Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

Setelah puas bermain, Anya membawa puteri beserta Bi Narti ke sebuah restoran berkelas. Anya menyuruh Bi Narti memesan makanan sesuka hati karena wanita itu akan membayarnya berapapun harganya. Anya orang yang royal, tapi dia juga realistis. Bahkan, Anya sudah menyiapkan tabungan tersendiri untuk masa depan putrinya.

Sasa memilih beef steak dengan saus lezat yang membuat mulutnya belepotan. Bi Narti sendiri masih bingung memilih makanan yang terlampau banyak di menu disaat Sasa nyaris menghabiskan steak-nya.

"Non, saya mau pesan terasi Italia," tunjuk Bi Narti pada menu membuat Anya langsung terbahak.

"Bi, ini Italia Tiramisu. Tiramisu itu kue bukan terasi." Anya menggelengkan kepalanya. "Mending Bibi pesan ini aja nih, ada nasinya," tunjuk Anya pada menu Nori Plum Rice Wrap. "Kan Bibi suka sayur."

"Bisa makan pakai tangan nggak, Non? Soalnya saya alergian sendiri makan kayak mereka." Bi Narti menunjuk beberapa orang yang makan menggunakan pisau, garpu, dan sebagainya.

Anya menggelengkan kepalanya, "Sebisanya Bibi saja." Kemudian ia memesan makanan untuk Bi Narti pada pelayan.

"Bi, saya ke toilet dulu ya? Titip Sasa bentar."

Saat melihat Anya hendak beranjak. Sasa langsung mengulurkan tangannya. "Ikut Mama."

"Mama cuma sebentar, Sayang. Kamu sama Bi Narti ya?"

Sasa terdiam. Kemudian mengangguk. "Sebentar?"

"Iya, Mama nggak lama." Anya mengelus rambut puterinya sebelum beranjak ke toilet untuk menghindari dua orang yang baru saja masuk ke dalam restoran sambil berangkulan. Membuat dadanya sesak seketika.

Anya menatap dirinya sendiri di kaca besar toilet. Mengepalkan tangannya erat saat rasa sakit itu mencuat ke dadanya. Tidak hanya dua orang itu, bahkan Anya melirik mereka sedang melakukan pertemuan keluarga.

Ia sedikit menyesal telah memilih restoran ini. Dari ratusan restoran berkelas kenapa mereka harus mengadakan pertemuan disini? Mama dan Papanya juga terlihat, namun Anya bersyukur karena keberadaannya tidak diketahui sama sekali.

Seseorang masuk ke dalam toilet membuat Anya langsung menghapus air matanya. Ia berbalik dan tertegun melihat wanita paruh baya yang sudah mengacaukan hidupnya.

"Tch!" decih wanita bernama Maria yang merupakan Ibu kandung dari Dirga saat melihat Anya tepat dihadapannya. "Saya pikir kamu orang yang cerdas. Tapi, tidak! Kamu menguntit anak saya, hah?!"

Anya tersenyum getir. "Saya tidak sama sekali menguntit anak Anda."

"Perempuan tidak punya asal-usul sepertimu memang tidak tahu diri! Saya suruh kamu meninggalkan Dirga untuk selamanya. Dan apa ini? Kamu kembali lagi sekarang karena ingin Dirga melihatmu, mencari perhatiannya kembali, hah?!"

Anya menggeleng dan menahan rasa sakit yang terus menghujam dadanya. "Tidak! Saya tidak sama sekali mencari perhatian siapapun." Tegasnya namun hanya senyuman ejekan yang didapat Anya dari mertuanya itu.

"Kalau kamu tidak menguntit anakku, lalu apa? Dirga akan menikah dengan seseorang yang derajatnya setara dengan kami. Malam ini, kami akan mempercepat pernikahan mereka, jadi, saya minta kamu jauh-jauh dari anak saya!" Setelahnya, Maria meninggalkan Anya yang kembali terisak keras.

***

"Jadi, kalian mau pernikahan dipercepat?" Fahri menatap pasangan di depannya menggoda. "Sudah tidak tahan, Dirga?"

Shela merona malu. "Papa, hentikan!" ujarnya sedikit mendelik, menatap Papanya kesal.

Dirga tersenyum, kemudian menggenggam lengan Shela dengan hangat. "Aku ingin memiliki Shela seutuhnya, Pa." Panggilan Papa memang sudah disematkan Dirga karena orang tua Shela yang meminta.

"Ah, kalian buat Papa iri saja." Kali ini Adam bergumam yang merupakan orang tua Dirga. "Papa melamar Mamamu saja tidak seperti ini."

"Itu karena kamu memang nggak punya sisi romantis!" sungut Maria sekembalinya dari toilet. "Mama selalu berharap kalau Dirga nggak memiliki sifat Papanya," ujar Maria pada Shela.

"Jangan membuka kartu as-ku, Sayang."

Semua terkekeh, sebelum Nadia bergumam. "Jadi, pernikahan kalian dimajukan dua minggu? Undangan dan semuanya sudah siap. Kalian hanya tinggal fitting pakaian."

"Besok aku temani Shela untuk fitting." Dirga menatap calonnya dengan sayang. "Kamu besok kosong kan?"

Shela mengangguk malu-malu.

"Baiklah. Sekarang kita makan dulu dan melanjutkan percakapannya nanti," gumam Adam saat melihat pelayan mengantarkan pesanan mereka.

***

"Mama bohong. Tadi sebentar, tapi lama." Sasa berwajah cemberut menatap Ibunya yang baru saja habis dari toilet. Wajahnya sedikit memerah akibat tangisan.

Anya tersenyum, kemudian membawa Sasa ke dalam pangkuannya. Ia bersyukur karena dua keluarga itu memilih ke tempat privat hingga dirinya tak terlihat oleh mereka.

"Non, enak banget." Bi Narti bergumam sambil menampilkan jempolnya yang kotor akibat makan mengenakan tangan. Ia bahkan tidak peduli melihat beberapa orang kini tersenyum melihatnya.

"Enak dihabiskan, Bi." Anya mengelap mulut Sasa dengan tisu basah juga kedua tangan mungil tersebut. "Setelah ini kita pulang ya? Mama nggak mau nanti tengah malam kamu rewel karena kecapekan."

Sasa mengangguk tak acuh.

"Bi, besok pagi saya ke rumah sakit dan pulang sore. Buat sop daging aja untuk lauk Sasa, banyakin wortelnya. Kalau bisa dagingnya yang empuk. Kasian Sasa takut digigit nanti keras karena giginya belum tumbuh sempurna."

Bi Narti mengangguk. "Iya, Non. Nona sendiri mau saya masak apa?"

"Buat capcai saja untuk saya. Karena saya cuma makan malam."

Bi Narti kembali mengangguk-angguk dan kini ia hanya melihat percakapan majikannya dengan putrinya.

"Sudah, Sayang? Yuk, kita pulang. Yuk, Bi."

Anya membawa kedua orang itu ke mobil setelah membayar makanan mahal mereka. Ia menjalankan sedan terbaru miliknya menuju komplek perumahan elit yang ia beli selama ia bekerja sebagai dokter. Setidaknya, penghasilannya ini tidak akan membuat Sasa kelaparan karena apa yang dicarinya hanyalah untuk putrinya seorang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel