Bab 9 Pasca Pernikahan
Part 9 : Pasca pernikahan
Menikah bukan suatu perkara mudah. Saat hal indah yang dibayangkan tak selalu sesuai kenyataan. Meski begitu, aku tetap menyukainya dan tak menyesal berada pada lintasan ini bersama David Mahendra.
***
Hari ke-90 pernikahan kami.
David tak ada di ruang utama. Ia juga belum menyiapkan sarapan. Biasanya saat mataku terbuka dan tubuhku masih merebah di springbad, hidungku sudah mencium aroma kopi yang menyeruak dari dapur kami. Bahkan tak hanya satu kali menu special ia buatkan. David paket komplit dan sempurna untuk menjadi partner dalam rumah tangga. Pagi ini saat mendapati ia tak di sisi, aku merindukan sosoknya. Semalam kami menghabiskan malam hanya dengan diam. Lelah mengurus toko membuat kami cepat terlelap. Aku mencari-cari di mana suamiku. Turun ke lantai satu, berharap ia sedang menyiapkan toko.
Sunday Store semakin terkenal. Banyak pengunjung yang berdatangan. Kerja kami penuh semangat dan dedikasi. Tak ada main-main demi gaji yang diberikan Ibu pada kami. Ya. Sunday Store belum berpindah kepemilikan. Lantai satu masih lengang. Biasanya David sedang menyapu sebelum toko benar-benar dibuka. Walaupun saat Mbak Kiki datang juga akan dibersihkan. Tetap saja David melakukannya. Ia rajin sejak dalam kandungan sepertinya. Apa-apa ia kerjakan dengan timing yang tepat. Aku tak mendapati David di area itu. Kembali kunaiki tangga menuju lantai dua. Baru dua anak tangga terlalui, David membuka pintu lantai satu. Aku pun tersenyum riang.
"Dari mana?" tanyaku saat ia sampai pada anak tangga lebih dekat. David mengangkat tinggi kresek hitam di tangannya.
"Beli makanan?" tanyaku lagi. David mengangguk lalu meneruskan langkahnya. Aku berjalan di depan bersiap menuju meja makan.
"Kopi?" tanya David saat melihat meja masih bersih.
"Belum buat."
"Teh?" tanyanya lagi.
"Belum juga." Aku baru bangun, mana mungkin langsung merambah ke dapur.
David meletakkan kresek hitam di meja. Ia menghela napas. Kemudian beralih mengambil gelas dan menyeduh kopi sachet simpanan kami.
"Cuma satu?" tanyaku tanpa malu.
"Iya."
"Kok bisa?" David selalu membuatkanku minum sejak pertama kami tinggal di Sunday Store.
"Kamu gimana to. Mentang-mentang aku gak siapin sarapan, gak bangunin kamu, lantas kamu enak-enakan. Dalam sembilan puluh hari ini siapa yang selalu bangun pagi?" tanyanya sambil menyesap kopi. Aku mengacungkan jari telunjuk ke arahnya.
"Oke. Siapa yang ngepel lantai dan mengosek WC?" Raut wajah David berubah serius. Aku kembali menanggapi dengan respon sama.
"Siapa yang membereskan sisa makanan setiap malam?"
David berniat sekali mengungkit hal itu di pagi ini. Ada apa? Ada yang salah dan aku tak menyadarinya?
"Kamu."
"Siapa istri di sini?" tanyanya sambil berteriak.
"Aku." David menghela napas lagi. Ia kesal entah sebab apa. Aku yang sudah menyomot tempe mendoan di plastik dan bersiap menelannya terasa seret seketika. David kembali ke arah dapur.
"Begini pun gak bisa?" David menuang aneka gorengan itu ke piring melamin berwarna orange.
"Hehe." Kusunggingkan senyum sebagai respon terpolosku.
David menggerutu. Ia mulai menghabiskan kopi di cangkirnya. Dering ponsel miliknya membuyarkan fokus kami. Aku melirik sekilas. Siapa yang menghubunginya pagi-pagi? Ia cepat meraih ponselnya dan mengusap layar tanda terima panggilan.
"Iya, haloo. Gimana kabarmu?" David beranjak dari kursi. Menjauh untuk melanjutkan obrolan pagi. Rasanya aku terpojok sekali. Terhempas dengan pemandangan pagi ini.
Siapa yang menghubungi sampai-sampai ia menjauh begitu? Mantan pacar? Selingkuhan? Atau Om Parja? Oh, No. Pikiranku mulai kacau. Aku pun meneruskan kunyahan aneka gorengan yang sudah berpindah tempat.
"Dasar piring orange!" Kusingkirkan jauh piring itu. Berdiri dan bersiap mandi.
Selesai membersihkan diri, David masih asyik dengan ponselnya. Ia tak lagi mengobrol lewat sambungan udara melainkan menggerakkan jari di layar ponselnya, duduk di sofa. Meski penasaran, aku enggan menanyakan.
"Udah mandinya?" tanya David dengan tetap fokus pada layar ponsel.
"Udah."
"Tunggu aku sebentar. Kamu siap-siap dulu ya, kita ke Bengkel Las sekarang." David meletakkan ponselnya.
"Pulang?" tanyaku riang. David hanya mengangguk lantas meninggalkanku menuju kamar mandi.
Meski jaraknya dekat kami pulang satu bulan sekali. David melarangku bolak-balik ke rumah. Ia mulai menunjukkan cara hidup mandiri. 'Tidak boleh merepotkan Bapak, Ibu lagi. Kamu sudah jadi tanggung jawabku.' Setiap malam ia mengingatkan. Sebagai perempuan aku hanya perlu mengiyakan. Aku tak langsung bersiap-siap. Jujur panggilan tadi lebih membuatku penasaran. Aku tertarik sekali dengan ponsel David di meja. Tiga bulan ini kami tak pernah mengusik barang-barang pribadi. Ponsel mutlak privasi masing-masing. Layar utama dihiasi dengan walpaper bawaan. Tidak ada foto kami berdua seperti layar yang ada di ponselku. Aku mencoba meraihnya. Hari ini rasa penasaranku menggebu. Kutekan tombol kunci dari ponsel David. Tidak terbuka. Aku mencoba merangkai pola yang diminta. Keliru begitu saja. Mungkin harus menggunakan sidik jari. Aku pun meletakkan kembali ponsel David. Beralih ke kamar dengan perasaan kesal. Kutatap gambar diri di cermin. Apa ini? Apa yang kurasakan? Cemburu? Takut kehilangan? Pikiranku mengudara. Lagi-lagi tersentak dengan ulah David.
"Ya ampun, apa susahnya ketuk pintu dulu," ucapku memegang dada. David main masuk saja.
"Emang kenapa? Udah biasa, kan?" tanyanya heran.
"Kamu gak pakai baju!" ucapku menutup wajah.
"Tiap malam yang ngajak terbuka siapa?" tanyanya merasa di atas angin.
STOP. Pikiranku sedang kacau David, jangan diteruskan. Ketidakfokusan membuatku merespon berlebihan. Segera mungkin menyiapkan tas dan keperluan, bersiap ke rumah Bapak juga Ibu yang kurindukan. Hari ini kami menitipkan Sunday Store di bawah pengawasan Mbak Kiki.
***
Roda motor matic milik David menyentuh halaman rumah orang tuaku. Jarang sekali aku pergi jauh atau menginap lebih dari satu malam. Setelah menikah aku bahkan sebulan sekali baru pulang. Banyak hal berubah memang setelah janji suci itu terucapkan.
"Sundary, akhirnya pulang juga kamu." Bapak menyambutku hangat. Aku langsung saja memeluknya. Meski Bapak sesekali mampir ke Sunday Store, tetap saja pulang terasa istimewa.
"Pagi, Pak," sapa David ramah. David menyalami tangan Bapak.
"Pagi juga menantuku," jawab Bapak sama ramahnya.
"Ibu mana Pak?" Aku justru kerap merindukan Ibu. Apa jadinya rumah tanpaku?
"Di dalam. Sana kamu masuk dulu. Biar David sama Bapak." Aku langsung mengayunkan langkah. Mencari Ibu yang biasanya sedang sibuk dengan dagangannya. Dugaanku keliru. Ibu tak ada di ruang itu, Ibu justru sedang asyik di dapur.
"Sejak kapan?" tanyaku saat mendapati Ibu memegang alat masak.
"Sejak kamu jarang pulang." Ibu seolah punya indera keenam. Sudah tahu aku akan datang.
"Yang benar Bu?" Aku pun mendekat pada wanita yang melahirkanku ke dunia.
"Ibu baru sadar belum pernah mengajarkanmu soal ilmu perdapuran. Dipastikan David kaget. Ya, nggak?" Ibu mengaduk nasi goreng yang tercium aroma nikmatnya. Ucapan Ibu sesuai dengan apa yang kuhadapi saat ini.
"Kenapa? Sesuai?" tanya Ibu lagi.
"He, iya."
"Ya sudah sekarang buatkan minum buat suami kamu dan Bapak." Aku pun melakukan instruksi Ibu. Pikiranku semakin kacau. Dua cangkir teh hangat kubawa ke ruang tamu. Telingaku tak sengaja mendengar hal itu.
"Siapa yang mau pergi?" tanyaku penuh curiga.
"Eh, Ndari. Sini Sayang." Bapak menepuk kursi di sebelahnya.
"Kamu Mas?" tanyaku pada David. Hari ini ia menunjukkan sikap berbeda.
"Gini lho, David harus kembali ke kota rantau kita. Om Parja butuh bantuan mengurus toko beras. Lebih tepatnya David harus menuntaskan beberapa hal." Bapak mulai mejelaskan apa yang kudengar.
"Hari ini? Kenapa gak bilang langsung, Mas?" Aku ingin David yang berbicara. Bukan lewat Bapak.
"Ini baru mau bilang, tapi kamu sudah dengar duluan." David meraih cangkir teh yang kuhidangkan. Teh itu panas. Aku baru saja mendidihkannya. Namun, hatiku saat ini lebih panas.
"Lama?" tanyaku mencari info lebih banyak.
"Maksimal satu minggu, Ndari." Lagi-lagi Bapak membantu David. David meletakkan cangkirnya kembali. Separuh teh ia habiskan dalam waktu cepat. David buru-buru? Apa karena telepon tadi?
"Nitip Ndari, ya Pak. Kalau urusan David selesai, Ndari, David jemput lagi." David bersiap meninggalkan rumah Bapak.
"Iya, hati-hati. Salam buat Om Parja, ya." Bapak seolah tahu segalanya. Hanya aku yang tidak paham situasi sebenarnya. David berdiri dan mengayunkan langkah keluar. Aku dengan cepat mengikuti.
"Mas!" teriakku saat ia hendak meraih motor.
"Tidak sesuai dugaanmu. Besok, kalau sudah pulang aku cerita semua." David pandai betul merayu. Ia tak mau aku curiga begitu saja. "Sudah, ya. Aku buru-buru." David mengusap kepalaku. Ia benar-benar meninggalkanku bersama tanda tanya.
"Hati-hati," ucapku mengiringi suara motornya.
Apa yang terjadi? Apa yang tidak kuketahui? Sekali lagi menikah nyatanya bukan perkara jatuh cinta saja.
