Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Malam Bermandikan Sinar Bulan

Sunday Store di malam hari semakin megah. Lampu bagian depan berubah kerlap kerlip macam lampu tujuh belasan. Dari luar Sunday Store tampak berbeda. Tempat ini bukan lagi toko offline milik Ibu saja. Pantas saja waktu itu David giat mengepel lantai meski Sunday Store bukan miliknya. Sekarang bahkan interior juga sedikit diubahnya. David entah dengan tujuan apa menyewa bangunan lantai dua. Ia berkuasa penuh atas lantai itu.

"Luar biasa," ucapku saat sampai di lantai dua itu.

"Apa yang luar biasa?" tanyanya meletakkan tasku di lantai.

"Kamu."

"Aku?" tanyanya lagi.

"Iya, kamu." Kuraih tas pakaianku dan menuju kamar utama.

"Kenapa bisa?" David mengekor di belakangku.

Kalau mau ke kamar juga, ngapain tas diletakkan sembarangan? Apa susahnya membawa sampai kamar? Dasar laki-laki menyebalkan. Aku pun membuka satu-satunya kamar di lantai

dua.

Malam ini hingga seterusnya akan kuhabiskan di sini. Praktis aku akan bersamanya sampai pagi. Tidak ada yang melarang dan menghakimi. Hari ini kami sudah resmi menjadi pasangan suami istri. Aku membuka tas itu, mengeluarkan satu per satu baju. David seolah membantuku menata baju. Nyatanya ia hanya jadi mandor saja. Aku membuka lemari dan menyaksikan tatanan rapi bajunya. Semua berdasarkan jenis dan warna yang sama.

"Punyaku taruh mana?" Saat aku menyadari tak ada space kosong sedikit pun. David tersenyum aneh. Ia menunjuk lemari plastik yang cara membukanya dengan ditarik dan didorong. Terlebih bergambar Hello Kitty. David sengaja betul menahan protesku dengan gambar itu.

"Pakai itu?" tanyaku tak percaya.

"Iya. Kan kamu juga gak bawa banyak baju," ucapnya lantas menutup lemari besar di kamar kami.

"Huh. Dasar!" Aku menggerutu. Sebal.

"Kalau sudah selesai buruan keluar, ya. Aku tunggu dekat jendela." David beranjak dari kamar kami.

Darahku berdesir. Ucapan David membuatku merinding. Kejutan apa lagi? Apa langsung sesuai yang dikatakan Bapak dan Ibu? Malam ini? Kutepis pikiran-pikiran aneh yang mulai mengganggu. Ini, kali pertama aku menjalin hubungan dan langsung terikat pernikahan. Semua serba mendadak rasanya. Aku belum siap melakukannya.

Satu per satu potong baju kutata. Aku tak bisa jika menyesuaikan warna dan jenisnya seperti David. Suamiku itu selain rajin bersih-bersih juga punya standar kerapian yang cukup tinggi. Berbeda sekali dengan aku yang lebih banyak berantakan dalam melakukan pekerjaan. Kami tak lagi bagai langit dan bumi melainkan bagai air dan api. Aku cukup menata bajuku sebisanya, lantas memenuhi arahan David.

Kuraih barang terakhir di tas pakaian. Night and day cream yang seadanya itu kuambil, meletakannya di lemari bagian atas. Aku pun meraih salah satu dari mereka. Mengoleskannya pada muka. Setelah itu mewarnai bibirku dengan lipmatte yang sedikit menyala. Hadiah dari Ibu sebelum melangsungkan resepsi pernikahan. Malam ini wajahku tak hanya milikku. Kupastikan wajah ini harus enak dipandang. Teringat ucapan David di pagi sebelum akad dilangsungkan. Aku menepuk wajah pelan dan menatap kembali gambar diri pada cermin. Sudah oke untuk malam pertama.

David duduk di sana. Lampu ruang utama tak menyala. Ia membuat ruang menjadi remang. David menatap jendela yang sengaja tak ditutup tirainya. Ia menikmati betul momen di bawah sinar bulan.

"Ehem," sapaku pada David.

"Duduk!" pintanya seraya menepuk lantai. Aku mengikuti arahannya. Duduk di sebelah suamiku tercinta. Malam berhiaskan sinar bulan selalu mengagumkan. Dulu aku memandangnya seorang diri. Kini, aku bersama suami.

"Kau lihat bulannya?" tanya David tetap memandang bulan.

"Iya, jelas sekali di malam ini."

"Bulan selalu baik hati," ucapnya lagi. Aku mengernyitkan dahi, tak paham maksud ungkapannya. Beberapa detik pikiran kami mengudara. Tak ada suara dan asik bersama bulan serta hening malam.

"Kau ingat siapa aku?" tanya David melompat ke topik lain. Aku menggeleng. Memang satu memori tentang David tak ada diingatanku. Seumur-umur belum pernah melihatnya. Hutang cilor Bang Jack awal pertama kali bertemu.

"Dasar gadis pencium beras," ucapnya lantas tersenyum manis.

"Jangan gitu," ucapku malu.

"Kenapa?"

"Senyummu melelehkan diriku." Aku secepat mungkin menatap bulan yang terang. Tak berani menatap David lagi.

Rona merah sudah pasti menempel di pipi. Jelas sekali di kening tertulis LAGI JATUH CINTA. Perasaanku semakin tak menentu saja.

"Dulu kamu selalu merepotkanku. Setiap kamu selesai memindahkan beras-beras itu, aku dapat tugas tambahan dari Ibu." David membuka sesi ingatan kami.

"Tugas tambahan?" timpalku merasa aneh.

"Iya. Ibuku yang setiap hari membantu Om Parja menjaga tokonya." David menjeda ucapannya. Sengaja menungguku mengingat momen itu.

"Kadang kala aku ikut bersamanya ke toko beras. Sialnya setiap aku di sana kamu selesai memindahkan bulir putih itu dari satu wadah ke wadah lain. Praktis aku mendapat tugas tambahan, agar tugas Ibu cepat selesai dan bisa segera pulang."

"Bu Rutmini?" tanyaku mengingat nama ibu-ibu yang membantu Om Parja dulu.

"Iya." David tetap menatap bulan.

"Beliau sudah bersisihan dengan bulan. Berada dekat dengan satelit bumi yang mengagumkan." Kesedihan muncul di wajah David. Pantas saja tak ada sosok Ibu saat kami melakukan lamaran maupun pernikahan.

"Maaf, aku gak tahu," ucapku merasa sedih juga. Aku tak pernah tahu kabar tentang Om Parja dan karyawannya setelah pindah dari sana. Kota yang membesarkanku hingga kelas lima.

"Sejak saat itu aku resmi menjadi anak Om Parja. Beliau mengangkatku dan merawat dengan penuh cinta. Apa pun permintaannya berusaha ku penuhi. Termasuk ... menikahimu yang dulu pernah diam-diam mengusik hatiku." David berkata mantap.

Malam yang lengang dan Sunday Store yang berdiri sendirian menambah hening suasana. Seolah hanya ada kami berdua di muka bumi yang luas ini. Getar hati pun semakin menjadi. Terlebih sekarang tak ada lagi penghalang di antara kami. Mengusik hatinya? David suka aku sejak lama?

"Kamu nikahin aku karena terpaksa? Sebagai bakti sama Om Parja?" tanyaku sembari menatapnya. Aku harus menemukan setitik rasa di hati David.

"Kata siapa? Sok tahu kamu." David menonyor kepalaku.

"Kalau bukan karena terpaksa terus apa?" Aku memegangi kening. Sembarangan saja David ini. David beralih menatapku. Wajahnya serius sekali. Seperti hendak membuka sidang skripsi.

"Karena kesal selalu mendapat tugas tambahan, diam-diam aku mengamati siapa gadis pencium beras dan pemindah beras itu. Aku berusaha mencari tahu. Dan menemukan gadis berambut panjang yang selalu mengenakan tas selempang Hello Kitty." Aku mulai menerawang ingatanku. Dulu ke mana-mana tas kecil itu memang selalu kubawa. Senang bukan main melihat gambar kartun dengan perpaduan warna pink dan putih.

"Kenapa gak ngajak kenalan?" tanyaku yang memang tidak pernah berpapasan dengan David sebelumnya.

"Siapa aku? Anak karyawan kelas rendahan. Mana bisa berkenalan dengan anak juragan." David menahan getir di suaranya.

Ya. Dulu Bapak tak hanya juragan. Usahanya berkembang pesat.

"Sampai aku pindah pun tidak cari tahu?" tanyaku geram dengan sikap David kecil.

"Buat apa? Kalau jodoh selalu menemukan jalannya. Bahkan setelah banyak waktu berlalu, gadis pencium beras itu tetap sama. Ia masih saja cantik dan unik." David semakin mendekatkan jarak. Tak ada penghalang lagi di antara kami saat ini. Aku bergeming. Hanya bisa mengikuti arah angin di malam ini.

"Sundari, satu satunya putri Bapak Suprapto dan Ibu Sulastri." David tersenyum simpul. Kurasakan betul sentuhan berbeda di wajahku. Entah ini cinta atau hanya halusinasi belaka aku tetap menikmatinya. Yang pasti tubuhku semakin hangat. Bisa jadi dari atas sana Bu Rutmini menyaksikan apa yang terjadi di malam ini. Malam di mana kami bermandikan sinar bulan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel