Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab10 Kala Rindu Mengusik Kalbu

Aku tahu cinta bisa saja menggelora dan redup dalam waktu yang sama. Aku juga mengerti tak ada ukuran pasti untuk kadar cinta itu sendiri. Namun, cinta ini yang datangnya tak disangka bisa menyemai rindu juga. Bolak balik kulihat aplikasi pesan di ponsel. Sudah sampaikah dia? Atau masih di jalan? Naik apakah dia? Dengan siapa? Kenapa belum menghubungi? Kenapa tidak ada pamit untuk doa yang tersemat?

Resah dan gelisah mulai menyerang hati. Sejak pagi mataku tak lepas dari alat komunikasi ini.

Kuusap layar berukuran enam inchi yang penuh dengan notifikasi. Pesan pinjaman online, pesan dapat hadiah dua milyar. Pesan pesan penipuan lain yang entah dari mana bisa tahu nomorku. Sebal bukan main saat layar berkedip tanda pesan-pesan itu masuk. Jaman sekarang apa-apa bisa dilakukan untuk mencari penghasilan. Banyak orang tak peduli itu melanggar hukum atau tidak. Seeanak sendiri menjual data. Aku pun menandai semua pesan itu dan menghapus sekaligus. Ditambah sumpah serapah sebelumnya.

Selesai dengan pesan menyebalkan, kukembalikan ponsel dalam layar utama. Foto kami berdua yang terpampang di sana terus kupandangi. David tak hanya tampan, ia juga pandai dalam segala hal. Gurat senyum terpancar di wajahnya, menyuguhkan ketenangan. Mungkin aku wanita paling beruntung di dunia. Bisa menjadi istrinya dengan jalan tak terduga. Aku tak bisa berhenti di sini. Gawai membuatku ingin terus menjelajah dan menelaah. Aplikasi pesan masa kini sudah tidak hanya sebagai sarana komunikasi saja. Segalanya berubah fungsi seiring kemajuan teknologi. Aku mulai bosan dengan aktivitas pagi yang hanya kuhabiskan di kamar. Jariku dengan sadar menekan status Whatsapp nomor kontak teman-teman di ponsel. Anisa dengan anak pertamanya yang cabby dan suami alim, sedang makan bersama. Heppi dengan suaminya yang melankolis sedang saling pandang dengan tatap mesra.

"Wah, romantis sekali ini, Si Heppi. Bisa ya, sama suaminya kayak begitu?" tanyaku pada foto mereka.

Aku terus membiarkan kontak nomor Heppi menayangkan gambar. Yang bisa diambil dari kegiatan ini adalah tingkat keingintahuan semakin bertambah. Kemudian membandingkan dengan pembaharuan status milik sendiri. Wajahku kecut seketika. Tadi hanya sempat posting foto rumah yang belum di sapu. Setidaknya kalau David tidak buru-buru, bisa foto dulu berdua dan tulis caption 'Hati-hati di jalan, Sayang.' Ah. Romantis sekali pastinya kalau foto itu berhasil mengudara. Aku merutuki kebodohan diri. Puas dengan segala prasangka, jemari dan mataku kompak beralih ke kontak lain. Kaira berfoto bersisihan dengan kucing kesayangannya dengan tulisan 'My Sweet Blacky.' Dia pencinta kucing sejati. Bahkan suaminya kadang terabaikan. Aku terkekeh mengingat sahabatku itu.

Aktivitas melihat pembaharuan status orang selalu menyenangkan. Waktu yang senggang semacam ini membuatku tak henti mengamati. Biasanya pikiran mulai macam-macam. Tanpa sadar jadi komentator dadakan. Mulai dari terkagum-kagum sampai terheran-heran. Aneh memang sistem kerja otak manusia itu, termasuk diriku.

Aku melompat lagi ke kontak lain. Giliran Sheril mem-posting foto dengan kegiatannya sebagai penyiar radio dengan banner besar di belakang. Bedah Buku Penulis Ternama Masa Kini. Sheeil sengaja memfokuskan lensanya pada tulisan itu. Ia tampak hebat dengan pekerjaannya. Sheril yang juga sudah bersuami begitu nyaman dengan apa yang ia kerjakan. Sahabat di mana pun berada tetaplah sahabat. Teman suka dan duka dalam mengarungi hidup yang penuh canda. Aku mulai merindukan kehadiran mereka.

"Kapan meet up ama kalian?" tanyaku pada ponsel pintar.

Aku pun berusaha mencari pembaharuan status Ningsih. Kami berlima selalu kompak sebelumnya. Kutekan nomor kontaknya, terakhir dilihat 00.00 dini hari. Dia jelas tidak aktif di dunia maya. Dia mungkin sedang asyik dengan lelembut entah di mana. Jariku terus menekan satu per satu gambar dari kontak di ponsel. Tiga puluh menit kuhabiskan untuk melihat kehidupan mereka yang entah benar sesuai atau hanya kamuflase belaka. Siapa yang bisa menjamin itu foto tidak dibuat-buat? Aku pun terkekeh sendiri. Kembali menekan nomor kontak suamiku tersayang.

Semua pesanku masih saja centang satu. Mungkin rumahnya jauh dan tidak ada sinyal.

"Tak ada gunanya punya ponsel pintar." Aku melempar ponsel sembarangan pada kasur. Tidak berani membenturkannya di lantai. Belum punya gantinya.

Suara mesin las milik Bapak meski sudah sore, meraung tanpa henti. Bapak harus menyelesaikan banyak pesanan seorang diri. Kembali kuambil ponsel melihat nomor kontaknya lagi.

'Aku ngelas dulu sama Bapak. Kalau sudah sampai jangan lupa kasih kabar.' Kubiarkan pesan itu sampai pada penerimanya. Pernikahan kami memang baru seumur biji kecambah, tapi kian hari rasa yang kumiliki kian bertambah. Aku bersyukur tak punya pemberhentian sesaat sebelum bertemu dengan David. Hatiku tak perlu menyisakan ruang untuk orang lain. Kuhempaskan semua rasa tak menentu yang menguasai rumahku. Waktunya bermain bersama piranti kerja Bapak.

***

Bengkel Las SUBISA tetap terawat meski ia kehilangan satu karyawannya. Bau serbuk besi dan percikan api menggugah semangatku. Kuikat rambut dan meraih APD beserta kaca mata.

"Ndari bantuin, Pak!" Kuangkat alat las tinggi dan tersenyum bahagia pada Bapak.

Bapak melepas kaca matanya, "Yakin? Gak lupa caranya?"

"Haha. Baru juga tiga bulan absen, Pak." Kuambil besi berukuran besar. Siap memotongnya menjadi beberapa bagian. Deru mesin las terus menerus menggerus besi berukuran besar itu. Sebentar lagi saat bara api terpercik lebih banyak, ia akan terlepas. Jatuh di lantai dan menimbulkan bunyi.

"Masih bisa, kan?" pamerku pada Bapak. Aku mengambil potongan besi itu.

"Aduh!"

"Kenapa Ndari?" Bapak melepas pegangannya pada mesin las dan melepas kaca mata. Aku tersenyum malu.

"He, lupa Pak. Yang dipegang malah ujungnya."

Bapak menepuk keningnya. "Bukan karena mikirin David, kan?" Ucapan Bapak justru membuatku jadi mengingat David lagi. Tanpa terasa bulir bening keluar dari pelupuk mata.

"Kenapa kamu? Nangis?" tanya Bapak menyadari sesuatu.

"Gak Pak. Gak nangis. Kelilipan ini mata Ndari." Aku menutupi perasaan aneh di hati.

"Duh, anak Bapak. Dah, istirahat dulu sana!" perintah Bapak menunjuk kursi panjang di bengkel SUBISA.

"Gak apa-apa Pak. Ndari masih bisa melanjutkan." Aku berdiri, bersiap memotong besi kembali. Kulepas sarung tangan dan menyeka air mata. Entah ini rindu yang menggebu atau rasa yang berlebihan dariku. Hatiku kosong seketika saat David tak ada. Jiwaku seolah sakit menanti kabar darinya. Baik-baik saja kah ia di sana? Lagi-lagi sekumpulan tanya menyapa. Langkahku gontai. Aku tak kuasa melanjutkan sesi pengelasan ini. Kalau diteruskan bisa-bisa tangan sendiri yang terpotong.

"Kenapa?" Bapak selalu bertanya kenapa. Aku mulai sebal. Bisa jadi Bapak jadi sasaran.

"Nggak kenapa-kenapa!" teriakku. Lalu pergi meninggalkan ruang itu. APD masih melekat di badan.

Segera mungkin kuraih ponsel. Membuka kunci dengan membentuk pola dan melihat apakah pesanku sudah berhasil dibaca olehnya. Pesan itu belum sampai. Nomor David masih belum bisa dihubungi. Aku semakin dibuat gusar.

Siapa yang menghubunginya? Siapa yang tadi pagi ditanyakan kabar oleh David Mahendra? Air mata tanpa aba-aba mencari jalannya. Membasahi pipi hingga hati. Dadaku sesak, tubuhku luruh ke bumi. Mas David ... Apa yang terjadi?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel