Pustaka
Bahasa Indonesia

Love Is Killing Me

42.0K · Ongoing
CATHERINE CUNG
44
Bab
1.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Riana Maxlou mencintai tungannya sejak ia kecil dulu, mereka sama-sama mencintai tapi entah kenapa tunangannya itu menghianatinya, dan membuat orang tua Riana bangkrut sampai Ayahnya meninggal. Ia juga harus berpisah dengan Ibu dan Kakaknya yang ternyata meninggalkannya seorang diri untuk menanggung berbagai macam masalah menimpanya. Saat mengatahui tunangannya menikahi saudara sepupunya bersamaan hatinya hancur, ia justru memilih mengakhiri hidupnya. Namun tetap saja ia akan gagal karna kakak kelasnya yang Misterius itu selalu datang menyelamatkannya. Pavlo bertanggung jawab menikahi Riana, dan mengembalikan semua aset kekayaannya. Mereka menikah dan harus berpisah, karena Pavlo yang sudah memiliki tunangan sejak lama takut jika orang lain tahu dan menyakiti Riana. Riana yang bersekolah di universitas Amerika, ternyata ada banyak pria kaya yang menyukainya, bahkan dosennya sendiri menyatakan cinta padanya.

RomansaMetropolitanBillionaireIstriDewasaKawin KontrakKeluargaPernikahanBaperTuan Muda

BAB 1 - PERMULAAN

"Riana bangun! Kau sudah terlambat nak..." Puspa menggoyangkan tubuh Riana, yang tidak kunjung membuka matanya. Puspa yang kesal beralih membuka tirai jendela dan membiarkan matahari mengenai wajah Riana.

Riana yang merasakan silau mau tidak mau harus bangun dalam ke adaan begitu kesal. "Ibu! Ini tuh masih jam 6," kesal Riana sambil berjalan menuju kamar mandi.

Puspa bertolak pinggang menggeleng kepala. "Kau harus lihat jam, sebelum bicara seperti itu padaku," omelnya lagi.

Riana yang akan masuk ke dalam kamar mandi yang terletak didalam kamarnya, langsung melirik ke arah jam dinding. Dimana disana sudah menunjukkan pukul 7 lewat. "Oh, yah ampun ibu, aku benar-benar telat." Riana cepat-cepat bergegas mandi.

Puspa sendiri yang tidak mau Riana terlambat harus bergegas membantu Riana menyiapkan baju seragam sekolah, agar Riana tidak memakan waktu lama lagi.

Riana yang sudah selesai memoles wajahnya dengan krim wajah, dia langsung saja mengambil tasnya dan berlari menuruni tangga tanpa menyentuh sarapannya bersama keluarganya.

"Bu, maaf, aku harus pergi cepat!" teriak Riana sambil mengeluarkan sepeda dari garasi mobil.

"Hay bekalmu bawa!" Puspa mengejarnya.

"Aku yakin aku pasti telat kali ini. Huh, ini semua salah Brian! Jika saja semalam dia tidak menelponku sampai larut malam, mungkin aku tidak akan terlambat seperti sekarang ini. Andaikan saja supirku tidak cuti hari ini, aku pasti akan cepat sampai di sekolah, dan tidak bersepeda seperti ini," gerutu Riana menggoes sepedanya di sepanjang jalan

20 menit kemudian Riana telah sampai di parkiran sekolah. Dan benat gerbang sekolah sudah di tutup dan hanya menyisahkan Ketua Osis dan parnernya yang masih piket dan menulis laporan siswa siswi di pos.

"Tuh kan aku telat, gimana ini? Oh tidak, kakak Osis itu pasti akan menulis laporan burukku di buku pengawasanku. Setelah ini, wali kelas akan memarahiku lagi dan lagi. Namun jika aku bolos hari ini, maka aku tidak akan ikut ujian sekarang." Ia yang tidak ada pilihan lagi, mau tidak mau harus berhadapan dengan Ketua Osis yang terkenal akan ketegasannya di sekolah.

Riana berpegangan di pagar besi, seperti orang memelas disana. "Kak Pavlo, tolong. Biarkan aku masuk."

Pavlo menghempas kasar pulpennya di atas meja, untuk membuka pagar. "Kau tau ini jam berapa nona manja?!" bentaknya sampai suaranya memekak ditelinga Riana.

Riana menelan ludahnya sambil melankah melewati pagar dan berhadapan dengan Pavlo. "Maaf kak, setelah ini aku tidak akan mengulanginya lagi." Riana menunduk melintir jemarinya.

"Kau memang tidak perna disiplin Nona. Sngat di sayangkan sekali, nona cerdas sepertimu percuma untuk sekolah di sini. Mana buku pengawasanmu?!" pinta Pavlo yang mengulurkan tangannya.

"Aku lupa kak," cengir Riana menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia membuat kebohongan.

Pavlo yang tidak percaya menarik paksa tas Riana untuk menggeledah isi tasnya. "Apa ini hah?! Kau tidak hanya menjaga kedisiplinan, tapi juga menjadi tukang pembohong di sekolahmu," marahnya lagi.

Revano yang ikut piket disana menghampiri Pavlo yang terus saja memarahi Riana. "Biarkan dia Pav. Lagian pelajaran sudah di mulai sekarang."

"Kak, tolong jangan tulis keburukan jelekku di buku itu." Tunjuk Riana, sambil memohon sebelum pergi. Tapi tetap saja Pavlo tidak mendengarnya, dia justru menambahkan keburukan lain disana, padahal Riana tidak perna melakukan kesalahan lebih. Dan tentunya buku pengawasan itu akan membuat nilai buruk Riana nantinya.

Jam istirahat berbunyi.

"Riana Maxlou ikut Ibu!" kata wali kelas.

Sasa menarik tangan Riana saat melewati mejanya. "Ini pasti karna kau terlambat."

Riana hanya berwajah masam menanggapinya sebelum pergi keruang guru.

Sasa dan kawan-kawannya yang lain sudah memesan makanan mereka di kanting, dan di saat itu juga Riana baru datang menyusul mereka.

"Hah, aku lelah." Riana menarik kursi dan duduk di samping Sasa dan berkata, "Asal kalian tau saja, hari ini aku di marahi sana sini. Di marahi oleh Pavlo, dan di marahi oleh guru." Riana menertawakan nasibnya.

Sasa menjawabnya, "Hello... kau marah karna Pavlo itu. Jika aku menjadi kau, aku pasti senang di marahi oleh pria idaman di sekolah kita. Harusnya kau bangga mendapatkan amarah darinya! Kau tahu sendirikan, Pavlo itu jarang bicara dan memarahi orang lain jika salah, karna tugas seperti itu akan dia berikan pada Revano saja. Dan kau ini harusnya beruntung." Sasa membenarkan.

Riana terperanga mendengarnya. "Beruntung... Kau gila yah?!" hardiknya.

Sasa hanya tertawa. Kawannya yang lain terus mempermainkan Riana yang cemberut manis manja.

"Berhentilah membuat lolucon, jika tunanganku tau. Mampus kalian." Tunjuknya tepat di hadapan wajah kawannya yang tidak berhenti menertawakannya.

Diruang yang sama Pavlo dan kawannya baru memasuki kanting dan melihat begitu banyak murid menikmati makan siang mereka, bahkan semua murid terus penyapa kedatangannya dan terus memberinya pujian dan juga mengaguminya.

Pavlo sendiri seperti biasa, akan menyapa mereka balik dengan senyum ramahnya seperti seorang malaikat bersayap putih. Pavlo dan sahabatnya ikut duduk satu meja dengan adik-adik kelasnya yang berkumpul satu meja lain. Adik-adik kelasnya tidak tinggal diam menggunakan kesempatan itu, untuk terus menggoda dan bertanya-tanya padanya tentang materi pelajaran. Karna Pavlo di kenal sebagai murid yang sangat cerdas, dan berperestasi. Pelajaran apa pun itu, dia pasti akan mengatahuinya.

Pavlo yang meminum jus jeruknya, tiba-tiba ponselnya berdiring di saku celananya. Ia mengambil ponselnya dan melihat isi pesannya. Wajahnya yang tadinya di penuhi senyuman dan kebahagiaan, kini menjadi gelap. Namun itu sebentar saja disaat Revano berbisik padanya.

"Ia sayang aku paham, emang nanti malam kita akan makan dimana?" Riana bicara dengan ponselnya dan berhenti dari langkahnya, karna dia menunggu Sasa membayar makanannya.

Pavlo yang sangat risih mendengarnya suara itu langsung melirik Riana diatasnya yang tengah fokus bicara dan tidak sadar berdiri sampingnya. Pavlo hanya diam dan tidak menegur Riana yang bicara sensual menelpon tunangannya itu. Karna semua orang tahu bahwa Riana punya tunangan yang sangat terkenal akan perusahaannya yang berdiri nomor 2 di Britania. Tunangannya itu sangat di segani di negarannya.

"Ia dah, emmuaaah... Aku tutup telponnya ayang-ayangku." Riana tertawa cekikikan sebelum mematikan ponselnya.

Pavlo sedari tadi terus menahan amarahnya, sungguh dia sangat begitu kesal, malu dan risih mendengar ucapan Riana yang begitu memalukan di pendengarannya. Dia begitu ingin menedang dan mengusir Riana, namun dia ingat akan integritasnya di hadapan semua murid disini.

"Sa, cepat!" teriak Riana melambaikan tangan. ia sendiri tidak sadar bahwa Pavlo ada di sampingnya duduk dengan wajahnya yang bukan lagi merah, tapi menghitam.

'Wanita sialan, cepatlah pergi dari sampingku, sebelum aku membunuhmu yang menggangu keseharianku.' Pavlo mengumpat dalam hatinya, bahkan tangannya mengepal kuat.