Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Pra Pernikahan

Hari-hari terus terlewati. Memberi kesan berbeda di setiap jumpa. Kemarin setelah dua puluh lima tahun masa hidupku, seorang pria tampan resmi menyatakan cinta. Bukan dengan cokelat atau bunga, melainkan datang langsung membawa keluarga. Kuangkat tinggi jemari kiri. Tersenyum sendiri mengamati cincin berlian yang melingkar di jari manis. "Pantas saja dinamakan jari manis. Manis sekali memang, ia." Aku tersipu, lalu menutup kembali wajah dengan selimut Hello Kitty.

Tak dipungkiri jatuh cinta memang berjuta rasanya. Menciptakan daya khayal yang luar biasa. Berharap cerita cinta yang mulai mengudara bisa sesuai imaji di kepala. Seperti kupu-kupu bertebaran di padang bunga. Indah dan sangat indah. Aku ... sedang dalam fase itu. David Mahendra yang entah berasal dari mana tiba-tiba menjadi bagian penting di hati ini. Dengan kejutan besarnya, David membuatku menjadi wanita terbahagia. Kulihat jam dinding di kamar. Masih sangat pagi untuk pergi ke Sunday Store. Terlebih Ibu sudah bilang, toko akan ditutup selama dua minggu ke depan. Pemilik toko beserta karyawannya diminta fokus mengurus acara pernikahan. Undangan warna pink dengan desain sederhana bahkan sudah ada. Semalam, Ibu memperlihatkan contoh desain lewat ponsel pintarnya. Sundari, S.T dan David Mahendra, S.E. Ibu sengaja betul menambahkan gelar kami berdua. Aku kembali menutup wajah dengan selimut. Menikah? Dengan pria tampan? Seperti apa rasanya? Kuputuskan memejamkan mata kembali.

Satu detik, dua detik, tiga detik. Bukan menyerap lebih cepat, melainkan aku tak bisa terlelap dengan cepat. Menunggu sampai pagi menjelang rasanya lama sekali. Kusegerakan saja niatku menuju Sunday Store. Aku ingin melihat landscape kota sebenarnya. Pagi hari bisa jadi awan-awan menggumpal bersih di angkasa. Langit biru, udara sejuk, dan burung yang melintas akan sempurna saat disaksikan dari balik jendela kaca. Tanpa mandi terlebih dahulu, kupacu motor keluaran lama pemberian Bapak.

Area strategis kabupaten belum begitu ramai. Toko-toko kecil juga besar baru mulai mengangkat rolling dor mereka. Beberapa penjual kaki lima yang tidak punya kios merapikan dagangannya. Aku senang tinggal di sini. Kota dengan sejuta perasaan tumbuh dan berkembang. Sunday Store menyapaku dengan kemegahannya. Kuayunkan langkah riang sampai pintu utama. Mengambil kunci di tas selempang Hello Kitty dan bersiap membukanya. Kupegang kenop pintu. Langsung terbuka saja. Siapa yang datang sepagi ini? Ibu? Bukan. Dipastikan Ibu masih terlelap bersama mimpi. Bapak? Bapak tidak mungkin pergi di pagi buta. Bapak punya sedikit masalah dengan gelap. Maling? Ya. Apa itu maling? Satu wajah seketika datang. Menghiasi plafon ruangan. Membuatku menepis semua pikiran aneh sebelumnya. Sudah pasti dan sangat jelas, David. Siapa lagi yang punya akses masuk Sunday Store kalau bukan dia? Aku pun mantap mendorong pintu.

Lampu di lantai satu dibiarkan mati begitu saja. Tak ada satu pun sebagai titik cahaya. Dasar David Mahendra. Apa yang kamu lakukan pagi-pagi begini, hah? Aku semakin penasaran di mana keberadaan calon suamiku itu. Tangga lantai dua kunaiki dengan hati-hati. Bantuan senter ponsel membuatku bisa melihat jelas tangga-tangga berikutnya. Melewati beberapa di antara mereka dan lebih dekat dengan lantai dua. Suara musik terdengar lirih. Pasti David sedang menikmati suasana lantai dua Sunday Store milik Ibu dengan sangat nyaman. Kami belum resmi menikah, tapi gayanya sudah macam bos besar saja. Baru satu langkah kakiku menyentuh lantai.

“STOP! Jangan bergerak!” teriaknya dengan mengulurkan tangan. Kutarik kembali kakiku.

“Kenapa emang?” tanyaku juga berteriak.

“Stop! Pokoknya gak boleh maju, satu senti pun. Diam di situ!” ucapnya lagi. Semacam bahaya besar siap menghadang jika aku melawan.

“Ada apa, sih?” Aku bersiap melewati lantai itu lagi.

“Tunggu sampai selesai. Bukan karena takut kamu jatuh, tapi aku gak mau ngulang dari awal. Ini ruangan luas banget, udah habis dua botol superpel!” David mengggerakkan alat pel lagi. Maju-mundur dan berulang.

“Ya Tuhan.” Aku tak percaya ada orang semacam itu. “Jalannya pelan, kok. Jinjit, dah.” Kulepas alas kaki dan kembali siap mengayunkan langkah.

Bruk! Satu kain kumal tepat menimpa wajahku.

“Pakai itu! Buat keset-an.”

“Yak! Emang kakiku kotor banget apa! Gak perlu pakai gombalan kain gini kali!” Aku tak tahu dari mana David mendapakan kain seperti ini.

“Makanya aku bilang tunggu sebentar. Gak sabaran!” David terus menggosok lantai. “Dah, dah selesai. Kalau mau jalan boleh, tapi pakai kain itu.” Tangan David menunjuk kain yang dilemparnya tadi.

“Ogah!” Aku benar-benar melewati lantai licin ini dan sesuai dugaan terpeleset begitu saja. “Aduh! Encok dah, punggungku.”

“Ngeyelan!” ucapnya lantas mendekat padaku. Nyatanya ia tak menggunakan kain untuk berjalan. Namun, melewati begitu saja lantai yang sudah dipelnya. Mungkin, kakinya sebersih baju putih tanpa noda.

“Bangun!” serunya sambil mengangkat dagu.

“Bantuin kenapa, aku gak bisa berdiri sendiri, nih,” ucapku yang memang kesulitan. David mengulurkan tangan kanannya. Aku pun meraihnya.

“Makasih,” ucapku menahan malu.

“Sama-sama. Minggir sana!” perintahnya padaku.

“Hah? Apa?”

“Minggir. Duduk di sofa dan angkat kakimu!” perintahnya lagi. “Jalan pelan-pelan. Nggak ngeyelan!” David galak sekali kali ini. Aku dibuat takut sekaligus ngeri.

“Iya, iya. Gak usah galak gitu!” Aku pun berjalan pelan menuju sofa. David memerhatikan sampai aku benar-benar mengangkat kaki sesuai intruksi. Ia membungkuk dan menggerakan kembali alat pel. Maju-mundur, tepat dibekas aku jatuh tadi.

“Yak! Gak kotor-kotor amat kali!” seruku yang dibalas tatapan menyebalkan dari David.

David tak memedulikan omelanku. Ia tetap saja mengepel lantai dengan penuh tenaga. Kesal diabaikan David, membuatku semakin ingin membantah. Aku berjalan cepat menuju jendela besar yang menghadap kota. David menggelengkan kepala dan siap meluncurkan banyak omelan. Kubuka tirai penutup jendela. Menampakkan suasana luar yang mengagumkan. David tak berteriak lagi. Ia membereskan alat pelnya dan kembali selang beberapa menit.

“Nih, buat kamu.” Satu cangkir cappucino ia serahkan. Aku menerimanya dengan senang.

“Makasih.” David hanya membalas dengan anggukkan.

“Ngapain kamu di sini?” tanyaku yang masih kesal dan berusaha mempetahankan.

“Beres-beres,” jawabnya lalu menyesap kopi hitam di cangkirnya.

“Sebelum subuh? Kan toko tutup dua minggu.” Aku memulai menyesap kopi di cangkir juga.

“Karena tutup kusempatkan untuk beres-beres. Sudah ijin, Ibu, kok.”

“Wah, hebat sekali. Yang anaknya sebenarnya aku atau kamu? Sampai-sampai Ibu mengizinkanmu melakukan banyak hal.” David luar biasa hebatnya. Ia bisa merayu dan mengendalikan hati ibuku.

“Sebentar lagi aku juga jadi anaknya.” David menenggak habis kopi di cangkirnya.

“Gak panas?” tanyaku yang ngeri sendiri membayangkan kopi hitam itu melewati tenggorokkan pria di sampingku.

“Besok cobain aja sendiri. Panas atau nggak.” Rasanya ingin kutumpahkan cappocino yang dibuatnya. David benar-benar membuatku terbang dan jatuh dalam waktu yang nyaris bersamaan.

“Huh. Nyebelin.” Kutenggak sedikit demi sedikit kopi itu. “Sejak kapan kamu jadi anaknya Om Parja?” tanyaku mencoba mencaritahu tentang David Mahendra.

“Sejak lama.” David menjawab singkat.

“Tepatnya kapan? Aku gak pernah lihat kamu sebelumnya.” Kucoba membuat kedekatan dengan David. Dua minggu lagi kami bahkan tinggal dalam satu rumah.

“Setelah kamu pindah dari kota itu. Makanya kita nggak ketemu.” David tetap saja menjawab singkat. Entah apa yang membuatnya berat. Mungkin perlu banyak waktu untuk saling terbuka.

“Hem. Ya, ya.” Kuedarkan pandang keluar jendela.

David menatap lurus panorama. Meski diam ia tetap berkharisma. Aku beralih menatapnya. Perlahan, akan kubuka jendela hati juga. Banyak hal yang tidak kuketahui dan aku akan terus mencari. Tentang kamu, pria yang kemarin membisikkan kata mesra di telingaku. ‘Sundari ... will you marry me’. Langit hitam mulai terangkat. Gelap sebentar lagi tersingkap. Matahari siap menghangatkan bumi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel