Bab 11
“Mama,” panggil Sasa saat melihat Ibunya baru saja pulang bekerja. Sudah beberapa hari ini Anya pulang larut mengingat jadwalnya yang cukup padat. Kecelakaan dimana-mana hingga ia banyak menghabiskan waktu di rumah sakit bersama pasien daripada anaknya sendiri.
Anya menyambut Sasa dengan hangat. “Hai, Sayang. Kenapa belum tidur?”
“Sasa kangen Mama.” Gadis itu meletakkan kepalanya di ceruk leher Anya dan menghidu aroma sang Ibu yang menenangkan.
“Maaf ya sayang,” gumam Anya sambil terus menggendong Saasa membawa anaknya ke dalam kamar. “Mama kerja kan buat Sasa juga.”
“Hmm,” jawabnya sebelum napas teratur Sasa menjadi kalimat penutup tidurnya yang lelap.
Anya tersenyum kemudian membaringkan puterinya di atas ranjang besar miliknya. Menaikkan selimut pada anak gadisnya lalu mengecup dahi Sasa dengan lembut. “Sleep tight, baby,” bisiknya sebelum beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Anya kembali ke ranjang setelah mengenakan dress tipis selutut tanpa lengan. Memeluk puterinya dengan sayang sambil menatap wajah puterinya yang mirip dengannya. "Mama nggak mau kamu pergi dari sisi Mama, Nak."
Anya kembali mengingat telepon dari orang tuanya. Menyuruhnya datang pada sehari sebelum hari H pesta pernikahan Kakaknya. Mungkin setelah ini hatinya hanya akan ditumpuknya pada Sasa mengingat sebagian hatinya telah dibawa oleh pria bernama Dirga. Pria yang akan menjadi suami Kakaknya sekaligus iparnya.
Seketika, Anya tersenyum miris. Inikah nasibnya? Namun, Anya bersyukur karena ia masih memiliki Sasa disisinya. Sasa yang menjadi penguatnya selama ini. Ocehan cadelnya, gerak riangnya, wajah cemberutnya, senyumnya membuat Anya terus menaruh harapan pada puterinya. Dan sejak ia melahirkan, Anya sudah berjanji tidak akan membiarkan siapapun tahu termasuk Ayah dari anaknya sendiri.
***
Pagi ini Anya bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan buat sang buah hati. Setelah menyiapkan roti bakarnya dengan selai coklat kesukaan puterinya, Anya membangunkan Sasa.
"Sayang, bangun." Sasa melenguh pelan, badannya bergerak memunggungi sang Ibu membuat Anya tersenyum kecil. "Wake up, sweetheart."
"Eengh."
Anya masih tidak menyerah. Ia mencoba meniup telinga Sasa membuat gadis kecil itu mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya terbuka lebar. Menatap Mamanya bingung sebelum tersenyum dan berseru.
"Mama."
"Ayo, kita mandi.."
Sasa mengangguk. Membiarkan Mamanya melepas seluruh pakaiannya lalu membawanya ke kamar mandi dan memandikan dirinya.
"Nanti sore Mama pulang cepat dan kita makan bersama ya? Mama masak buat kamu."
"Iya, Mama. Sasa juga masak sama Mama." Sasa memang suka sekali menemani Anya memasak, terkadang ia hanya memetik asal sayuran ataupun memotong dengan pisau membuat Anya seketika harus menjauhkan pisau dari jangkauan puterinya.
Tidak jarang pula Anya mendapati Sasa sedang mencampur adukkan vanilla dan srikaya, tepung dam bahan-bahan lainnya saat Bi Narti hendak membuat kue.
Sepertinya, Sasa memiliki bakat menjadi chef. Pikir Anya seketika.
***
Undangan pernikahan yang sampai ke departemen bedah saraf para dokter langsung mengucapkan selamat kepada calon mempelai pria. Dirga tersenyum dan menanggapi dengan santai ucapan satu persatu yang ditujukan untuknya. Bahkan, para perawat yang tak menerima undangan pun tahu bahwa dokter incaran setiap wanita itu akan menikah dan kesempatan itu mereka gunakan untuk mendekati Dirga. Mengucapkan selamat sambil flirting.
Anya berusaha tersenyum di depan para dokter lainnya. Melangkah mendekati Dirga lalu mengulurkan tangannya. “Selamat, dok.” Adalah kalimat yang tidak pernah Anya bayangkan untuk diucapkan kepada mantan suaminya mengingat mereka sudah resmi bercerai. Kenangan yang selama ini mereka jalani menguap begitu saja. Anya terus tersenyum walau sudut matanya mulai berair.
Dirga terdiam sekilas. Menilai raut wanita itu sebelum membalas uluran tangan Anya dan menggenggamnya erat. “Terima kasih, dokter Alara,” balasnya datar sambil terus menatap wanita yang selalu ada di hatinya itu.
Dengan cepat Anya melepaskan genggamannya kemudian pamit. “Kalau begitu saya permisi.”
Tanpa menunggu jawaban, Anya segera berlalu dari ruang dimana mereka sedang berkumpul untuk merayakan pernikahan dokter Dirga.
Air mata yang sedari tadi tertahan langsung mengalir deras saat Anya masuk ke dalam ruangannya. Dadanya terasa sesak mengingat pernikahan sang Kakak dengan mantan suaminya. Bahkan, perkataan sang Ibu semalam di telepon sudah mengingatkannya untuk datang sehari sebelum hari H.
Tok. Tok. Tok.
Tubuh Anya menegang. Ia segera mengambil tisu dan mengelap air matanya. Menetralkan napasnya yang sesak sebelum membuka pintu. Matanya melebar saat melihat Dirga berdiri tepat di hadapannya.
“Hai,” sapanya membuat Anya tertegun. “Boleh masuk?”
Anya masih terdiam sebelum Dirga masuk dengan sendirinya, kemudian mendorong pintu itu dari belakang Anya hingga tertutup rapat. Tubuh Anya masih membatu karena Dirga tidak beranjak dari belakang punggungnya. Bahkan, Anya dapat merasakan napas Dirga di ubun-ubunnya.
“Mungkin setelah ini kita nggak akan bisa seperti ini lagi.” Dirga bergumam pelan sebelum kedua lengannya melingkar erat di perut rata Anya. Mengecup leher jenjang Anya dengan lembut. “Ucapan selamatmu menyakitiku, Anya,” bisiknya pelan.
Jantung Anya kian berdetak kencang dengan kelakuan Dirga. Air matanya seketika mengalir. Anya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat berusaha untuk tidak terisak. “Cepat atau lambat, aku tetap harus ucapin untuk kamu dan Kak Shela,” balasnya lemah. “Kamu nggak boleh kayak gini lagi, Ga.”
Dirga membalikkan tubuh Anya. Menatap sendu pada wajah cantik yang berlumuran air mata. Menghapusnya lembut sebelum membawa kepala Anya untuk bersandar di dadanya dan mendekap tubuh Anya erat. “Menangislah, Sayang. Menangislah semaumu, jadikan aku tempat terakhirmu bersandar.”
Anya langsung menangis sejadi-jadinya. Meluapkan emosi yang beberapa tahun ini tertahan di dadanya. Menggengam erat jas dokter yang Dirga kenakan dan dengan sabar Dirga mengelus rambut Anya yang lembut yang selalu menjadi favoritnya. Mencium ubun-ubun Anya dengan penuh sayang hingga tanpa sadar, ia ikut mengeluarkan air mata dari kedua sudut matanya. Menatap sedih dan mendengar sakit akan tangisan pilu wanitanya.
Setelah beberapa menit menunggu, Anya lebih bisa menguasai dirinya. Ia masih berdiri tepat di hadapan Dirga.
“Kamu mau habisin waktu seharian ini sama aku?” tanya Dirga sambil memindahkan anak rambut Anya ke belakang telinga. “Anggap aja kencan terakhir kita,” sambungnya kemudian.
Haruskah? Tanya Anya dalam hati.
“Anya,” Dirga kembali memanggil saat tidak ada sahutan dari wanita itu.
Perlahan Anya mengangguk. Mungkin ini kesempatan terakhirnya untuk bisa bersama pria itu.
Maafin aku, Kak… Bisiknya dalam hati untuk sang kakak mengingat ini adalah terakhir kali mereka bertemu dan perpisahan ini semoga berakhir baik tidak seperti dulu, dimana mereka masih menyimpan rasa sakit itu bertahun-tahun lamanya
“Kamu siap-siap. Aku tunggu di parkiran.” Setelahnya Dirga tersenyum lalu keluar dari ruangan Anya. Membiarkan wanita itu mengemasi barangnya.
