BAB 3 - SANGAT INDAH
Mayat bergelimpangan di dasar lantai, aroma darah segar tercium kuat di dalam ruangan perjudian, dan hanya menyisahkan sekelompok pria bersenjata yang sedang memeriksa mayat satu-persatu. Mereka bahkan mengambil semua barang berharga milik mayat-mayat yang bergelimpangan.
Pavlo yang duduk santai menyesap rokoknya dan menaikkan kedua kakinya di atas meja, tidak merasa tergangu akan aroma anyir darah yang menusuk indra penciumannya, dia malah menikmatinya sambil memutar musik sangat keras di ruangan itu.
Amarahnya tidak lagi mengusik perasaanya karna dia sudah menuntaskannya, baginya tidak ada yang bisa menghentikan aksi gilanya. Karna dia suka membunuh orang hanya untuk menuntaskan fantasinya.
Asistennya yang bernama Daniel baru saja menerima telpon, lalu menghampiri Pavlo yang menikmati esapan rokoknya. "Tuan, kita harus menghadiri makan malam ini."
"Aku tidak mau. Katakan saja aku sibuk!" tolak Pavlo.
Asisten itu mengetik ponselnya untuk untuk mengirim pesan, tentang apa yang di katakan Pavlo. "Tuan maaf... Orang tua anda memaksa, mereka sudah menunggu Tuan. Jika tuan kali ini menolak untuk tandatangan, maka Ayah dan ibu tuan akan--"
Pavlo mengepal tangannya lalu memukul meja, ia membuang puntung rokoknya yang masih nyala dan menginjaknya sampai hancur. "Oke, ayo kita pergi!" perintah Pavlo.
Anak buahnya yang lain, seperti biasa mereka harus membersihkan tempat itu dan juga membereskan mayat agar tidak meninggalkan jejak yang bisa saja polisi akan mencari tau kasus menghilangnya mereka, padahal mereka telah di bunuh.
~~~
Riana dan Brian bersulang, mereka menikmati makan malam mereka di restoran elit. Mereka sedari tadi tertawa dan memadu kasih, mereka menjadikan tempat itu seperti milik mereka saja.
Riana berjalan menuju balkon, dimana angin malam terus menerpa dirinya. Karna dia sedang berada di atas gedung restoran. Riana memejamkan matanya menghirup udara dan Brian datang memeluk erat perutnya.
"Apa kau menyukai tempat ini sayang?"
Riana meremas jemari Brian, dan berkata, "Terima kasih, kau selalu membuatku bahagia. Aku juga sangat berterima kasih pada Tuhan karna dia mengirimmu padaku."
Brian membalikkan tubuh Riana, Riana menyentuh pipi Brian setelah itu mereka berciuman begitu sensual. Saat mereka terlalu lama berciuman Riana melepaskan pungutan bibirnya dari Brian, karna wajahnya memerah sedari tadi menahan nafasnya.
Nafas Riana dan Brian memburu, kening dan hidung mereka menyatuh. Brian meneguk ludahnya menetralkan nafasnya sebelum bicara. "Aku tidak sabar ingin menikahimu Riana, aku sangat-sangat mencintaimu."
"Aku juga sangat mencintaimu, jika kau mati. Bawa aku bersama mu." Riana mengungkapkan isi hatinya paling dalam.
Brian mengganggukkan kepalanya. Kedua tangannya menyentuh pipi Riana. "Mari kita buat sumpah Riana, bahwa kita akan bersatu selamanya."
"Ia, mari kita buat sumpah di hadapan Tuhan."
Brian membawa kembali Riana masuk kedalam restoran, dia melihat ada Sakib besar disana. Riana yang mengerti kini berdiri bersama Brian untuk berdoa.
PRANKKK!
Suara pecahan kaca terjatuh terdengar nyaring hingga memekak telinga semua orang yang berada di dalam restoran.
Brian dan Riana yang tadinya berdoa, kini berhenti di tengah doanya karna suara nyaring itu mengganggu mereka. Riana yang sangat penasaran langsung saja meninggalkan Brian untuk datang melihat suara apa itu? Dia begitu penasaran.
"Pav, Ibu sudah katakan padamu, tanda tangani surat perjodohan mu ini, atau kau mau ... Ibu mengirimmu kembali!" ancamnya memberikan peringatan.
Pavlo menatap tajam gadis yang sangat cantik duduk ketakutan di hadapannya, Pavlo yang tidak mau menunjukkan sikap aslinya di hadapan semua orang yang menjadikan dirinya tontonan, mau tidak mau harus menuruti kemauan orang tuanya yang memaksa dirinya.
Kelemahan Pavlo adalah Orang tuanya, sewaktu dia duduk di sekolah dasar orang tuanya sering mengirimnya kerehabilitas selama 9 tahun lamanya, untuk mengobati kejiwaannya yang tidak normal.
Meski Pavlo di kurung di rehabilitas bagaikan penjara, tetap saja dia tidak bisa mengobati kejiwaannya. Ibunya yang tidak bisa memiliki anak lagi, mau tidak mau harus sembunyikan kejiwaan Pavlo pada seluruh dunia, karna Pavlo adalah satu-satunya pewaris kekayaan nomor satu di Britania Raya.
Ayahnya memungut pulpen di lantai, lalu memberikannya pada Pavlo kembali. "Ambil ini, dan tanda tangani itu!" perintah Justine tegas.
Pavlo menandatangani surat perjodohannya sambil menatap marah pada Ayahnya, meski begitu Ayahnya tetap biasa-biasa saja menanggapinya. Karna semua yang di lakukan ayahnya untuk kebaikan Pavlo sendiri.
Riana yang masih melihat Pavlo dan keluarganya, tiba-tiba Brian menyentuh pundaknya. "Kau serius sekali ingin tau urusan orang." Brian menutup mulutnya tertawa, Riana sendiri hanya tersenyum kecut menanggapinya.
"Entah lah, aku baru kali ini mau tau urusan orang lain. Padahal biasanya aku sering cuek dan tidak mau tau masalah orang," jawabnya sambil menarik tangan Brian membawanya duduk di kursi sofa panjang, karna dia lelah berdiri menguping sejak tadi.
"Bukankah dia kakak kelasmu? Dia ketua Osis yang terkenal itu kan?" Brian tahu akan hal, meskipun Riana tidak perna bicarakan mengenai Pavlo.
"Hmm... semua gadis di sekolahku sangat mengidolakannya." Senyumnya hambar.
Brian mengangguk kepalanya paham, lalu merangkul pundak Riana, sambil mengelus surai rambut panjang kekasihnya. "Apa kau mau melanjutkan doa sumpah kita Baby," tawar Brian lagi.
Riana menghela napas dan menjawabnya, "Lain kali saja Baby. Entah kenapa aku tidak mood saat ini."
"Kau tidak mood mungkin kau akan datang bulan yah." Rayu Brian mencolek hidungnya.
"Ih... Apaan sih." Gelinya.
Riana dan Brian tertawa mereka terus bercanda gurau. Namun tiba-tiba saja lampu yang tadinya terang kini berubah menjadi redup sedikit gelap. Suara alunan musik biola tiba-tiba terdengar begitu merdu dan sangat indah di dengar.
Pavlo memberikan satu pertunjukkan bakatnya pada semua orang di dalam restoran itu. Pavlo terus menggesek biolanya, sambil memejamkan matanya. Dia sangat menikmati musik yang dia karang sendiri.

Rita yang begitu bersemangat terus mengambil foto dan juga vidio anaknya. Bahkan Rita juga menyuruh Veronika tunangan Pavlo untuk berdiri pendampingi anaknya.
Saat Vero melewati meja makan untuk mendekati Pavlo. Tiba-tiba saja gadis lain lah yang maju lebih dulu, gadis bergaun merah panjang dengan rambut terurai, terus memutari tubuh Pavlo. Gadis itu seperti terhipnotis akan musik yang di mainkan Pavlo. Pavlo juga masih belum menyadarinya.
Riana begitu mengagumi musik biola yang di mainkan Pavlo, dia tidak sadar akan tindakannya sekarang. Ia memejamkan matanya, ia merasa sedang berada di rerumputan hijau luas dengan pemandangan yang sangat begitu indah, bahkan angin yang dari luar kaca membuat rambutnya bertembangan dan sangat indah dipandang dan setara dengan musik itu.
Namun Brian datang menarik tangan Riana, ia merangkul pinggang kekasihnya, dan satu tangannya lagi di bentangkan kesamping. Brian mengajaknya berdansa.
