Bab 10
Pagi ini, Anya kembali ke rumah sakit menuntaskan kewajibannya sebagai seorang dokter. Kemarin benar-benar melelahkan karena ia harus membantu orang tuanya dalam menyiapkan pesta pernikahan sang Kakak. Untung saja ketika Anya pulang dan mengambil Sasa di tempat Dela, gadis kecilnya sudah tertidur lelap mengingat hampir jam 11 malam Anya sampai.
Mama dan Papanya memaksa Anya untuk menginap, namun Anya menolak secara halus. Lagipula, tidak mungkin ia membiarkan Sasa tidur sendirian. Anya hanya takut jika Sasa mencarinya tengah malam.
Saat memasuki lobi rumah sakit, Anya melihat Dirga yang sedang berbicara dengan dokter Lukas. Setelahnya, ia melihat dokter Lukas pamit lmeninggalkan Dirga yang kini mengecek ponselnya. Jantungnya bertalu cepat dan terus menatap Dirga.
Seolah merasa diperhatikan, Dirga menatap Anya sekilas lalu membuang wajahnya dan berjalan lurus seolah mereka tidak saling kenal.
Keputusan ini sudah tepat! Anya berbisik dalam hati. Ia yang memutuskan seperti ini, maka dia harus kuat. Ternyata move on tidak semudah yang dipikirkan. Menghela napas pelan Anya beranjak ke ruangannya dan menenangkan pikirannya sebelum mulai memeriksa pasien.
Hari ini mereka memiliki jadwal operasi dan lagi-lagi Anya harus berhadapan dengan Dirga yang merupakan ketua team operasi mereka. Apakah Anya sanggup? Atau dia harus keluar dari team-nya dan mencari team baru?
Anya menggelengkan kepalanya. Jika dia tidak ingin berjalan di tempat, maka Anya harus menghadapi Dirga. Setidaknya ia bisa kembali memasang pertahanan yang telah disiapkan beberapa tahun ini.
***
"Apa yang kalian lihat?" Dirga bertanya pada beberapa dokter junior serta anak koass.
Ia mengadakan pertemuan sebelum operasi dilakukan. Dalam ruangan tersebut terdapat beberapa orang, Anya ikut serta di dalamnya tapi dia hanya ingin mengetahui penyakit seperti apa yang harus di operasinya. Untuk sementara ini, Anya memang harus mengesampingkan perasaannya pada pria itu.
Anya menaikkan sebelah alisnya, melihat tidak ada yang menjawab. Ia menghela napas dan menjawab datar. "Meningioma dekat tulang sphenoid." Anya kembali memperhatikan hasil rontgen didepannya tanpa memperdulikan beberapa tatapan yang kini menatapnya. "Ukurannya cukup besar," sambungnya lagi.
Dirga mengangguk lalu menatap para junior dan anak koass dengan tajam. "Kalian pelajari ini!"
"Baik, dok," sahut mereka bersamaan sebelum keluar ruangan meninggalkan Anya dan Dirga.
Anya yang masih tidak sadar ditinggal berdua dengan Dirga memilih untuk terus memperhatikan hasil rontgen. Sesekali, wajahnya berkerut seolah berpikir membuat Dirga yang memperhatikan dirinya merasa gemas. Namun, dia harus menahan diri karena tidak ingin kembali mendapat penolakan.
"Ehm," gumamnya pelan untuk menarik perhatian Anya. "Dia bisa saja kehilangan penglihatan dan lumpuh karena lokasinya dekat dengan syaraf optik dan syaraf motorik."
Anya mengangguk membenarkan. "Hmm. Sepertinya ini gejala pertama pasien generalized tonic-clonic."
Dirga menatap kagum pada Anya yang sekarang. Wanita ini sudah tumbuh dewasa dan pintar. Dulu, ia bahkan tidak menyangka jika Anya akan menjadi dokter sukses seperti ini.
"Aku pengen jadi dokter kayak kamu. Sukses terus bisa banggain orang tua," gumam Anya kala itu sambil menyandarkan kepalanya di bahu Dirga.
Dirga balas merangkul bahu Anya. "Kamu akan jadi orang yang sukses. Buktinya IPK kamu diatas 3,5 kan?"
Perlahan Anya mengangguk. "Tapi, beda sama kamu yang IPKnya 4 terus."
"Aku lebih suka kamu nggak kerja. Ngurus aku dan anak kita aja kelak."
Anya mengerucutkan bibirnya. Membuat Dirga gemas lalu menarik hidung mancung Anya.
"Sakit!" Ia memukul pelan tangan Dirga lalu mengelus hidungnya. "Kalau aku nggak kerja aku nanti nggak bisa belanja sesuka hati," kekehnya.
"Uang aku sepenuhnya milik kamu, Nya. Jadi, bebas mau kamu apain aja."
"Beneran?" Anya bertanya menggoda.
Dirga mengangguk mantap. "Apapun untuk kamu."
"Ehm, kalau begitu saya permisi untuk siap-siap," ucapan Anya membuyarkan lamunan Dirga. Tanpa menunggunya menjawab, Anya langsung keluar membiarkan Dirga mengamati punggungnya yang menjauh lalu hilang di balik pintu.
Menarik napas dalam-dalam sebelum kembali melihat hasil rontgen dengan tatapan kosong. Pernikahannya hanya tinggal menghitung hari dan dia benar-benar harus bisa melupakan Anya karena bagaimanapun, ia tidak lagi bisa meninggalkan Shela yang sudah pernah disentuhnya.
***
"Operasi kali ini adalah operasi pertarungan melawan waktu. Mari bertahan bersama pasien dalam operasi yang panjang ini," gumam Dirga sebelum duduk di dekat kepala pasien. Menatap satu persatu anggotanya sebelum berujar,
"Messer nomor 20." Dirga memintanya pada seorang dokter juniornya.
Pria itu mulai membedah isi kepala dari wanita dengan penyakit meningioma tersebut.
"Lakukan hisapan saat saya mulai."
"Baik, dok," jawab Anya patuh sambil memerhatikan Dirga yang sedang membedah kepala tersebut. Ini pertama kalinya Anya berada satu team dengan pria itu dan pertama kali pula Anya melihat seorang Dirga yang telaten melakukan operasi.
Operasi terus saja dilakukan dan sesekali Anya melirik jam untuk melihat waktu yang tersisa bagi mereka.
"CUSA."
"Bipolar."
"Cottonoid."
Dirga terus meminta apa yang diperlukannya. Dengan kosentrasi penuh ia berusaha untuk menyelamatkan wanita pasien paruh baya tersebut.
"Lakukan penghisapan disini," titahnya pada Anya.
Operasi ini memakan cukup banyak waktu. Enam jam sudah berlalu namun mereka masih belum keluar.
"Lap keringat saya." Dirga memberi perintah pada seorang perawat. "Cukup," ujarnya lalu kembali melanjutkan operasinya.
"Ring curette." Alat yang digunakan untuk memindahkan tumor. Bentuknya seperti cincin namun melekat pada pegangan dan memiliki tepi yang tajam. "Ambil."
Anya mengambil sebuah wadah plastik kecil lalu mengulurkannya pada Dirga dan meletakkan tumor yang melekat pada Ring Curette sebelumnya.
Beberapa kali mereka melakukan pemindahan tumor tersebut membuat mereka harus beristirahat barang lima menit sebelum kembali melanjutkan operasi.
Hampir dua belas jam mereka berada di ruang operasi membuat Anya terus memikirkan Sasa yang mungkin sedang mencarinya saat ini.
"Kita berhasil," ucapan Dirga membuat mereka semua tersenyum dan menghela napas lega. Dirga melirik Anya sekilas yang sedang memperhatikannya menutup tengkorak. "Istirahat saja dulu. Baru kamu selesaikan ini."
Anya menatap Dirga dengan jantung berdebar. Padahal itu hanya perhatian kecil, namun mampu membuat hatinya menghangat. Tanpa Anya sadari, ia mengangguk sebelum beristirahat untuk menjahit kembali kepala wanita paruh baya tersebut.
Ya, mungkin sedikit demi sedikit mereka bisa memperbarui hubungan walau bukan suami istri setidaknya mereka bisa berteman. Lagipula, suatu saat entah kapan pun itu, Sasa tetap akan mencari tahu siapa Ayah kandungnya dan saat itu ia berharap bahwa Sasa sudah dewasa dan Dirga sudah bisa menerima semuanya.
Karena bangkai yang disimpan serapat mungkin, baunya akan tetap tercium. Begitu pula dengan Sasa, tidak selamanya ia bisa menyembunyikan Sasa dari Dirga ataupun sebaliknya karena hubungan darah mereka tetap lebih kuat dari apapun.
