Bab 3 Menyusun Rencana
"Kita atur strategi lagi nanti, pastinya kita harus tahu dulu ada apa sebenarnya di sana, selain para suku primitif itu," imbuh pria muda yang garis ketampanannya nyaris serupa dengan pria yang di panggil pak bos. Ya, mereka adalah kaka beradik, Nalendra Wijaya sang CEO pemilik perusahaan tambang batubara terbesar di kotanya, dan adiknya yang bernama Arkhana Wijaya yang menjadi anggota militer.
"Apa mungkin di sana ada berlian yang terpendam di tengah pulaunya? Mungkin karena melindungi harta karun itulah, sebabnya mereka jaga dengan ketat?" celetuk asisten yang biasa di panggil Jefri, pria dengan kulit sawo matang dan wajah kalem namun sangat pintar dalam mengatur strategi apa yang bosnya sebutkan dia langsung paham apa yang harus dikerjakan berikutnya.
"Ah, mana mungkin pulau kecil itu menyimpan berlian?" tanya yang lain.
"Eh, mana tahu kan, feeling si bos tuh jarang meleset," Jefri menyahut.
"Wah, kasian para penambangnya dong kalo harus nambang di sana, bisa-bisa di panggang sama mereka," timpal anak buahnya yang lain, yang langsung mendadak diem ketika melihat tatapan pak bos yang meliriknya tajam bak monster yang sedang mendeteksi mangsa.
"Aku rasa, firasat tentang pulau itu bukan soal adanya berlian atau pun batu bara, tetapi ada hal lain yang entah apa, aku pun tak tahu," ucap pria yang detik sebelumnya sempat memasang wajah garang terhadap bawahannya, namun di detik berikutnya dia melengos ke sisi lain dan kembali memasang wajah kulkas delapan pintu.
***
Sebulan telah berlalu, sejak tragedi penyerangan tak terduga, semuanya sudah kembali sehat dan beraktivitas seperti biasanya di kantor.
Nalendra menatap serius ke arah seketsa ditangannya, seketsa itu di buat oleh Jefri dan membandingkan peta aslinya. Memang pulau itu tak nampak di peta dunia.
"Pulau ini sangat jauh dari sini, tetapi entah kenapa aku begitu penasaran tentang pulau tersebut sejak pertama kali melewatinya? Ditambah lagi pulau ini gak ada di peta dunia, pulau apa sebenarnya itu?" gumamnya seraya mengetuk-ngetukan bolpoin di tangan kanan ke meja kerjanya.
Tok ... tok ... tok ....
"Permisi ...."
"Ya, masuk!" perintahnya.
Nampak Arkhana dan Jefri masuk dan duduk di hadapan meja kerja Nalendra.
"Jika kau mau, aku akan meminta ijin kepada atasan untuk membawa helikopter ke sana untuk menyelidiki," tawar Arkhana.
"Tidak perlu, kita tidak boleh tergesa-gesa dalam menyelidiki segala sesuatunya, kita tidak boleh gegabah," tolak Nalendra. "Lagipula ... kita tidak bisa meminjam helikopter milik negara, itu hanya akan menimbulkan masalah baru kedepannya, sedangkan kita bisa membelinya secara diam-diam," imbuhnya lagi.
"Terus, bagaimana kita bisa menyelidikinya kalau tanpa helikopter? nanti kita bisa diserang lagi," sambung Jefri.
"Kita pikirkan lagi nanti, intinya rencana ini tidak boleh bocor kepada siapapun, cukup hanya kita bertiga saja yang tahu rencana saat ini!" tekan Nalendra yang langsung di'iyakan oleh dua insan di hadapannya.
***
Di tempat lain ....
"Persiapan kamu sudah cukup matang, saatnya kamu menjalankan misi, kamu harus datang ke perusahaan xxx, dan pastikan kamu harus di terima menjadi karyawan di sana!" titah pak Jaya pada putri angkatnya.
"Baik Ayah, lalu apa yang harus aku lakukan setelah di terima jadi karyawan di sana?"
"Bantu pemilik perusahaannya untuk menyelidiki sesuatu yang begitu penting, serahkan ini kepadanya setelah kamu diterima nanti, saya yakin, dia akan mengerti setelah membaja pesan ini," ucap pak Jaya seraya menyerahkan sebuah surat yang terbuat dari anyaman serat akar pohon dengan tulisan kuno yang jarang sekali orang bisa membacanya.
Lagi-lagi, Fairy begitu takjub dengan kepandaian sepasang suami istri ini yang begitu cerdik memanfaatkan segala sesuatu dari alam agar bisa dipakai termasuk pakaian dan kertas anyaman ini.
"Tapi ... bagaiman aku bisa sampai sana? Sementara di sni tidak ada alat atau pun perahu?" tanya gadis itu kebingungan.
Sementara pak Jaya dan Bu Rumi hanya tersenyum penuh arti.
"Mari kami tunjukan sesuatu padamu!" ajak Bu Rumi dengan senyumannya yang meneduhkan.
Kemudian mereka berjalan menyusuri lorong akar yang lumayan sempit dan pengap, jalan menuju ke sini adalah pertama kalinya bagi Fairy, dan tak berselang lama akhirnya mereka keluar dari lorong akar sempit itu, tepat di bagian pulau sisi lainnya, kalau dilihat dari matahi yang mulai terbit sih, sepertinya mereka menghadap ke arah timur.
"Kamu akan menggunakan ini," ucap pak Jaya sambil menunjuk sebuah perahu yang terbuat dari batang pohon yang dirakit sedemikian rupa menjadi perahu beserta dayungnya, juga sebuah layar yang tentunya terbuat dari akar pohon yang di tenun dengan alat seadanya buatan mereka secara autodidak. Lagi dan lagi Fairy selalu berdecak di buat kagum akan keahlian mereka yang begitu kreatif, sungguh di luar nalar manusia biasa.
Dalam benak Fairy selalu bertanya siapa mereka sebenarnya di masa lalu?
Perahu itu juga di lengkapi kincir di bagian pojok bawah belakang perahunya, yang berkaitan dengan dayung yang di sematkan saling berhubungan, jadi setiap kali mendayuh maka kincir angin itu akan berputar menambah kecepatan laju perahunya. Tak lupa, perahu itu di desain seperti mirip perahu nelayan yang masih manual untuk memanipulasi dan berjaga-jaga agar tak ada yang curiga, hanya saja ukurannya lebih kecil dari perahu nelayan pada umumnya.
"Wah bagus sekali, kalian sungguh orang hebat dan luar biasa, pandai memanfaatkan sesuatu dengan bahan seadanya, aku salut sama kalian, beruntung sekali aku bisa bertemu dengan orang hebat seperti kalian berdua," ucap Fairy penuh haru akan kehebatan dan kebaikan sepasang suami istri yang telah menyelamatkan dan merawatnya selama ini. Ibu Rumi pun meraih gadis yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya itu kedalam pelukannya, begitu pun dengan pak Jaya.
"Pergilah Nak, kau harus bisa mengungkap tabir ini, setelah itu, minta bantuan lah kepada pemilik perusaan xxx untuk mencari keberadaan orang tuamu, siapa tahu masih selamat," titah pak Jaya seraya mengusap pucuk kepala anak angkatnya itu.
"Terus bagaimana dengan Bapak dan Ibu di sini? Aku juga harus menyelamatkan kalian agar bisa bertemu dengan keluarga terutama anak-anak kalian," tanya Fairy khawatir.
"Setelah masalahnya selesai dan aman, barulah kau bertitahu keberadaan kami disini, ingat, sebelum kekacauan itu menemui titik terang, kau tidak boleh menceritakan tentang kami kepada siapapun!" imbuh Bu Rumi yang kemudian di anggukan oleh Fairy.
"Siap laksanakan, Komandan," jawab Fairy sigap sambil memberi hormat kepada sepasang orang tua angkatnya, di balas dengan hormat pula, sambil tersenyum haru, juga ada linangan air mata menemani perpisahan ini.
"Semoga kamu selamat sampai tujuan ya Nak, perjalananmu jauh mungkin saja bisa di tempuh sekitar satu hari satu malam bisa juga lebih tergantung bagaimana cuaca smoga saja tidak ada badai, dan Ibu rasa, perbekalan mu cukup untuk di perjalananmu nanti."
Setelah berpamitan dan mendengarkan arahan dari orang tua angkatnya, Fairy menaiki perahu dan bertekad akan mencari orang tua kandungnya, di awali dengan kota tujuan yang di arahkan oleh pak Jaya, berbekal kompas bekas yang entah dari mana pak Jaya temukan, lalu di perbaiki dan hasilnya kembali berfungsi, kalau siang dia bisa menjadikan matahari sebagai patokan perjalanannya, karena menurut pak Jaya, tujuannya hanya lurus ke arah timur.
***
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan menggunakan perahu dayung seadanya, akhirnya Fairy sampai di tepian pantai, yang dia yakin ini adalah pulau besar, di mana di dalamnya terdapat kota tujuannya kali ini.
Setelah menepikan perahu yang ia titipkan di sebuah tempat di mana banyak sekali perahu yang menepi berbagai macam jenis untuk pariwisata yang ingin berlayar menaiki perahu di sekitar area.
Fairy baru menyadari kalo dia sampai di kawasan rekreasi. Sebuah kebetulan perahunya ada yang tertarik untuk menaikinya, sedangkan pemilik perahu sewaan itu cukup baik dan sopan sehingga meminta izin dahulu kepada Fairy untuk memakainya melayani wisatawan, Fairy tentu mengizinkan asalkan ada bayarannya, lumayan setidaknya ada penghasilan untuk bekal dia menempuh perjalanan selanjutnya.
Setelah setuju perahunya di kontrak untuk di pakai wisatawan, Fairy mencari tempat istirahat mengumpulkan sisa tenaga setelah dua hari satu malam mendayung dengan tidur hanya sebentar-sebentar karena saking ingin cepatnya mencapai daratan.
"Aneh ya? Perahu itu sangat menguntungkan, ia sudah menyelamatkan aku dari pulau terpencil, dan kini, dia malah menghasilkan uang sewaan, harusnya kan aku yang membayarnya karena sudah menitipkan perahuku padanya, tetapi malah perahuku yang dibayar, mana banyak banget lagi yang menyukai perahuku, syukurlah, setidaknya aku dapat penghasilan sementara waktu, sebelum melanjutkan ke tempat tujuanku," gumam Fairy sambil tersenyum memandangi perahunya menjadi antrian pengunjung yang tertarik dengan perahu tradisional yang unik itu.
"Gaun kamu bagus ya, unik, beli dimana?" celetuk seorang gadis yang menghampirinya secara tiba-tiba mengagetkan Fairy yang asik dengan pikirannya sendiri.
"Ah ... benarkah? Ini hanya gaun lusuh biasa, hanya saja bagiku istimewa," jawab Fairy apa adanya.
"Beli dimana? Apa yang membuatmu merasa istimewa memakainya?" tanya gadis itu lagi yang terlihat begitu tertarik akan baju sederhana yang ia kenakan.
Lagi-lagi Fairy di buat kagum dengan hasil buatan pak Jaya dan Bu Rumi sehingga ada aja yang disukai. "Ini buatan ibuku, tentu saja istimewa."
"Halah ... bagus apaan, gaun kaya gini mah palingan terbuat dari karung goni, haha..." ejek pengunjung lain dengan pakaian pantai yang cukup mewah dan wajah yang menor dan terlihat congkak.
Bersambung ....
