Bab 2 Tekad
"Fairy, maafkan Ayah Nak, Ayah belum bisa menjelaskan sepenuhnya terhadapmu tentang apa yang sebenarnya terjadi, Ayah janji, jika sudah sampai waktunya yang tepat, akan Ayah ceritakan semuanya terhadapmu!"
Gadis yang di sebut Fairy itu terperanjat, sebab gumamannya ternyata di dengar oleh ayahnya.
Ya, nama gadis itu Fairy, yang berarti cantik seperti peri.
Nama itu orang tua angkatnya ambil dari liontin yang dikenakannya, liontin langka yang terbuat dari berlian yang di manipulatif menjadi liontin biasa yang terlihat hanya batu alam yang di pahat, menyembunyikan keasliannya, kalung berliontin itu memakai kode, dan hanya pemberinya saja yang bisa membukanya. Namun, Orang tua itu mengenalinya saat pertama kali mereka temukan gadis itu terdampar di pantai sisi goa tempat persembunyiannya. Tetapi ia rahasiakan kebenarannya. Mengingat gadis itu sedikit hilang ingatan, bahkan dia tidak mengenal nama dirinya sendiri kecuali nama kedua orang tuanya.
"Maafkan aku ayah, aku sudah ceroboh melanggar laranganmu!" ucap Fairy merasa bersalah.
"Tak apa Nak, dari sini Ayah menjadi tahu watakmu, kamu pantang menyerah seperti anak aku, aku yakin, suatu saat kamu pasti bisa melakukan sesuatu yang jauh lebih berani jika kamu mau berlatih," ucapnya lembut sambil tersenyum penuh keyakinan.
Fairy masi mematung, dia bingung belum bisa mencerna ucapan ayahnya tersebut. Memang, selama hampir lima tahun ia sudah banyak berlatih segala hal dari Ayah dan Ibu angkatnya, mereka terlihat sudah tua tetapi tenaganya masih energik.
Pria paruh baya itu sudah masuk ke dalam goa yang menjadi tempat mereka bernaung selama ini, di dalamnya cukup rapih, ada beberapa ruangan yang di sekat menggunakan dinding batu yang di pahat sedemikian rupa, batu itu bukan dinding asli, tetapi di buat dengan batu di tumpuk rapih menjadi beberapa ruangan, sudah seperti itu sejak pertama kali gadis itu terdampar dan di ajak tinggal di sana.
"Fairy, apa kamu berhasil menangkap ikan-ikannya, Nak?" celetuk seorang wanita paruh baya yang gadis itu panggil ibu. Sementara Fairy hanya menggeleng dengan rasa bersalah karena telah membuatnya menunggu gegara ia terlalu kepo dengan apa yang terjadi tadi.
Ya, dia ibu angkatnya. Mereka suami istri yang terdampar di sini lebih dulu. Mereka pula yang menciptakan tempat perlindungan dari bebatuan dalam goa yang cukup nyaman meski jauh dari kata mewah karena semua terbuat dari batu.
Bahkan untuk pencahayaan pun mereka menggunakan obor dari akar yang menjuntai di tebing. Obor itu di potong menggunakan batu yang sudah di sulap menjadi golok kecil yang di pilih dengan batu lainnya.
Sementara untuk bahan makan pokoknya, ada sebuah lahan kecil yang mereka sulap menjadi ladang yang di tanami berbagai macam tumbuhan, entah dari mana mereka mendapatkan bibit tersebut, yang jelas, akan ada banyak cara Allah memberikan rejeki kepada manusia yang bertahan hidup di tengah kemalangannya, meski di pulau terpencil sekalipun.
"Maafkan aku Bu, tadi aku ga jadi mancing ikan, aku malah melanggar larangan yang di perintahkan oleh Ayah!" ucap gadis itu sambil menunduk dan menggigit bibir bawahnya.
"Loh, memangnya apa yang sudah kamu langgar, Nak?" tanyanya penuh keheranan.
"Manjat tebing sampai atas, dan melihat apa yang ada di balik sana, Bu," jawab Fairy jujur.
Wanita paruh baya yang masih terlihat bugar itu mengernyitkan dahinya bingung. "Memangnya apa yang sudah terjadi, kenapa kamu sampai nekat manjat hingga atas sana?" tanyanya lagi keheranan.
Tanpa berpikir lagi, Fairy menceritakan semua yang dia lihat, sejak adanya kapal pesiar dengan merek yang cukup mahal melintasi pulau mereka dan berakhir baku tembak di pulau sebelah belakang tebing.
Kedua orang tua itu nampak serius mendengarkan penuturan anak angkatnya itu.
"Apakah mereka melihatmu?" tanya ayahnya.
"Aku rasa tidak, karena aku langsung bersembunyi di balik semak dan bebatuan."
"Apa kamu tahu merek apa kapal pesiar itu?"
"Tipe homecare 24, itu yang aku lihat namnya di kapal itu."
Lagi-lagi kedua orang tua itu saling tatap, saling berbicara dengan bahasa isyarat dari tatapan mata masing-masing, dan itu tidak dimengerti oleh Fairy, dia hanya tahu kalo saat itu orang tuanya sedang saling diskusi dalam diam.
"Apa mungkin ini sudah waktunya yah?" tanya istrinya.
"Heeemm ... bisa jadi, tapi tetap kita tidak boleh gegabah, kita harus lebih waspada dan hati-hati."
"Ibu ingin sekali pulang kerumah yah, rindu sekali dengan anak-anak, apakah mereka baik-baik aja di sana?" keluhnya disertai isak tangis yang mulai merembes di pipi tuanya.
"Mereka sudah besar, Ayah yakin pasti mereka bisa menjaga diri dan akan baik-baik saja," ucap pria paruh baya seraya menenangkan sang istri yang terlihat begitu rapuh saat itu.
Fairy yang kebingungan dengan apa yang mereka obrolkan hanya bisa dia memperhatikan tanpa berani menyela obrolan mereka, dia masih sangat ingat betul, akan adab yang selalu di ajarkan oleh orang tuanya sejak kecil, bahwa ada lebih tinggi daripada ilmu, meskipun sebagian besar ingatannya menghilang, namun adab itu tetap melekat dalam kebiasaannya.
"Fairy, kesini Nak," ajak ayahnya yang kini nampak rapuh, tak seperti biasanya selalu terlihat gagah.
Fairy hanya menurut saja mendekati mereka dan merangkul ibu angkatnya penuh kasih. Setelah itu, banyak hal yang di ceritakan oleh pria yang di Fairy panggil Pak Jaya, awal mula mereka terdampar dan termasuk suku primitif di balik tebing tersebut.
Setelah Fairy mengerti semuanya, dia pun terus berlatih dengan sungguh-sungguh sebelum menjalankan misi penting yang di tugaskan oleh orang tua angkatnya. Ia juga baru mengetahui siapa sebenarnya Pak Jaya dan ibu Rumi itu yang membuat rasa kagum Fairy kian meningkat.
***
Di sisi lain ....
Setelah sempat baku tembak dengan suku primitif yang tak terduga tiba-tiba saja menyerang kapal pesiar mereka, kapal itu langsung tancap gas dan kembali ke pulau di mana tempat tinggal mereka.
Sebelum menepi ke pesisir pantai, asisten si bos pemilik kapal tersebut segera menghubungi pihak rumah sakit agar rekan-rekan yang terluka akibat serangan tadi harus segera mendapatkan pertolongan, beruntung mereka hanya luka-luka tidak sampai yang fatal. tetapi ada sebagian yang terluka parah akibat terkena alat yang mereka tiupkan selain tombak, dan ternyata alat-alat tradisional itu mengandung racun, dan membuat korbannya mengalami kebiruan dan menggigil.
Termasuk seorang pria tampan yang mereka panggil bos muda. Beruntung di akpalnya ada stok obat-obatan pereda racun agar tidak terlalu cepat menyerang jantung. tetapi tetap saja hanya sementara, dan efeknya sangat berbahaya jika terlambat di beri pengobatan yang tepat.
"Sial, kenapa harus ada serangan sih? Sejak kapan pulau itu ada penghuninya? Mana brutal banget pula cara nyerangnya, ck," gerutu seorang pria gagah dengan hidung mancung dan rahang yang terpahat nyaris sempurna, sorot matanya begitu tajam dengan kedua alis yang tersusun rapih. Ia meringis kesakitan tatkala bahu lengannya sebelah kanan sobek akibat kena tombak.
"Ini pertama kalinya kita menyambangi pulau itu Bos, selama ini kita hanya melewatinya saja," jawab kapten kapal tersebut.
"Itu pulau apa?"
"Tidak tahu bos, sepertinya pulau itu tidak ada di peta," jawab asistennya sambil sibuk mengotak ngatik laptop di tangannya mencari tahu tentang pulau tersebut.
"Entah kenapa setiap kali lewat sana, ada rasa ingin mendekat dan mampir kesana, seakan ada magnet yang menarik ku ke sana, itu sebabnya aku perintahkan untuk menepi, tapi diluar dugaan ternyata pulau itu bukan hanya misterius, tetapi juga mengerikan, maafkan aku semuanya!" ucap bos tampan merasa bersalah, yang sebenarnya dia juga terluka di bagian bahu lengan kanan, karena dialah orang pertama kena tombak dari penghuni pulau itu. Untung saja lukanya tidak begitu parah karena langsung di hadang oleh anak buahnya, dan di apit ke dalam untuk di amankan.
"Tak apa bos, ini sudah resiko kita. Kalau bos mau, lain waktu kita bisa ke sana lagi dengan persiapan yang lebih matang dan peralatan lebih komplit lagi buat jaga-jaga."
"Untuk apa? Menyerangnya? Tidak, aku tidak setuju, aku tidak mau balas dendam lagi pula mereka ga ada urusan sama kita, mungkin mereka tiba-tiba menyerang karena berfikir kita ini orang asing yang akan memusnahkan mereka," tolak Pak Bos penuh wibawa.
"Bukankah kau dan aku begitu penasaran dengan pulau itu? Bertahun-tahun kita seakan merasakan hal yang sama, seolah ada magnet aneh yang membuat kita selalu ingin ke sana bukan?" celetuk pria yang sejak tadi hanya diam dan sibuk mengobati para korban yang terluka dengan peralatan dan obat-obatan seadanya sambil menunggu kapal menepi.
"Jadi, bagaimana menurutmu selanjutnya?" tanya pria tampan yang di panggil pak bos itu bertanya kepada laki-laki yang wajahnya sebelas dua belas mirip dia hanya saja lebih muda darinya.
Bersambung ....
