Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11 Curhat Sahabat Bagian Satu

Waktu seolah melambat. Hari-hari terasa berhenti. Menanti kabar dari yang dicinta tak kunjung tiba, membuatku malas bekerja. Tanpa David di sana, aktivitas menjaga toko tak akan seru. Hingga pagi menjelang ia tetap tak memberi kabar. Aku pun memilih mengawali hari dengan mengikat tali sepatu kencang.

"Mau ke mana?" tanya Bapak saat aku mulai melangkah keluar.

"Lari pagi, Pak." Kupastikan ikatan itu tak terputus.

"Nggak lari dari kenyataan, kan?" Bapak memancing dalam air keruh lagi. Mataku mulai membulat. "Weits, Es Soda gembira nih!"

Dahiku mengernyit. "Soda gembira?"

"Daripada emosi mending es soda gembira, aja," ledek Bapak lagi.

"Bapak! Ndari males kalau digituin terus." Mulutku mulai merangkai huruf U. Kadang tak ada gunanya, tapi ekspresi seperti itu kerap kutunjukkan saat marah.

"Digituin? Emang Bapak ngapain?" tanya Bapak heran dengan tingkah putrinya.

"Gak tau Ah! Sebel!" Aku siap berlari kencang.

"Baru juga semalam ditinggal, udah uring-uringan kamu! David lagi sibuk, makanya gak sempat kasih kabar!" teriak Bapak. Aku tak peduli dan terus berlari.

Beberapa meter menjauh dari rumah, aku berhenti. Meraih ponsel dan memasang earphone. Lagu asal Boy Band Korea Selatan kuputar lewat playlist di ponsel. Meski masih pagi, kubiarkan Taeyang dan kawan-kawan berteriak 'To nigt! To night!' di telinga. Kupastikan ponsel itu tepat berada di saku. Tidak boleh sampai jatuh saat berlari.

Satu langkah, dua langkah aku sangat bersyukur. Bisa menikmati indahnya suasana pagi di jalanan sekitar rumah. Udara bersih dan gratis di sini menyambutku. Kota kami masih sangat asri. Belum terjamah polusi berlebihan. Taeyang dan kawan-kawan terus menggemakan kata to nigt. Musik mereka penuh semangat. Meski belum paham betul artinya, tetap saja aku suka. Cocok untuk berlari di pagi hari. Ponselku bergetar. Menginterupsi nyanyian Taeyang dan kawan-kawan. Segera kuraih dari saku dan membukanya. Bukan David juga bukan pesan penipuan.

[Pagi ini aku di rumah. Mampir aja.]

Pesan dari Anisa kubalas segera.

[Siap. Otewe lari. Siapin lontong sayur ya]

Beberapa detik berikutnya Anisa membalas dengan kata Ya. Segera kupercepat langkah dan menuju rumahnya yang hanya beda RW saja.

***

Aneka anggrek dan tanaman lain berjajar rapi. Anisa dengan kerudung besarnya menyambutku di pintu gerbang. Diantara kami berlima, Anisa paling teguh imannya. Kami beruntung memilikinya. Setiap salah satu di antara kami dilanda kegalauan hati, petuah-petuah Anisa mampu mengusirnya.

"Gak kerja?" tanya Anisa.

"Kan aku lagi lari. Bukan kerja," ucapku dengan napas terengah.

"Ya udah masuk dulu. Baru juga berapa meter udah kaya orang sakit, aja." Anisa memimpin langkah. Pandanganku menyasar pada koleksi bunga Anisa. Kalau hanya untuk sendiri rasa-rasanya terlalu banyak. Sepertinya Anisa mulai fokus dengan hobi florist-nya.

"Ini udah mau launching, Nis?" tanyaku saat sampai tepat di kursi teras.

"Doain ya, bisa segera. Nunggu acc ayahnya Cantika." Tangan Anisa mulai menuang minuman sirup yang sudah ia siapkan. Anisa teman terbaik pokoknya.

"Acc? Emang perlu, ya? Kan itu usaha kamu. Dari zaman belum nikah juga kamu udah hobi sama bunga dan tanaman, kan?" tanyaku sembari mengambil gelas berisi sirup.

"Namanya juga sudah menikah, Ndari. Kita wajib meminta izin suami dulu."

"Oh, gitu ya." Aku menegak habis minum yang disuguhkan.

"Gimana rasanya nikah?" Anisa duduk di kursi satunya. Kami terpisahkan meja.

"Maksud kamu?"

"Enak gak orang menikah?" Anisa selalu pandai membuka topik pembahasan.

Biasanya setelah ini ia akan lebih banyak mengisi dan menyampaikan. Kuhirup udara segar di area rumah Anisa. Mengembuskan dan mengulangnya tiga kali. Mungkin dengan ngobrol bareng Anisa, pikiranku bisa terbuka.

"Bingung aku, Nis. Kemarin David pergi, pamit sama Bapak, Ibu dan aku. Pergi ke mana aku nggak paham. Dia cuma bilang sebentar. Sampai pagi ini belum ada kabar juga." Aku mulai membuka cerita. Tujuanku ke rumah Anisa memang untuk sharing perihal masalah pernikahan.

"Pondasi pertama dalam sebuah hubungan adalah prasangka. Mau dibawa ke arah yang baik atau buruk. Kalau kamu bisa berprasangka baik, pikiranmu akan fokus pada keselamatannya. Oh, bisa jadi sedang sibuk. Bisa jadi tidak ada sinyal. Tapi kalau fokus ke yang buruk. Mudah sekali hati bertanya macam-macam. Jangan-jangan? Jangan-jangan? Terus sampai kamu tidak bisa menerka lagi." Anisa menuang kembali minuman ke dalam gelasku.

"Tapi apa susahnya memberi kabar? Atau minimal memberi tahu lah, ke mana dia pergi. Dengan begitu aku tidak berprasangka buruk."

"Ndari, Ndari. Pernikahan kalian baru tiga bulan, bisa jadi David sengaja menguji. Ia ingin tahu seberapa sabar wanita yang dinikahinya. Atau seberapa besar cintamu dengan jarak yang ia buat." Anisa mengedarkan pandang ke taman anggreknya.

"Kalau kaya gitu, dia yang berprasangka buruk, dong," timpalku tak sependapat dengan ucapan Anisa.

"Lihat dulu konteksnya. Bisa jadi David pergi sedang menyiapkan hal besar untuk pernikahan kalian." Anisa menoleh dan tersenyum. Senyum lembut sekaligus menenangkan.

"Posting dulu, jangan negting."

"Iye ... Uztadzah."

Suara kring kring sepeda mendekat ke taman anggrek Anisa. Suaminya bersama Cantika pulang membawa bingkisan kresek hitam. Anisa sigap menghampiri. Ia mencium punggung tangan suaminya lantas menggendong Cantika.

"Udah lama, Ndari?" tanya Dito setelah mereka sampai di teras.

"Belum Mas Dit. Belum habis ini minumnya," ucapku dengan mengangkat gelas.

"Udah nambah tiga kali itu, Mas." Anisa meralat jawabanku.

"Hust! Diem Nis. Eh, Cantika ... sama tante Ndari, sini." Kuulurkan tangan pada Cantika yang berusia tiga tahun.

"Hemmm. Gak mau!" ucapnya dengan membuang muka. Dito dan Anisa tertawa melihat kami.

"Duh, beda banget ama kamu ya, Nis?" tanyaku heran.

"Itulah pernikahan. Selalu penuh kejutan. Termasuk masalah Cantika ini. Makanya gak usah galau, baru satu malam ditinggal udah uring-uringan." Anisa sengaja betul menggodaku. Pipiku jelas bersemu merah.

"Maklum Nis, pengantin baru." Dito terkekeh. Kemudian masuk ke rumah bersama Cantika.

"Nih, pesenan kamu." Anisa mulai membuka bingkisan yang dibawa Dito.

"Lontong sayur?" tanyaku tak percaya. Balasan pesanku tadi hanya basa basi.

"Iya." Anisa mengambil mangkuk di kolong meja. Benar-benar sudah disiapkan olehnya.

"Makasih, Nis. Kamu emang jagonya bikin orang seneng." Aku bersyukur punya sahabat seperti Anisa.

"Kalau gak diturutin takut ngamuk bawa besi. Kan lagi rindu sama kekasih hati." Anisa bisa saja bercanda.

"Haha ... gini ya, rasanya jadi istri." Aku menahan diri. Menutup mulut agar tawaku tak meledak. Anisa tersenyum lagi. Obrolan kami pun terhenti saat lontong sayur siap mengisi.

Bertemu sahabat meski singkat selalu menghadirkan kesan tersendiri. Memiliki mereka membuatku bahagia. Lintasan waktu dan kesempatan yang berpadu pada satu titik temu, membuat kehadiran Anisa begitu berharga. Pertemuan kami selalu penuh makna. Kata siapa ucapan Anisa lewat begitu saja ditelinga? Pagi ini mungkin aku tak peduli, tapi bisa jadi ucapannya terukir di memori dan akan kubuka suatu hari nanti.

Anganku kembali mengudara. Wajah David terbayang jelas di mangkuk lontong sayur. Kalau diam-diam begini, mana bisa aku tak berprasangka? Aku terus menyendok kuah di mangkuk dan melahapnya. Wahai orang yang berhasil mengusik hatiku. Tolong ... balas pesanku!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel