Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Dilamar Juragan Beras

Aku dibuat syok dengan halaman rumah yang sudah begitu rapi dan terpasang dekor bunga. Tadi pagi saat aku berangkat ke Sunday Store belum ada. Hanya saja beberapa hari ini, Bapak memang sibuk merapikan bengkelnya. Pukul lima sore aku memarkirkan motor keluaran lama itu di teras rumah. Serta bergegas menemui Bapak.

"Ya ampun Bapak, beneran udah gak bisa ditunda dulu, Pak?" tanyaku saat Bapak mulai sibuk membenahi alat-alat las. Dari seluruh isi rumah, Bapak tidak mengizinkan satu orang pun membenahinya. Praktis Bapak harus merapikan hal-hal yang belum dibereskannya sendiri.

"Kenapa? Bukannya dari awal jumpa kamu sudah naksir sama dia?" Aku membuntuti Bapak yang bolak-balik ke sana kemari.

"Tapi, Pak, Sundari belum siap." Kalimat itu muncul juga dari mulutku. Baru pagi tadi dengan tegas aku menolak ajakan David, masa besoknya langsung saja mau, sih. Bukan Sundari sekali. Ucapan David bukan lelucon. Ia ternyata serius akan melamarku.

Bapak menghentikan aktivitasnya sejenak, dan memerhatikanku. Beliau siap menyampaikan suatu hal.

"Ayo, duduk dulu!" Bapak beralih ke kursi besi buatan kami yang sengaja diletakkan di bengkel sebagai tempat istirahat. Aku mengikuti ajakan Bapak.

"David tampan?" tanya Bapak padaku.

"Iya."

"Cerdas?” Aku menganggukkan kepala ragu. Sepertinya.

"Punya pekerjaan?" tanya Bapak lagi.

"Iya, jaga tokonya Ibu."

"Bukan cuma penjaga, Sundari. David manajer pemasaran sekaligus produksi." Bapak meralat jawabanku.

"Iya, iya, tapi masa gak nunggu kenalan dulu, sih, Pak. Minimal kencan tahap awal, lah." Aku berkilah.

"Usiamu berapa?" Bapak terus bertanya.

"Dua lima. Iya, udah dua lima."

"Tua?"

"Masih muda buat wanita karier. Muda banget." Aku kesal Bapak membahas usia. Apa salahnya kalau belum menikah?

"Terakhir. Dapat restu Bapak?"

Pertanyaan Bapak yang jelas mendapat jawaban Ya dariku. Bisa jadi selama ini banyak yang ingin mendekatiku, atau ingin berkenalan minimal. Mungkin sebagian dari mereka enggan melakukan itu karena latar belakang keluarga. Karena Bapak mantan preman kota yang terkenal sepak terjangnya. Bahkan setelah waktu lama berlalu, jejak itu masih ada. Terlihat jelas di lengan Bapak.

"Nah, apa lagi yang kurang? Apa alasanmu menundanya?" tanya Bapak. Seolah mengerti apa yang kupikirkan. Aku hanya bisa tertunduk malu. Getar hati serta keraguan mulai menyerang.

"Siapkan dirimu, Sundari. Bapak yakin David lelaki terbaik yang bisa menggantikan Bapak untuk menjagamu kelak." Rasa khawatir tersemat di ucapan Bapak. Beliau terlihat tak mau putri semata wayangnya terluka. Bapak semacam ingin memastikan estafet kasih sayangnya harus terus berjalan. Dan Bapak memilih David untuk menggantikan tugasnya.

"Mendadak sekali." Aku masih ingin mengemukakan argumen. Namun, gestur tubuh Bapak membuatku berpikir dua kali.

"Sudah cukup ya, untuk diskusinya. Besok, pastikan tidak ada lagi protes. Masalah Hari H pernikahan bisa dimusyawarahkan nanti. Yang pasti keluarga David ingin memastikan kalian bisa sampai tahap itu." Bapak bersiap meneruskan aktivitasnya. Merapikan bengkel dalam rangka menyambut tamu di esok hari. Aku tak bisa membantah lagi.

***

Rumah dan bengkel Las SUBISA beralih fungsi. Tetangga juga kerabat jauh Bapak, mulai berdatangan setelah mendengar kabar itu. Sebuah kabar yang sudah lama dinanti keluarga besar pemilik bengkel Las ini. Aku memastikan mengenakan pakaian terbaik yang dipilihkan Ibu. Sebuah kebaya modern berwarna tosca. Ibu berbaik hati tak memaksaku mengenakan warna pink atau merah menyala. Setidaknya jiwa Sundariku tetap ada dengan warna ini.

"Lipstiknya cemong dikit, tuh." Ibu memerhatikanku yang sedang duduk di depan kursi rias.

"Siap, Madam!" seruku sambil mengelap bagian bibir dengan tisu.

"Sudah siap?" tanya Ibu yang datang memang untuk memanggilku.

"Sudah, Bu." Kami pun beralih ke halaman rumah. Yang sudah disulap dengan dekor bunga sederhana. Meski begitu tetap menarik dan memperjelas suasana lamaran.

Dari jauh kelima sahabatku melambaikan tangan. Mereka sengaja datang di hari besarku. Sebenarnya mereka sudah memiliki suami dan ada yang sudah punya anak. Ajaibnya hari ini mereka datang seolah masih melajang. Dengan gaya khas mereka semasa kami duduk di bangku SMP. Debar hati semakin menjadi saat mobil rombongan David berhenti di luar pagar halaman. Bapak langsung menyambut tamu besarnya. Dan aku tersentak dibuatnya.

"Bu, itu Om Parja?" tanyaku saat melihat Om masa kecilku merangkul Bapak akrab.

"Iya, Om kamu, itu. Juragan beras di kota rantau kita dulu." Ibu tersenyum ramah dan tetap berada di sampingku.

"Lah, kok, bisa Om punya anak? Kan, gak nikah Bu?" tanyaku. Jujur aku bingung dengan situasi yang kuhadapi saat ini.

"Sssttt. Gak keras-keras. Besok kalau sudah satu rumah sama David, tanya aja sendiri." Ibu selalu begitu. Akhir-akhir ini menyembunyikan banyak hal dan membuatku mati penasaran. Dalam hati rasanya begitu geram. Main detektif-detektifan saja orang tuaku.

Belum selesai aku menggerutu, kegeramanku sempurna sirna saat David keluar dari mobil yang membawanya. Ia mengenakan baju koko modern dengan celana kain yang begitu serasi. Penampilannya benar-benar mengagumkan.

"Tampan sekali, bukan?" tanya Ibu yang juga mengakui calon mantunya memiliki ketampanan paripurna.

"Iya, Bu," ucapku terperangah. Itu calon suamiku?

"Kamu juga cantik, Sundari. Kalau mau mengurus diri. Apalagi berpenampilan seperti ini." Ibu mengusap lenganku. Meyakinkan bahwa aku memang pantas bersisihan dengan David.

Bapak membimbing Om Parja dan rombongan masuk ke halaman. Ibu setelah main kode dengan Bapak, membawaku ke kursi yang sudah disediakan. Aku berhadapan langsung dengan David, dan terpisahkan meja dengan hiasan bunga di atasnya. Dari balik celah itu, aku memandangnya. David juga sedikit mencuri pandang, kemudian melotot tajam. Aku jadi ingat teriakannya kemarin. Mengatur seenak sendiri dan semena-mena. Ibu memerhatikan ekpresiku, lantas menyikut lenganku.

"Aduh!" protesku pada Ibu. Sorot mata Ibu memaksaku untuk diam.

Pembawa acara pun membuka acara dengan salam dan memaparkan detailnya. Hingga sampai pada waktu inti acara hari ini. Istilah kerennya tukar cincin. Ibu membantuku berdiri, menuju meja dengan hiasan bunga. David juga mengayunkan langkah ditemani Om Parja. Salah satu perempuan yang duduk di belakang rombongan keluarga David, menyerahkan kotak berbentuk hati dengan balutan busa merah pada Om Parja.

"Nah, Sundari. Ini buat ngiket kamu, ya. Biar gak lari-lari," ucapnya seraya mendekat padaku.

"Eh, oh, iya Om." Aku bingung harus merespons apa. Rasanya duniaku penuh dengan gas helium. Ringan dan mudah terbang.

Raut muka David berubah. Seperti menahan banyak umpatan yang ingin keluar. Ia menarik tanganku. Menyerahkannya segera pada Om Parja. Astaga. Bodoh. Harusnya aku mengulurkan jemari. Om Parja tersenyum haru. Membiarkan cincin yang dipegangnya melingkar di jari manisku. Setelah itu Ibu mengambil cincin satunya dan menyematkan di jari manis David. Kami pun berfoto bersama. Tanda acara formal selesai dan waktunya para tamu menikmati hidangan yang disediakan.

Kusempatkan diri menemui sahabat-sahabatku setelah berbasa basi dengan Om Parja. Rasanya Om lebih pantas bicara banyak dengan Bapak. Mereka pasti rindu masa-masa mereka dulu. Aku tak mau menyela dan mengganggu. Kuangkat sedikit rok kebaya yang membuatku sulit berjalan. Heppi, Anisa, Ningsih, Kaira, dan Sheril menyantap kudapan khas pernikahan. Aku menghampiri mereka.

“Cie, calon manten,” ledek Heppi padaku. Aku tersipu malu.

“Selamat ya, Ndari. Akhirnya sold out juga.” Kaira menambahkan ledekan dari Heppi.

“Kaya barang aja, sold out,” timpalku sebal.

“Pokoknya selamat dan lancar ampe hari H, ya.” Anisa temanku yang paling baik memelukku. Memberi ucapan tulus padaku.

‘Nih, temen tuh gini. Meluk ama cipika cipiki. Gak kaya kalian sibuk nelen bakso,” ucapku dengan tetap memeluk Anisa.

“Hahaa. Bisa aja kamu, Ndari. Habis baksoya enak banget. Besok aku tulisin aja ucapannya, ya, gratis buat kamu.” Sheril yang juga penyiar radio menambah hangat pertemuan. Sudah lama kami sibuk dengan urusan masing-masing.

“Iya, iya deh. Makasih pokoknya udah pada datang.” Anisa tak lagi memelukku, kami duduk bersama.

Ningsing yang sedang memainkan ponselnya mengangkat dan mengambil foto. “Ganteng banget sumpah.”

“Siapa?” tanyaku pada Ningsih yang kadang suka bersikap tidak wajar. Apa saja bisa dilihatnya. Jadi maklum kalau dia kadang-kadang tidak fokus.

“Itu, calon suami kamu,” ucapnya menatap ke arah belakangku. Aku pun membalikkan badan dan mendapati David sedang menungguku. Ia mendekat pada kami berlima.

“Sebentar, ya. Aku pinjam Sundari, dulu,” ucapnya dengan hiasan senyum manis.

“Ya, ya, Mas David. Silakan dibawa aja itu, Sundarinya.” Ningsih semakin gencar mengambil foto David. Suara cekrak cekrik kameranya terdengar jelas.

“Eh, bentar ya, aku tinggal dulu,” pamitku pada sahabat-sahabatku yang dibalas dengan senyum ejekan penuh kasih sayang.

Aku mengikuti langkah David masuk ke rumah lewat pintu belakang. David terus melangkah dan berhenti tepat di depan pintu kamarku. Ia mengangkat alis, memintaku membuka pintu. Apa-apaan ini? Ngajak ke kamar? Yang benar saja? Beberapa keluarga fokus di halaman depan dan ruang tamu. Praktis area kamar dan bengkel sedikit lengang. Aku mendorong pintu kamar.

“Mau ngaapain?” tanyaku galak.

“Pinjam sisir. Aku lupa belum merapikannya lagi,” jawabnya yang langsung mengambil sisir di meja rias. Yang benar saja calon suamiku ! Sisir? David pun benar-benar menyisir rambutnya.

“Makasih, ya.” Ia berdiri dan siap pergi dari kamar.

Aku yang berada tepat di pintu harus dilewatinya dulu. David mendekatkan dirinya padaku dan bersiap melangkah keluar. Tepat saat tubuh kami berhadapan, ia mempersempit jarak. Mendekatkan wajahnya pada telingaku. Sebuah bisikan mesra ia ucapkan di sana. Kata sayang pertama sekaligus terakhir yang aku terima.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel