Pustaka
Bahasa Indonesia

Love And Reality

45.0K · Tamat
Hamira Irrier
37
Bab
1.0K
View
8.0
Rating

Ringkasan

Sundari putri pemilik bengkel Las di kota ia tinggal. Jumpa pertamanya dengan David Mahendra seorang reseller produk online milik ibunya membuatnya jatuh cinta. David adalah jodoh yang sudah dipilihkan untuk Sundari. Pernikahan mereka diatur sedemikian rupa. Namun, laki-laki itu ternyata menyimpan banyak rahasia yang tidak diketahui oleh Sundari dan keluarganya.

RomansaIstriKeluargaPernikahanBaper

Bab 1 Cintaku Selengket Adonan Cilor

Namaku Sundari. Putri pemilik bengkel Las di Kabupaten. Aku anak pertama sekaligus terakhir di keluarga. Orang tuaku membesarkanku dengan penuh cinta dan kasih sayang, disertai serbukan gram besi.

“Baiklah waktunya membuat mainan.” Kupastikan mengenakan APD lengkap beserta kacamata las otomatis. Kalau terlalu terang bisa di-setting menjadi dark mode seperti tampilan banyak aplikasi terkini, dan bisa diterangkan lagi jika semua terasa remang-remang. Pokoknya sesuka hati saja mengaturnya. Aku bersiap membuat beberapa pesanan.

“Sundari ... Sundari. What are you doing in Sunday morning?” Bapak memanggilku dengan gaya khasnya.

“Lah, ngapain lagi Pak? Ngelas lah.” Kuperlihatkan rangka besi yang sudah berhasil terpotong.

“Hebat anak bapak. Nggak sia-sia ya tiga tahun sekolah STM ditambah empat tahun kuliah Teknik Pemesinan. Kamu sudah bisa menjadi pewaris Bengkel SUBISA ini.” Bapak berbangga diri. Bengkel SUBISA- Suprapto Besi Sulastri Baja. Usaha turun temurun keluarga Bapak.

“Ya elah, Bapak. Anak bapak juga cuma Ndari, jelas Ndari yang jadi pewarisnya.” Aku tak kalah bangga dengan nama bengkel SUBISA sebenarnya.

“Pintar kamu.” Bapak bersiap mengenakan APD-nya juga dan memulai hari dengan serbuk besi. Waktunya bekerja penuh.

Mengeksekusi rangka besi yang siap menjadi berbagai macam bentuk. Kembali kukenakan kacamata otomatis dan melanjutkan ke potongan besi lain.

“Sundari ... Sundari, What are you doing in Sunday morning?” Ibu datang dengan gaya sama. Memanggil namaku mesra. Hanya saja lebih parah dari Bapak. Kalau sudah memanggilku dengan embel-embel Sunday morning pasti ada sesuatu. Ibu, sudah berada tepat di depanku.

“Apaan? Gangguin aja ini, Ibu.” Kulepas kembali kacamata. Dalam dark mode Ibu tetap terlihat sebenarnya. Bagiku mekanik tetap harus punya kode etik.

“Beliin Ibu cilor sana, yang ujung perempatan pasar.”

“Cilor? Pagi-pagi Bu?” tanyaku tak percaya menu sarapan kami hanya cilor si aci dan telor.

“Ibu lagi kepingin. Beliin ya?” pinta Ibu dengan muka memaksanya. Aduh Bapak saja takut apalagi aku. Ibu tidak mengenal alasan nanggung sedang ada kerjaan.

“Dah Ndari, beliin aja. Kalau ibumu ngambek nanti kamu disuruh jadi reseller produknya lagi lho. Mau kamu?” Bapak tetap melakukan pengelasan dan menyela pembicaraan.

Oh No, dibanding harus berjualan dan memikirkan beragam metode pemasaran aku lebih memilih membeli cilor.

“Oke lah Bu. Mana uangnya?”

“Tuh, minta Bapak,” jawab Ibu lantas tersenyum manis pada Bapak.

“Ya, ya. Bapak lagi.” Ibu dan aku terkekeh. Bapak pun mengeluarkan lembaran rupiah dari APD-nya.

Kuterima uang sepuluh ribuan yang sudah kumal. Dengan tetap memakai alat pelindung diri atau lebih tepatnya wearpack, aku mencari pesanan Ibu di pagi hari. Tidak terlalu pagi sebenarnya, sudah jam sembilan. Aku pun mengendarai sepeda motor.

***

Antrian panjang mengular. Entah seenak apa cilor Bang Jack ini. Meski Ibu dan Bapak kerap membeli, aku tidak begitu suka. Adonan aci dan telor yang lengket membuatku malas-malasan menyantap.

“Bang Jack tiga ribuan tiga ya, Bang,” ucapku menyerobot antrean. Beberapa pasang mata melotot tajam.

“Antri Mbak Ndari.” Bang Jack tak enak hati. Terutama dengan pria yang hendak mengemukakan pesanannya.

“Lima ribuan dua dan tiga ribuan satu ya, Bang.” Pria dengan setelan kemeja rapi yang tadi ikut melotot padaku bicara.

“Baik Mas.” Bang Jack siap mencampur adonan.

“Bumbunya pakai takaran ya, Bang. Keju tiga taburan, balado lima, jagung manis enam dan yang pedas empat. Untuk semua pesanan saya.” Aku mengernyitkan dahi. Ribet amat nih orang? Batinku.

Bang Jack mengiyakan permintaan pelanggan rapi di depannya. Meletakkan pada plastik bening lantas menaburkan bumbu sesuai arahan.

“Aduh Pak, kebanyakan satu itu.” Pria dengan setelan kemeja necis-nya memprotes kesalahan Bang Jack. Kutahan tawaku melihat raut muka Bang Jack.

“Rame Bang?” tanyaku pada Bang Jack.

“Rame Mbak, gak lihat antreannya?” tanya Bang Jack balik.

“Iya, iya Bang.”

“Pak, itu kebanyakan.” Pria tadi kembali memrotes pesanannya.

“Mbak Ndari sih, ngajakin ngobrol jadi salah saya.” Bang Jack gantian protes kepadaku.

“Loh Bang, salah saya apa? Ngobrol doang.” Aku tak terima sapaan ramahku dianggang menganggu.

“Lagian masnya kenapa nggak tabur sendiri sih, biar tepat kadar bumbunya.” Pria tadi tak menaggapi ucapanku. Ia fokus mengamtati tangan Bang Jack.

“Makasih Bang,” ucapnya saat plastik bening berhasil menampung adonan cilor dan siap membayar. Ia berusaha mengeluarkan uang dari saku celananya yang sempit. “Berapa total, Bang?”

“Tiga belas ribu Mas.”

“Bisa pakai kartu kredit, Bang?” tanya pria tadi menghenyakkan banyak orang, termasuk aku.

“Mana bisa Mas? Emangnya ini Indotoko?”

“Saya gak bawa uang tunai, Bang.” Pria tadi tampilannya saja yang keren, masa tiga belas ribu tidak punya.

“Minggir dulu Mas, itu antrean panjang di belakang,” pinta Bang Jack. Pria tadi pun bergeser dan lebih dekat dengan sisiku.

“Mbak bawa uang lebih?” tanyanya padaku.

“Enggak. Cuma seribu ini nanti lebihannya,” jawabku santai. Kalau ada saja jelas kupinjamkan.

“Oh, ya sudah.” Wajahnya yang tampan tampak kasian.

“Dah Mas sampean pergi dulu saja. Cilornya dibawa gak apa-apa. Saya jualannya di sini terus, kok. Nanti ambil dulu tuh, uangnya di ATM.” Bang Jack berbaik hati memberikan hutang cilor pada si pria tampan.

“Terima kasih, Bang.” Pria tampan tadi pergi tanpa beban berarti.

“Ganteng ganteng kok, gak punya duit ya, Bang,” ucapku kembali mengganggu aktivitas Bang Jack.

“Punya, Cuma gak punya tunai.” Bang Jack yang memang akrab denganku mulai membuat pesanan.

“Makasih, Bang.” Kuserahkan uang sepuluh ribuan, menerima kembalian dan kembali ke bengkel Las SUBISA.

***

Ini adalah suatu hal yang kupelajari. Bahkan, dengan memegang peralatan las hidupku berjalan penuh kegembiraan. Aku sama sekali tak terbebani dengan pilihan yang berbeda dengan perempuan-perempuan pada umunya. Hanya saja diusia yang hampir dua puluh lima, satu pria pun belum ada yang datang menyatakan cinta. Ibu sudah sering memintaku mengubah penampilan diri dan mencari pendamping sejati.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” jawab Ibu terlihat sambil menikmati seplastik makanan. “Loh, Bu, itu cilor? Kok udah dapat? Ini Ndari baru balik lho, Bu.” Kuangkat plastik bening isi pesanan Ibu.

“Ada yang berbaik hati ngasih ke Ibu. Calon mantu idaman banget pokoknya.” Ibu terlihat begitu riang. Seperti kedatangan tamu spesial.

“Siapa Bu?” tanyaku, kemudian duduk di sebelah Ibu.

“Tuh reseller Ibu. Lagi milih barang pesenannya.” Ibu menunjuk ke ruang penyimpanan semua barang jualan online. “Lihat aja gak apa-apa. Ganteng bin tampan.”

Aku pun berdiri lantas mencari tahu sosok yang memberi Ibu cilor. Jarang-jarang reseller Ibu sampai begitu perhatian. Pria dengan setelan kemeja rapi, berjongkok sedang memilah barang. Style-nya persis pria yang membeli cilor Bang Jack tadi.

“Mas-nya yang tadi hutang cilor?” tanyaku dengan tetap berdiri di pintu. Pertanyaanku membuatnya menoleh dan buru-buru berdiri.

“Lah, kamu?” tanyanya sama kagetnya.

“Haha. Hutang cilor cuma buat Ibu?” kekehku mengingat momen ia meminta takaran bumbu.

“Jangan keras-keras Mbak, nanti Ibu tahu. Saya nggak enak.” Ia berdiri dan mendekat pada pintu.

“Wah, sehebat itu memang ibuku. Sampai-sampai Mas rela hutang karena gak bawa uang tunai, ya.” Aku terus saja menggodanya. Jujur dia memang berwajah tampan dan rupawan.

“Jangan kasih tahu ya, Mbak, please. Nanti reputasi saya turun. Ibu gak kasih kepercayaan lagi,” ujarnya.

“Haha. Tenang aja Mas, Ibu gak kaya gitu.” Aku masih ingin terus bicara dengannya. Semacam medan magnet menarik kuat.

“Makasih, Mbak.”

“Sama sama,” ucapku tak bisa lagi memperpanjang kata.

“Eh, Mbak namanya siapa?” Aku bersiap meneruskan langkah sebenarnya, tapi senang juga ditanya nama.

“Sundari.” Sayangnya namaku hanyalah Sundari.

“Nama yang cantik Mbak,” ucapnya entah jujur atau mengada-ada.

“Makasih. Nama pemberian Bapak sama Ibu itu,” timpalku.

“Saya David. David Mahendra,” ucapnya bangga. “Salam kenal Mbak.” David mengulurkan tangan. Aku pun menjabatnya.

Lengket macam adonan cilor Bang Jack. Aku ... sulit melepasnya.

***