Bab 7 Hari Pernikahan
Dua minggu berlalu begitu cepat. Aku termangu melihat gambar diri di cermin. Secantik ini kah diriku? Aku tersenyum bangga. Baju kebaya putih pilihan Ibu benar-benar cocok denganku. Di luar tepatnya di halaman depan, tenda khas pernikahan sudah terpasang. Hari besar yang datangnya tak pernah terduga pun tiba. Aku ... akan menikah dengannya. David mengenakan baju pengantin dengan warna senada. Segala bentuk persiapan dilakukan orang tua dan dirinya. David pria yang setelah mengajakku kencan dadakan langsung menghilang. Ia tak pernah menghubungiku dulu dan selalu aku yang mengejarnya. David sudah berada di kamarku sejak pagi tadi.
"Hello Kitty?" tanyanya saat melihat selimut tidurku.
"Iya. Memang kenapa?"
"Kurang cocok denganmu. Kalau gambar ultraman atau power ranger lebih pantas," ucapnya dengan menutup mulut.
Perias pengantin yang sedang menyapukan bedak ke seluruh mukaku pun ingin tertawa. "Itu diapain Mbak, Sundarinya?" tanya David lagi. Ia sengaja betul mengganggu kami.
“Dipoles to, Mas. Biar tambah cantik." Mbak perias kenalan Ibu tetap fokus pada tugasnya.
"Gak sekalian diamplas, tuh muka?" Mulut David selalu mengeluarkan komentar tak terduga. Aku meliriknya tajam.
"Yak!"
"Padahal sudah cantik tanpa riasan apa-apa. Lebih natural dan enak dipandang." David menatap dirinya pada cermin juga. Di mana pantulan diriku terlihat. "Tapi, gak apa-apa khusus hari ini. Biar lebih cantik." Senyuman maut dari wajahnya berhasil mengoyak hatiku. Aku tersipu malu.
***
Prosesi sakral pernikahan berlangsung khidmat. Bapak dan Ibu mengurai air mata. Mereka bahagia putrinya menikah, tapi sedih juga harus melepasnya.
"David, jagain anak Om, ya." Bapak merengkuh David dalam peluknya saat momen sungkeman tiba. "Sekalinya kamu nyakitin dia, habis kamu." Meski berbau ancaman, ucapan Bapak menunjukkan kasih sayang besar.
"Siap, Pak. David pasti jagain Sundari dan sedikit demi sedikit mendidiknya juga." Aku mendengar ucapan itu. Janji David pada Bapak. Air mata haru pun jatuh dari pelupuk mata.
David berlanjut ke arah Ibu dan juga Om Parja. Giliranku berhadapan dengan Bapak. "Sundari ... What are you doing in the morning? Selamat berbahagia anakku." Bapak tak bisa lagi menahan air mata. Beliau merengkuhku dan mendekapku penuh cinta. Bagiku Bapak adalah cinta pertama. Tak ada laki-laki lain sehebat beliau. Hari ini David memang resmi menjadi pendamping diri, tapi Bapak tetaplah yang terkeren. Apalagi saat memegang alat las.
"Terima kasih Pak, sudah jagain Ndari selama ini. Terima kasih untuk restunya." Aku tak kuasa juga menahan air mata. Membalas peluknya dan mengucap syukur tiada tara. Bapak tak pernah mau siapa pun menyakitiku.
Puas dengan keharuan bersama Bapak, aku beralih ke Ibu. Wanita yang tidak pernah berhenti menyayangi putrinya. Ibu mengelap air matanya dengan tisu. Ia juga tak kalah haru, seperti Bapak. "Ndari ... Selamat, ya. Ibu doakan yang baik-baik buat kamu." Ibu memberi senyum padaku, lalu merentangkan tangannya. Beliau ingin aku memeluknya juga.
"Makasih Bu. Makasih udah jadi ibunya Ndari," ucapku memeluk lebih erat Ibu.
David sudah selesai dengan sesi sungkemnya, aku masih harus meminta restu pada Om Parja. Kuraih tangan kanan beliau lalu menciumnya. Orang yang setahuku tidak menikah ternyata memiliki David yang luar biasa kecakapannya. Orang yang tampak garang ternyata penuh dengan limpahan kasih sayang.
"Sundari, kamu ingat Om, gak?" tanyanya saat tanganku masih memegang erat tangannya.
"Ingat Om. Ndari ingat."
"Apa kamu ingat David?" Pertanyaan Om cukup tak terduga. Di momen singkat seperti ini?
"Eh, ti-dak, Om." Aku memang tak menyimpan memori tentang David.
Seolah mengajakku menyusuri masa lalu. Om bertanya, "Dulu, kamu suka memindahkan beras dari satu wadah ke wadah lain di tempat Om, bukan?"
"Iya, Om. Hobi Ndari saat masih kecil dulu suka nyium bau beras." Ya. Bagiku aroma bahan pokok itu begitu khas. Membuat hidungku selalu ingin menghidu.
"Siapa yang beresin kalau berasnya tumpah Ndari?" tanya Om lagi. Tumpah? Siapa?
"Coba kamu ingat-ingat lagi. Beras yang coba kamu pindahkan selalu berceceran. Saat itu ada orang yang selalu membersihkan." Om menyentuh lenganku. Ia membuatku mendongak. "Orang itu, sekarang menjadi suamimu." Om menunjuk David yang berdiri tak jauh dariku. David mengangguk seolah setuju dengan ucapan Om.
"Ndari, ndak ingat Om." Aku benar-benar lupa siapa yang membereskan beras-beras itu. Atau mungkin dia bukanlah orang penting di keluarga Om? Saat itu?
David mendekat. Menyentuh lenganku, membantu berdiri.
"Ayo bangun! Teman-teman dan kerabat lain menunggu." Aku yang masih bingung dengan omongan Om dan tingkah David semakin haru. Yang pasti David bukan pria sembarangan. Aku mengukir senyum padanya.
Mau kau bawa aku ke mana David? Siapa kau sebenarnya?
"Nanyanya nanti aja kalau udah di kamar." David mengusap wajahku. Hancur sudah momen romantis itu.
Kami menghabiskan acara resepsi dengan senang hati. Bapak dan Ibu tak mengundang banyak orang. Pernikahan kami hanya dihadiri kerabat dan sahabat. Aku resmi menjadi istri David Mahendra dan tersentak di malam hari.
***
"Sunday Store? Langsung?" tanyaku saat David menyiapkan sebuah tas pakaian.
"Iya, sudah bilang sama Bapak dan Ibu juga." Jawabnya sembari membuka lemari.
"Kamu mau ngapain? Gak perlu mindahin semua baju, kan?" tanyaku saat David mulai memindahkan baju di lemariku.
"Yang penting cukup untuk satu bulan. Nih, siapin sendiri," perintah David.
Anehnya meski sebal, aku tetap menurut padanya. Beberapa potong baju pun kumasukkan.
"Make up? Skin care?" tanyanya saat aku tak memindahkan yang ada di meja rias.
"Apa yang mau dipindahkan? Paling cuma day and night cream doang." Aku tidak telaten menggunakan piranti kecantikan. Make up ku tak sebanyak yang David kira.
"Ya, intinya yang menjadi keperluanmu wajib kamu bawa. Tidak ada bolak balik rumah lagi." David yang tadi pagi membuatku meleleh mulai bertingkah menyebalkan.
"Maksud kamu? Ke sini?" tanyaku tak percaya.
"Iya, kan sudah nikah sama aku. Mulai malam ini kita tinggal di Sunday Store. Aku sudah menyewa bangunan lantai dua."
David sempurna membuatku menganga. Kaget sekaligus tak paham dengan jalan pikirannya.
"Tidak besok pagi aja?" Aku mencoba mencari alasan.
"Enggak! Sewa mulai malam ini. Jadi, kita ke sananya sekarang." Dasar si David menyebalkan. Aku wajib meminta bantuan orang tuaku. Kuayunkan langkah keluar kamar. Mencari Bapak dan Ibu.
"Pak, Bapak nggak ngusir Ndari, kan?" tanyaku tanpa basa basi.
"Ngusir gimana maksud kamu?" Bapak tetap asyik dengan siaran televisi.
"Masa malam ini Ndari langsung ke Sunday Store sama David? Itu bohong, kan Pak?" tanyaku berharap Bapak tak mengiyakan ucapan David.
"Itu hak suami kamu. Kalau dia ngajaknya sekarang, kamu wajib menuruti. Dia sudah bayar uang sewa untuk satu tahun penuh." Bapak bahkan tahu soal sewa menyewa itu.
"Yang benar saja Pak?"
"Benar kok sayang. Itung-itung bulan madu sana. Biar lebih bebas. Kalau di sini takut kedengeran Bapak sama Ibu," timpal Ibu yang tiba-tiba datang dengan senyum mengembang.
Bapak dan Ibu bersiap meledekku. Mereka menggoda sambil cekikikan seperti kuntilanak. Seseram itu kah? Kuhalau pikiran kotor di kepala. Ngobrol dengan Bapak dan Ibu tak ada gunanya. Aku kembali ke kamar. Malu sendiri. Kalau diteruskan protes malah jadi bulan-bulanan mereka.
"Gimana? Gagal?" tanya David senang.
"Huh!" Aku menyambar beberapa potong pakaian lagi. Satu lawan tiga jelas membuatku kalah. David tersenyum kembali. Senyum yang membuatku sebal sekaligus senang. Ucapan Bapak sama Ibu tidak mau kupikirkan. Jam sembilan malam kami pergi dari rumah menuju Sunday Store yang megah. Berdua saja.
