Bab 5
"Aku lihat akhir-akhir ini kamu kayak lagi banyak pikiran." Shela memegang dahi Dirga lalu mengelusnya lembut. "Dahi ini berkerut terus. Ada apa, hm?"
Tangan Dirga menangkap pergelangan kekasihnya. Wajahnya tersenyum manis. Ia mengecup lengan Shela penuh kelembutan. "Aku hanya memikirkan pernikahan kita."
Shela yang berbaring disamping tunangannya langsung terduduk. Tangannya bersedekap dan matanya menyipit. "Ada apa dengan pernikahan kita? Kamu mau nunda?"
Dirga tersenyum misterius sebelum menyelesaikan kegiatan apa yang telah ia mulai bersama Sheila.
***
"Mama, mandi." Sasa berwajah cemberut melihat Anya yang sibuk sendiri tanpa memperdulikannya. Sudah sejak tadi Sasa ingin mandi namun Anya masih saja berkutat dengan laptopnya membuat Sasa seketika sebal. "Mama.... Mandiii," rengeknya kuat nyaris menangis.
"Sayang, kamu sama Bi Narti dulu. Kerjaan Mama belum selesai."
Sasa langsung menggeleng kuat-kuat. Air matanya siap tumpah dan tak lama jeritan melengkingnya langsung terdengar, memekakkan siapapun.
"Astaga..." Anya menyingkirkan laptopnya kemudian menghampiri putrinya. Ia memeluk dan menggendong putrinya. "Maaf, Sayang. Mama sibuk tadi. Ayo, sekarang kita mandi."
"Nggak mau! Huaaa." Sasa menangis kencang. Menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Sasa nggak mau sama Mama," teriaknya sambil memukul Mamanya dengan kepalan mungilnya.
Beberapa kali kepala Anya menghindar serangan anaknya. Ia mengunci kedua lengan Sasa dan bergumam pelan. "Hey, Sayang... Look at me! Sasa, dengerin Mama."
Seketika Sasa terdiam. Hidungnya memerah, pipi gembulnya basah dengan mata berkaca-kaca.
"Sasa marah sama Mama?" Anya bertanya dengan nada lembut saat melihat putrinya masih sesenggukan. "Sasa nggak sayang Mama lagi, hm?"
Sasa melihat Mamanya sedih, lalu menggeleng. "Sasa sayang Mama. Tapi, Mama nggak sayang Sasa." Bibirnya mengerucut lucu.
Anya tersenyum kecil, mendudukkan puterinya di atas tempat tidur. "Kalau Mama nggak sayang Sasa, Mama pasti mukul Sasa. Mama pasti nggak pernah kasih Sasa makan, bener?"
Seketika, Sasa berpikir. Otak cerdasnya berputar dan tak perlu menunggu waktu lama, ia mengangguk. Mengulurkan kedua tangan mungilnya pada Anya kemudian memeluk leher Anya erat.
"Sasa sayang Mama."
Anya membalas pelukan anaknya. Mengelus punggung mungil Sasa. "Kalau sayang, kita mandi sekarang yuk? Nanti malam kita jalan-jalan. Mau kan?"
"Mau mau mau." Sasa menyahut riang. "Ajak Bibi ya Ma." Bibi yang Sasa maksud adalah Bi Narti.
"Iya, kita ajak Bibi."
***
"Bi, nanti malam menginap disini saja ya? Saya mau ajak Sasa dan Bibi jalan-jalan." Anya bergumam saat melihat Bi Narti lewat sambil membuat susu milik Sasa.
"Jalan-jalan? Boleh, Non. Sudah lama saya juga nggak jalan-jalan. Nggak ada yang ngajak soalnya." Wanita paruh baya itu terkekeh pelan. "Anak saya juga nanti malam nginap dirumah neneknya."
"Oh ya?" Anya menaruh air hangat ke dalam gelas mungil berbentuk kelinci yang sudah diisi susu bubuk. "Berapa lama?"
Bi Narti mengelap meja yang baru saja digunakan untuk makan siang. "Kayaknya satu minggu."
"Ya sudah, Bibi tinggal disini saja. Daripada sendirian dirumah, entar tiba-tiba ada yang nemenin kan serem."
"Ah, Non Anya! Jangan takutin saya begitu deh." Bulu kuduk Bi Narti seketika berdiri. "Kan saya merinding jadinya."
Tawa merdu Anya terdengar santai. "Saya bercanda. Lagian, masih percaya aja sama begituan."
Bi Narti menahan napas. "Non, kita nggak boleh sombong begitu. Ntar didatengin lho! Lagian hantu-hantu itu bener ada kok."
Setelah mengaduk susunya, Anya menatap Bi Narti sambil tersenyum kecil. "Bi, hantu itu nggak ada. Yang ada hanya setan yang menjelma hantu untuk menakuti manusia. Makanya, sering-sering istighfar deh. Shalat jangan tinggal."
"Iya sih, Non. Saya masih sering tinggal shalat," gumam Bi Narti pelan. "Susah banget untuk mulai padahal shalat kan kalau dihitung nggak sampai lima menit ya?"
Anya mengangguk. "Benar. Tapi ya Bi, akhir-akhir ini saya berpikir untuk mengenakan hijab. Tapi, saya masih ragu."
"Alhamdulillah kalau non mau pakai hijab. Itu tandanya Non dapat hidayah dari Yang Kuasa."
Anya mengangguk. "Saya masih butuh penguat dan shalat istikharah untuk meyakinkan hati saya, Bi," gumamnya sebelum mengambil susu yang telah jadi. "Bi, saya kasih susu Sasa. Bibi jangan lupa entar malam ikut kita ya? Sekalian makan diluar sesekali."
"Sip, Non," gumam Bi Narti sambil melihat punggung Nonanya yang tampak begitu rapuh. Memandang sedih karena Anya merupakan wanita luar biasa yang kuat walau harus menghidupi anaknya dengan kedua tangannya sendiri. Lelaki bodoh yang meninggalkan Anya begitu saja. Bi Narti berdo'a agar Anya dapat diberikan lelaki baik yang mau menerima setiap kekurangan wanita itu.
***
Anya sudah bersiap dengan putrinya untuk pergi membawa Sasa bermain serta makan malam. Ia hendak mengambil kunci mobil di atas meja namun sebuah foto usang itu terlihat di matanya. Foto dimana ia masih sangat anak-anak dan seorang pria bertubuh lebih tinggi darinya sedang memayunginya.
Ia tersenyum kecil membayangkan masa itu namun sayang laki-laki itu pergi tanpa kabar meninggalkannya tanpa pamit dan mungkin mereka tidak akan pernah bisa berjumpa untuk selamanya sampai akhirnya ia bertemu dengan Dirga. Sosok yang pada akhirnya juga menghancurkannya, meninggalkannya, dan mengkhianatinya.
"Ma, Sasa sudah selesai."
Anya menghapus air mata yang tergenang di sudut matanya lantas tersenyum sambil menatap putrinya. "Ayo, Sayang. Kita panggil Bibi."
"Ayo, Mah."
