Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Kencan Dadakan

Aku masih terpana dengan panorama di depan mata. Pagi yang menjadi semangat untuk menyongsong hari selalu kusyukuri. Tak terkecuali pagi ini. Saat David berdiri di sampingku lengkap dengan secangkir kopi dan sinar mentari. Rasa-rasanya matahari di ufuk timur berpindah tepat di sisiku. Menyilaukan dan menghangatkan. David beralih ke sofa dengan bantal persegi bercorak hitam putih. Duduk di sana lalu mengusap dahinya yang berkeringat. Aku ikut mendudukkan diri juga di sofa.

"Capek?" tanyaku dengan tetap memandang luas panorama.

"Lumayan."

"Kenapa gak nyuruh orang aja?" tanyaku ingin membuat David bicara lebih banyak.

"Masih bisa dikerjakan sendiri, kenapa harus minta bantuan orang lain?" Ia justru berbalik tanya.

"Iya, iya. Semua bisa dilakukan sendiri dengan mudah, ya." Aku sebal dengan respons David. Mulutku sempurna membentuk huruf U.

David terkekeh, "Dasar, Sundari."

"Serius aku penasaran siapa kamu sebenarnya. Kenapa kamu bisa tahu banyak tentang Ibu dan juga keluargaku? Lebih lagi aku penasaran kenapa kamu bisa jadi anak Om Parja?" Mulutku memberondong kata begitu saja. Aku memang ingin tahu banyak hal.

"Sudah pernah nanya sama ibu kamu belum?" David fokus melihatku.

"Sudah." Aku mengambil bantal, meletakkan di pangkuanku. Kedua tangan di atasnya.

"Terus?"

"Disuruh tanya kalau sudah serumah." Waktu itu Ibu memang bicara demikian.

"Haha! Dari dulu Tante gak berubah, ya." David memegang perutnya.

"Dari dulu?" tanyaku kaget.

"Iya." David meletakkan bantal bercorak hitam putih. Ia siap berpindah lagi.

"Mau ke mana?"

"Mandi lah. Bau asem." David mencium lengannya. Keringat di baju membuat bau tak sedap menguar. "Kamu pulang, gih. Mandi juga. Nanti aku jemput kalau udah rapi." David sempurna berdiri. Ini toko milik siapa sebenarnya? Kenapa aku merasa jadi anak tiri sekarang. David nyaman sekali mau mandi. Bajunya sudah di sini? Dia menginap?

"Buruan. Nanti pintu dikunci sekalian dari luar." David mengangkat alisnya, memintaku berdiri segera. Aku yang sekarang mulai takut dengan tatapan mata itu berdiri juga. David membalikkan badanku, meletakkan tangan pada bahu dan mendorongku keras. "Cepetan pulang. Nanti aku mau ngajak kamu kencan," ucapnya tanpa berdosa. Enteng sekali dan tak meminta responku terlebih dahulu.

"Jam?" tanyaku ingin tahu.

"Pokoknya kalau aku sampai, sudah harus siap." David menghentikanku sebentar.

"Turunnya hati-hati." Ia melambaikan tangan.

"Yak! Seenak sendiri kamu!" teriakku yang tak direspons David. Ia sudah menghilang dari ruangan yang lengang. Menuju kamar mandi. Aku menuruni tangga dengan kesal. Dasar David Mahendra. Sisi lain hati ternyata mengelak. Bunga-bunga hadir di sana. Kupegang pipiku lembut. Menuruni tangga segera dan bersiap menyambut kencan pertama.

***

"Ndari, Ndari. Ini David datang!" Ibu berteriak dari ruang tamu. Aku belum selesai mengoles liptinku.

"Bentar, Bu. Suruh tunggu dulu." Aku segera mengoles liptin, merapikan poni dan membiarkan rambutku tergerai. Tidak ekor kuda lagi untuk hari ini.

David sudah duduk bersama Ibu di ruang tamu. Mereka asyik sekali ngobrol sana-sini. Aku sengaja memandangnya dulu. Ia begitu hangat masuk di keluarga kami. Ia berdandan santai dengan kaos berkerah dan celana kain. Posturnya yang tinggi membuatnya semakin cocok dengan baju seperti itu.

"Ngapain?" Bapak menepuk lenganku.

"Bapak, ngagetin aja. Lihat, tuh Pak, mereka." Aku menunjuk David dan Ibu. Harusnya mereka bisa melihat kami, tetapi terlalu asyik mengobrol sampai tidak sadar.

"Ehem. Serius amat, nih." Bapak mendekat pada David dan Ibu. David berdiri, sigap menyalami Bapak.

"Saya bawa Sundari dulu ya, Pak. Jalan-jalan sebentar," ucapnya saat aku sudah siap.

"Ya, boleh. Yang penting hati-hati dan tidak sampai malam. Ingat, dua minggu lagi kalian nikah." Bapak memberi nasihat pada kami.

"Siap, Pak." Kami pun meninggalkan rumah. Melanjutkan perjalanan ke tempat yang ditentukan oleh David. Berboncengan melewati area kabupaten menggunakan motor matic milik David dengan berjalan pelan. Aku tak tahu ke mana ia akan membawaku. Namun, berada di jok belakang sambil menatap puggungnya sangat menyenangkan. Aku serasa sedang dibonceng Bapak. Nyaman dan terlindungi. David tampak seperti laki-laki yang akan menyayangi keluarga.

Kuedarkan pandang ke sekeliling jalan. Kota ini selalu membuatku terkesan. Meski banyak bangunan tinggi, tetap ada juga hutan asri. Pohon-pohon di area jalan raya juga dibiarkan rimbun serta terawat. Motor David melaju sampai pinggiran kota. Ia memarkirkan di tempat parkir menuju bukit barisan yang cukup terkenal sampai luar kota. Banyak pelancong dari lain daerah datang. Kabarnya di puncak terdapat beberapa makam orang berilmu.

"Hiking?" tanyaku tak percaya. Aku mengenakan flat shoes yang tak mungkin support untuk mendaki. David melepas helmnya. Ia juga memintaku melepas dan meletakkan pada spion motor.

"Gak sampai puncak, kok." David mengamati sepatuku. "Bisa, itu buat naik. Paling kalau kepeleset ya, jatuh." Sumpah rasanya ingin kulepas sepatu ini dan menyumpal mulutnya. Kalau bicara dan memberi pendapat seenak sendiri saja. David sudah melangkah duluan saat aku sibuk dengan tingkah sebal. Ia menikmati suasana asri yang tersaji.

"Ayo!" David mengulurkan tangannya. Aku ragu untuk menjabatnya. "Gak bakal aku dorong, Sundari," ucapnya lagi sambil tersenyum hangat. Senyum yang berhasil membuatku meleleh.

Bukit ini tidak terlalu tinggi. Biasa digunakan sebagai tracking anak sekolah atau orang-orang yang sekadar ingin berjalan santai. Aku belum pernah menyusurinya, meski sudah lama tinggal di area kabupaten. Langkah David semakin cepat. Ia seperti tak sabar saja sampai di sana. "Sedikit lagi, jangan manja," ucanya tak lagi menggandengku.

"Bilang kenapa kalau mau hiking. Setidaknya aku bisa pakai sepatu olah raga biar nyaman," ungkapku sebal. Untung aku tak jadi mengenakan rok yang dipilihkam Ibu. Kalau iya, tak terbayang bagaimana ribetnya.

"Bukan kejutan namanya." David semakin cepat melangkah. Meninggalkanku dan berlari menuju sisi kanan bukit. Aku pun terengah mengejarnya. Aku tak pernah tahu bukit yang cukup terkenal di kabupaten ini, begitu menakjubkan. Jika melihat dari jendela kaca Sunday Store saja sudah luar biasa, ini luar biasanya kuadrat. Benar-benar semua tatanan apik kota kabupaten tampak jelas seperti miniatur. Dari sisi ini, kota begitu indah.

"Sini!" seru David. Ia memintaku lebih mendekat ke sisi sebelah kanan.

"Jurang?" tanyaku cukup takut.

"Santai. Pelan-pelan." David mengulurkan tangannya lagi, aku kembali meraihnya. Getar di dada kian terasa. "Lihat itu!" David menunjuk ke seberang bukit. Aku tak percaya dengan apa yang tertangkap mata.

"Sunday store?" tanyaku mengamati tulisan itu dari jauh. Meski kecil masih bisa terbaca. David mengangguk mantap.

"Dari tempat ini?" tanyaku terperangah.

"Iya. Ibu dan Bapak sengaja membuatnya di sana. Biar dari bukit ini, Sunday Store tetap bisa terlihat." Luar biasa. Ibu nyatanya tak hanya menghadirkan David ke hidupku. Ibu bahkan menyusun letak toko sampai sedetail ini. Semua yang kualami seperti mimpi. Aku semakin sadar. Apakah ini hanya khayalan? Seperti kisah negeri dongeng? Segera kuperhatikan pria berkaos kerah di sampingku. Aku, harus membuatnya bicara.

"Mas," ucapku sengaja dengan sapaan formal. Aku benar-benar ingin tahu siapa David sekarang. Tak bisa kalau tidak kenal calon suamiku.

"Apa?"

"Kamu siapa?" tanyaku memastikan. Jangan-jangan ini hanyalah halusinasiku saja.

"David Mahendra."

"Udah tahu kalau David. Kenapa bisa dekat sama Bapak, Ibu?" tanyaku curiga.

"Coba buka memori hatimu. Kalau kamu bisa menemukannya, kamu pasti tahu siapa aku. Dan saat itu, aku akan menceritakan semua." David merentangkan tangan. Ia menghirup dalam udara dari bukit barisan. Sudah lebih dari jam sepuluh, udara masih terasa sejuk. Aku pun mendengkus kesal.

Apa ada separuh memoriku yang tertinggal? Atau dulu aku pernah terbentur lantas hilang ingatan? Aku pun semakin kesal. Bicara dengannya hanya akan membuatku capek sendiri. David begitu menikmati perjalanan ini. Kubiarkan ia menghirup udara sepuasnya. Aku memilih duduk di salah satu kursi yang terbuat dari pohon. Sepertinya Pemda setempat sengaja membuatnya sebagai tempat istirahat. Baru sebentar saja aku duduk di sana, David sudah mengajakku turun. Dengan semua rasa penasaran dan kekesalan aku benar-benar ingin mendorong pria menyebalkan ini ke jurang.

"Mas Dave!!!" teriakku keras. David terus saja berjalan menuruni bukit. Tidak memberi kesempatan padaku beristirahat barang sejenak. Aku pun menghela nafas panjang sekaligus lama. Perasaanku dibuat naik turun olehnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel