Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Kejutan Besar

Semua berjalan cepat dan padat. Sunday Store milik Ibu benar-benar berdiri megah di salah satu wilayah strategis di kabupaten. Waktu tempuh dari rumah kami sekitar tiga puluh menit. Aku tak pernah tahu sebelumnya. Bapak dan Ibu menyiapkan hal besar semacam ini.

Mataku takjub melihat ruko berlantai dua itu. "Waow, sejak kapan Ibu mengurusnya?"

"Sejak lama, lah," jawab Ibu seraya meneruskan langkah.

"Kenapa Ndari gak tahu, Bu?" tanyaku mengimbangi langkah kaki Ibu.

"Sekarang sudah tahu, kan?" Ibu tersenyum penuh arti.

Bapak berjalan di belakang kami. Memandang area lain yang masih tersisa di sisi kanan ruko. Mungkin, Bapak sedang memikirkan akan dijadikan apa sisa tanah di sana. Aku mengedarkan pandang juga, dan terpesona dengan Sundy Store yang bernuansa putih bersih. Ibu melangkahkan kaki panjang. Ia cepat sekali sampai di depan pintu utama. Kaca bening yang menjadi dinding, menunjukkan seperti apa interior Sunday Store. Ibu tidak main-main dengan bisnisnya. Pintu utama tidak dikunci. Pria berkemeja dengan style necis-nya sudah di sana. David mengembangkan senyum, menyapa kami dengan penuh kharisma. Tak terelakan lagi memang pesonanya.

"Selamat pagi, Bu Sulastri, Mbak Ndari." David sedikit membungkukkan badan. Bentuk sapaan kepada yang lebih tua.

"Pagi, Mas Dave. Makasih ya, sudah disiapkan semua," ucap Ibu dengan gaya manja bak anak remaja.

"Sama-sama, Bu. Ini sudah menjadi bagian dari tugas saya." David mantap dengan jawabannya.

Aku menatapnya dari ujung kaki hingga kepala. Terlalu tampan dan khayal untuk menjadikannya kekasih. Mataku kuarahkan ke bangunan di lantai dua.

"Yang atas buat apa, Bu?"

"Lihat aja sendiri. Nanti kamu juga tahu." Ibu memeriksa beberapa hal yang takut terlewat, beliau meneruskan langkah mengecek detail ruangan.

"Ibuk, nih, main lihat-lihat aja. Bikin Ndari penasaran." Sebal sebenarnya menerima banyak kejutan semacam ini.

"Mau saya temenin, Mbak?" David menawarkan diri.

"Nah, sama Mas Dave aja sana. Biar kalian tambah akrab. Ya, nggak calon mantuku?" Ibu mengerling jahil pada kami berdua.

“Eh, He.” David tak kalah kaget dengan ucapan Ibu.

"Apaan, sih, Ibu." Wajahku merah. Tak tahu harus bereaksi apa dengan situasi yang tak kuduga.

"Mari, Mbak." David memimpin langkah. Siap menaiki anak tangga menuju lantai dua. Aku mengekor di belakangnya.

Sunday Store berbeda dengan ruko pada umumnya. Selain bangunannya yang memang luas, desain ruko ini persis dibuat layaknya rumah. Bangunan di lantai dua bukan bagian dari toko tempat Ibu memajang barang-barangnya. Lantai dua murni rumah yang disiapkan orang tuaku. Entah untuk putri sewata wayangnya ini, atau untuk masa tua mereka. Yang jelas aku tak pernah diberitahu.

"Ini gak salah, Mas?" tanyaku tak percaya dengan yang tertangkap mata. Serius sebagus ini? Kamar tidur, ruang TV sekaligus tempat menerima tamu dan dapur ditata dengan begitu apik. Sepertinya Ibu menyewa jasa desain interior untuk mewujudkannya.

"Lah, memang kenapa, Mbak?" David meneruskan langkahnya, menyibak tirai jendela. Aku semakin terpana dengan apa yang kulihat. Kuayunkan langkah mendekati tirai yang dibuka David.

"Ini milik orang tua saya, Mas?" Dari lantai dua tampak jelas landscape kabupaten kelahiranku. Menawan dan membuat rindu siapa pun yang pernah singgah dan meramu temu.

"Iya. Ini milik Bu Sulatri. Ibunya Mbak Ndari." David juga memandang jauh pemandangan dari jendela.

"Maksudnya ini bukan mimpi?" tanyaku lagi masih saja tak percaya.

"Maaf, Mbak." David mendekat, meletakkan tangannya di pipiku, dan mencubitnya.

"Aduh! Sakit, Mas!"

"Nah, bukan mimpi, Mbak," ucapnya tersenyum ramah. Senyum yang mulai menghiasi hariku. Karena setelah soft opening nanti, dipastikan aku akan menjadi bawahannya. Beralih profesi dari menyusun rangka besi menjadi kryawan di toko ini.

"Emang Mbak Ndari beneran gak tahu soal toko dan dagangan Ibu?" tanyanya sambil mengajakku berkeliling. David membuka pintu kamar utama. Lagi-lagi aku dibuat tak karuan perasaannya. Bahkan springbad yang sengaja dipasang menggunakan merek terkenal. Beda jauh dengan kamarku di rumah.

"Beneran, Mas. Babar blas gak tahu apa-apa. Lebih tepatnya, sih malas. Aku lebih senang bantu Bapak di bengkel. Hehe." Aku baru sadar selama ini lebih sering menaruh perhatian pada Bapak.

"Oh, pantas saja. Mbak Ndari tidak pernah ikut acara gathering yang diadakan Ibu, ya."

"Gathering? Berang Mas David?" tanyaku. Aku memang tidak pernah tahu urusan ibu.

"Iya, kadang Ibu mengadakan acara semacam itu bersama mitra dan reseller-nya. Bapak, juga pernah ikut."

"Wah, Mas David tahu banyak soal Ibu, ya." Aku semakin penasaran siapa pria yang dipanggil Mas Dave ini. Kenapa ia tahu banyak hal tentang keluarga.

David melangkahkan kaki lagi. Mengajakku keluar dan beralih ke dapur mini dengan kithchen set keren. "Sedikit kok, Mbak. Buktinya saya gak tahu kalau Ibu punya anak perempuan. Cantik pula."

David entah dengan tujuan apa mulai terkesan menggodaku. Dan aku menyukainya. Detik itu juga tubuhku serasa meleleh. Macam besi baja yang dipanaskan hingga seribu derajat celcius. Cantik? Benarkah aku cantik? Aku tak bisa menutupi rasa aneh ini. David berhasil membuatku jatuh hati.

"Sudah puas lihatnya?" tanya David menyadarkanku dari lambungan perasaan.

"Eh, udah Mas," jawabku sekenanya.

"Ayo turun! Takut Bapak sama Ibu sudah nunggu. Jam sepuluh acara dimulai." David melihat pergelangan tangan kanannya dan kembali memimpin langkah. Aku mempercepat langkahku juga.

Bruk!

Terlalu bersemangat maju, tak sadar yang di depanku justru berbalik. David sudah berada tepat di depan mata. Rasa-rasanya jantungku mau copot saja.

"Gak apa-apa, Mbak?" tanyanya dengan menatapku dalam.

"Gak apa-apa, Mas David," jawabku tersipu.

"Boleh aku panggil, Ndari saja?" tanyanya lagi belum juga melebarkan jarak.

"Bo-leh, Mas." Aku gugup tak karuan. Beberapa detik kami beradu pandang, menangkap ketertarikan satu sama lain.

Inikah namanya cinta? Bukan pada pandangan pertama? David masih saja menatapku, kemudian merangkai kata lagi.

"Nantikan kejutan dariku, ya." David mundur dan kembali meneruskan langkahnya.

Wajahku sudah pasti bersemu merah. Kutempelkan telapak tangan dan menepuknya. Memastikan suatu hal. "Ini bukan mimpi, Sundari!"

***

Empat Minggu Berlalu.

"Jangan lupa cek stok barang opname di gudang!" seru David begitu melihatku sampai depan pintu utama.

"Aku?" tanyaku yang entah kenapa malas sekali urusan meneliti.

"Iya, siapa lagi. Ada orang lain?" tanyanya berlagak Sunday Store sudah sepenuhnya menjadi miliknya.

"Jaga di kasir aja, ya." Aku berusaha bernegosiasi. Melayani pembeli jauh lebih menyenangkan.

"Nggak. Kasir sama bagian karyawan sudah ada. Kamu, jatahnya ngecekin barang di gudang."

Ya. David Mahendra yang penuh kharisma kini memanggilku tanpa kata 'Mbak' di depan. Kami sepakat menghilangkan panggilan formal. David juga kerap bolak-balik rumah memberikan laporan pada Ibu, dan menyapa Bapak ramah. David resmi menjadi bagian dari keluarga. Kami menjalani hari-hari berbunga setelah acara soft opening Sunday Store.

"Nyampe kapan nyiksa aku terus?" tanyaku yang mulai tak tahan dengan tingkah menyebalkannya. David bukan lagi pria necis yang punya hutang cilor ke Bang Jack.

"Nyampe kamu bisa menjalankan banyak tugas, dan siap menikah denganku." David tersenyum sinis.

"Pacaran aja belum, langsung nikah! Emang kamu suka sama aku?" Aku memang jomlo akut yang belum pernah tahu rasanya jatuh cinta, tetapi kalau dipaksa langsung menikah tetap membuatku resah.

"Kan, aku udah bilang. Pacarannya setelah nikah!" ucapnya tak mau kalah.

"Terserah, lah. Pusing aku mikirin jodoh perjodohan itu malah." Aku bersiap meneruskan langkah menuju gudang.

David terkekeh, "Gak bisa ngelak lagi kamu, Sundari. Dari awal juga udah suka duluan, ‘kan? Cuma gak mau mengakui." David berbangga diri dengan pengakun tak sengajaku beberapa hari lalu.

"Ampun dah. Terserah kamu pokoknya! Pacaran dulu baru nikah. Gak mau aku kalau langsung aja kaya saran Ibu." Kuacak rambut kuncirku, bergegas menuju gudang di belakang. Bapak dan Ibu sengaja betul mengatur jodohku.

"Gak bisa. Kan, aku udah bilang mau kasih kejutan waktu itu. Nah, kejutannya sebentar lagi tiba. Aku mau ngelamar kamu!" teriaknya.

Aku memang menyukainya dan merasa David adalah pria sempurna. Namun, tetap saja aku ingin melewati masa-masa jatuh cinta pernikahan. Indahnya kencan sambil makan cilor dan berboncengan membeli gorengan. Pokoknya aku ingin satu per satu melewati tahap itu. Tidak langsung menuju tempat tertinggi tanpa melewati pendakian berarti. Aku ... ingin merasakan apa yang dialami sahabat-sahabatku juga. Meski sepertinya hal itu tak akan pernah bisa. David, Ibu dan Bapak kalau sampai mereka kompak, aku jelas tak bisa menolak.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel