu yang pernah mengandung. Ibu yang Anya rasa mulai kehilangan hati nuraninya!

"Kesiangan, Anya?" gumam Dirga saat menyadari Anya yang baru saja sampai. Mengikuti langkah wanita itu setelah Shela mengantarnya barusan.

"Pertanyaan itu tujukan untuk dirimu sendiri, dokter," balas Anya tanpa sedikitpun menoleh dan terus melangkah.

Dirga terkekeh pelan sebelum menahan pergelangan tangan Anya lalu menarik wanita itu ke dalam ruangannya saat mereka melewatinya. Anya memberontak, namun Dirga mengukung Anya dan tidak sedikitpun membiarkan wanita itu lepas.

Menatap wajah cantik di depannya dengan tatapan lembut sebelum memajukan wajahnya dan mengecup lembut permukaan bibir Anya, kemudian melumatnya pelan.

Anya terpaku. Beberapa saat dia tidak dapat bergerak. Saat Dirga mulai melumat bibirnya, kesadaran Anya kembali dan langsung mendorong pria itu dengan kuat. "Kamu?! Kamu gila, hah?!" serunya kemudian hendak berbalik dan keluar namun, Dirga kembali menahan lengan Anya dan mendorong wanita itu ke sofa.

"Setelah ini, hubungan kita benar-benar berakhir, Anya!" jeritnya frustasi. "Apa nggak ada sedikitpun penyesalanmu karena telah melakukannya? Hanya satu kata dari kamu yang aku butuh, Nya. Satu kata yang selama ini aku tunggu."

Anya terdiam. Ia bukan tidak tahu jika Dirga mengharapkannya untuk meminta maaf atas apa yang telah ia lakukan.

"Kalau aku mengatakannya, apa yang mau kamu lakukan? Kita sudah berakhir, Dirga. Aku sudah memutuskanmu dan sekarang, kamu sudah memilih Kakak aku sebagai pendamping hidup kamu, jadi, jangan pernah ganggu aku lagi!" Anya bangkit dan hendak beranjak.

"Seberat itukah bertahan bersamaku, Nya? Selama ini, apa nggak sedikitpun kamu cinta aku?"

Anya menahan air matanya yang hendak mengalir. "Aku nggak pernah cinta kamu, Ga."

"Kamu bohong! Balik badan kamu dan tatap mata aku. Katakan kalau kamu nggak pernah sedikitpun mencintai aku."

Anya berusaha untuk tidak menumpahkan air matanya, dengan mengeraskan hatinya ia berbalik. Menatap Dirga sinis dan bergumam, "aku nggak pernah cinta sama kamu! Puas? Sekarang, aku mau keluar."

Dirga terkekeh sumbang kemudian menggeleng tidak percaya. Wajahnya tampak terluka. "Ternyata memang benar. Wajar kamu membunuh calon bayi kita," gumamnya pelan sembari mengusap wajahnya kasar. "Mana mungkin kamu mau mengandung anak dari laki-laki yang nggak kamu cinta. Kamu pasti jijik, kan?" Pria itu mencoba melangkah dengan tenaga yang tersisa. Mengeluarkan selembar surat. "Aku harap nggak pernah nunjukin kertas ini ke kamu. Tapi, aku semakin percaya kalau apa yang aku pilih benar. Kamu bukan ditakdirkan untukku." Dirga menyodorkan kertas itu dihadapan Anya.

Anya masih terdiam kaku di tempatnya. Sakit melihat Dirga seperti ini, namun hatinya lebih sakit lagi saat melihat surat cerai yang Dirga sodorkan. Inikah akhirnya?

"Ini akhir bagi kita. Jujur, selama ini aku nunggu kamu minta maaf tapi kamu nggak pernah datang," bisiknya pelan. "Mungkin kamu memang bener-bener niat lepas dari aku. Sekarang, aku coba ikhlas untuk lepasin kamu selamanya."

Anya tak tahan untuk tidak menangis. Mengambil pulpen dan menandatangani surat perceraian tersebut.

Dirga tersenyum hambar. Sebelum menatap wajah Anya yang sedang menangis. Menghapus air mata di wajah itu dengan lembut. "Boleh peluk kamu untuk yang terakhir kali?"

Anya tidak menjawab dan akhirnya Dirga memeluknya erat sekali. "Maaf, waktu itu aku bentak kamu, maaf sudah sebut kamu pembunuh dan aku sadar kalau kamu lebih berarti dari janin tersebut setelah kamu menandatangani surat ini. Kalau boleh jujur, selama ini aku bahagia dan cinta aku nyata untuk kamu. Tapi, aku nggak tahu kalau kamu sememaksa itu untuk bersamaku." Ia melepaskan pelukannya. "Semoga bahagia, Anya. Aku melepasmu." Setelahnya, Dirga membiarkan wanita itu pergi untuk selamanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel