Bab 12
“Kita kemana?” tanya Anya saat keduanya keluar dari pelataran rumah sakit. Anya menaiki mobil Dirga karena pria itu yang memintanya. Sepanjang jalan Dirga tidak pernah melepaskan jemari kirinya dari jemari Anya, menautkan satu sama lain kecuali jika ia ingin memasukkan persneling.
“Mengenang masa lalu?” tanya Dirga sambil tersenyum kemudian melajukan mobilnya ke tempat dimana mereka biasa menghabiskan waktu.
Menempuh waktu sekitar dua jam beserta macet, akhirnya Dirga membawa Anya ke sebuah danau dimana mereka sering menghabiskan waktu bersama. Danau itu terlihat lebih indah dengan tambahan dekorasi. Anya seketika tertegun dan berdiri tepat di depan danau.
Dirga yang baru saja turun dari mobil menatap punggung Anya yang tampak menegang. Mendekati Anya kemudian mengelus kedua lengan Anya dan berbisik dari belakang.
“Jangan tegang, Sayang. Kita bersama disini.” Kemudian, ia merangkul Anya, membawa wanita itu mendekati danau. Duduk tepat di bawah pohon yang pernah menjadi saksi bisu cinta keduanya.
Anya melirik pohon itu dan mendapati nama mereka berdua yang masih terukir disana. Senyumnya mengembang kemudian menatap Dirga. “Kamu sering kesini?”
Dirga mengangguk. “Dua tahun pertama aku sering kesini. Dua tahun setelahnya mulai jarang karena aku nggak mau terus mikirin kamu yang belum tentu mikirin aku.”
“Bodoh!” balas Anya yang hanya dibalas senyuman oleh Dirga.
Pria itu membawa Anya untuk duduk di sampingnya. Membiarkan kepala Anya bersandar di bahunya seperti dulu dengan Dirga yang mengelus rambut Anya. Menatap danau yang indah berwarna hijau dan biru.
Tiba-tiba saja, ponsel Anya berbunyi menandakan video call dari tab puterinya. Seketika tubuh Anya menegang hingga suara Dirga bergumam pelan, “Siapa?”
“Bukan siapa-siapa.” Anya mematikan ponselnya dan meminta maaf dalam hati kepada puterinya karena telah mengingkari janji mereka. Tak lama setelah itu, ponselnya kembali berbunyi. “Sebentar ya?” pintanya pada Dirga.
Dirga menggeleng. Menangkap lengan Anya agar tetap berada di sampingnya. “Angkat aja disini. Aku nggak ganggu.”
Seketika Anya memaki dalam hati dan mengangkat panggilan dari putrinya. Wajah Bi Narti lebih dulu terlihat. “Non dimana? Nona Sasa nggak mau makan dari tadi nanyain Non.”
Anya menegakkan badannya dan bertanya panik. “Lho, Bibi nggak bilang saya kerja?” Anya memang tidak sempat pamit tadi pagi pada putrinya.
“Sudah, Non- Eh? Mama.” Tiba-tiba wajah Bi Narti terganti dengan wajah puterinya yang menangis dengan mata membengkak.
Anya memelototkan matanya tidak percaya. Apalagi dengan Dirga yang sudah menatapnya tajam sekaligus penasaran. Mengabaikan tatapan Dirga, Anya bergumam pelan. “Kenapa kamu nggak makan?”
“Sasa mau makan sama Mama. Bibi masak sayur asem, Ma. Sasa nggak suka,” rengeknya nyaris menangis.
Menghela napasnya pelan dan bergumam. “Ya udah, bentar lagi Mama pulang, kita makan di luar ya?”
Seketika wajah binar Sasa membuat hati Anya menghangat. “Beneran, Ma? Pizza ya, Ma?”
Anya langsung menggeleng. “Nggak sayang! Mama nggak mau kamu makan junk food lagi. Yang lain ya?”
“Iya deh.” Sasa menjawab pelan karena kecewa tidak dibiarkan memakan makanan kesukaannya. “Bye, Ma.”
“Bye, Sayang. Love you…”
“Love you too, Mama. Mmuach.” Sasa melakukan kiss bye dari jauh, lalu ponselnya menandakan bahwa panggilan terputus. Anya tersenyum dan menggelengkan kepalanya sebelum suara Dirga terdengar,
“Kamu udah punya anak?”
Seketika raut wajah Anya menegang. Ia bahkan lupa bahwa Dirga berada di sampingnya dan sedang melakukan kencan terakhir mereka.
Anya mengangguk. “Hmm, Sasa anak angkatku, Ga.”
“Anak angkat?” tanya Dirga tidak percaya.
“Please… Kita kesini bukan bahas tentang anakku kan? Sebaiknya gunakan waktu yang tersisa, Ga. Dan kuharap setelah ini perasaan kita sama-sama bisa lepas,” gumam Anya pahit karena pada dasarnya perasaan itu takkan pernah bisa lepas.
Dirga mengangguk. "Setelah ini, aku harap hidup kamu tenang, Nya. Aku juga akan pindah ke rumah sakit pusat biar kita jarang ketemu," gumamnya pelan. "Aku tahu, makin sulit buat melangkah maju sementara kita sering ketemu." Dirga menarik napas dalam-dalam. Mencoba membiarkan rasa sesak itu memenuhi dadanya. "Aku cinta kamu. Masih sama dan akan selalu sama."
Anya menatap Dirga tidak percaya. Menarik napas dalam-dalam sebelum bergumam. "Cinta kamu nggak sesempurna dulu," ujarnya pelan. "Aku tau, sebagian hati kamu udah terganti sama Kak Shela." Ia kembali menatap manik coklat milik Dirga. "Bener kan?"
Dirga terdiam sebelum menangkup wajah Anya. "Tetap aja cinta ke kamu lebih besar. Aku nggak mau munafik bilang kalau nggak ada rasa sama sekali sama Kakak kamu. Tapi, kamu harus tau kalau cinta aku ke kamu nggak ada bandingannya."
Anya melepaskan kedua kemari Dirga. "Tetap saja berbanding." Menatap kembali danau indah tersebut. "Lupakan tentang cinta untuk sesaat. Aku mau setelah ini kita bener-bener nggak ada apa-apa lagi. Aku nggak mau menyakiti Kak Shela dan juga, jangan pernah katakan bahwa kita pernah menjalin bahkan menikah."
"Anya."
Anya memeluk kedua lututnya. Pandangannya hampa lalu tersenyum tipis. "Kak Shela cinta sama kamu, Ga. Aku tau karena caranya membicarakanmu buat hati aku sedikit lega. Setidaknya kamu dapat yang lebih baik dari aku."
"Anya-"
"Kak Shela juga cerita kalau kalian udah tidur bersama." Nadanya tersekat. Anya mengalihkan pandangannya ke arah lain, tidak membiarkan Dirga kembali melihatnya menangis. "Kamu udah rebut kesucian dia dan kamu harus benar-benar bertanggung jawab. Kamu-"
Ucapan Anya terpotong saat Dirga menangkup wajahnya dan mengulum kembali bibirnya. Anya terdiam, membiarkan pria itu memagutnya sesuka hati sebelum melepaskannya. "Kamu nggak pernah biarin aku bicara sejak tadi. Sekarang, giliran aku yang ngomong!" tegasnya dan ketika melihat Anya diam, Dirga berujar.
"Aku tahu aku salah karena udah tidur sama Kakak kamu. Aku memang nggak menampik dan akan bertanggung jawab padanya. Tapi, kamu harus tahu kalau sejak awal aku melakukannya karena tergoda Anya! Kakak kamu yang lebih dulu memulai. Aku hanya laki-laki normal yang nggak bisa tahan nafsu apalagi setelah kita pisah. Bayangan aku, Shela itu kamu dan aku terus membayangkan hal tersebut walau aku merasa bersalah padanya."
Anya tersenyum miris. "Jangan mencari gara-gara dengan menyalahkan Kak Shela, Dirga."
"Nggak, Anya! Aku cuma jelasin ke kamu. Kamu tau, aku cuma sayang sama kamu! Buktinya, aku bisa tahan nafsu aku sampai kita menikah kan?"
Seketika Anya berpikir. Memang yang dikatakan Dirga benar, tapi, dia juga tidak bisa terus berlarut dalam cinta yang akan berakhir ini.
"Ga, kita udah selesai. Nggak ada yang perlu kamu jelasin."
Dirga menarik napas dalam-dalam kemudian menunduk menatap rerumputan sebelum bergumam, "Kamu bener, kita udah selesai. Tapi, perasaan aku ke kamu nggak pernah selesai."
"Kamu pasti bisa lupain aku karena Kak Shela orang yang mudah untuk dicintai. Perlahan Ga, pasti bisa apalagi kamu juga mulai jatuh cinta sama dia sebelum ada aku kan?" Anya tersenyum kemudian berdiri. "Sudah waktunya aku pulang. Kencan kita udah berakhir. Selamat menempuh hidup baru, Dirga."
Dirga menyusul Anya berdiri. Menatap lekat wajah mantan isterinya. "Hmm, kamu juga harus bahagia. Walau aku nggak rela kalau ada pria lain yang mendekatimu."
Anya tersenyum lebar. "Kamu harus rela, Abang Ipar."
"Ck," Dirga berdecak. "Aku harap kamu sering main ke rumah Mama, biar kita sering ketemu."
Anya menaikkan sebelah alisnya. "Dan biarin kamu goda aku lagi didepan mertua sama istrimu? Nggak akan Dirga."
"Aku tau, kamu nggak akan pulang." Dirga kembali menarik Anya dalam pelukannya. "Bahagialah Anya. Maaf atas semua kesedihan yang aku kasih ke kamu."
"Aku juga Dirga. Maafkan aku," karena telah menyembunyikan anak kita.
