Bab 2 Siapa Sangka Siapa Kira
Baru lima menit tubuhku menyentuh kasur, Ibu memanggilku untuk kembali mengecek barang dagangan yang baru datang. Kalau kata Bapak sih melebihi kerja rodi zaman pendudukan negara asing dulu. Parahnya lagi Ibu tak bisa sabar menunggu dan selalu sok tahu. Ibu Sulastri pemilik toko online Sunday Store, ibuku yang selalu penuh ambisi dan memiliki keinginan besar.
“Ayo, gak boleh malas-malasan! Tugas kamu cuma potoin satu-satu doang.” Ibu menyeretku ke setumpukkan barang yang baru datang.
“Ya ampun ibuku sayang, satu satu kalau kayak gini gak jadi aku sayang ibu, tapi jadinya sepuluh ribu.” Meski jumlah barang yang datang tak sebanyak itu, tetap pusing kalau harus mem-foto satu per satu.
“Giliran disuruh Bapak aja, kamu langsung meluncur tanpa protes. Ibu minta bantuan gini doang kamunya gak mau. Tega kamu Sundariku,” ucap Ibu mulai memeragakan gaya aktris telenovela.
“Ampun dah.” Aku tak bisa berkilah lagi.
“Mulai dari mana, nih?” Ibu benar-benar layak mendapat piala Oscar kalau sudah berurusan dengan merayu orang. Kali ini wajahnya dihiasi senyum manis yang membuatku begidig ngeri.
“Jilbab dulu, baru baju gamis dan terakhir aksesoris.” Ibu mencubit pipiku. Macam gemas dengan bayi mungil berkulit putih dan gembil. “Makasih ... sayang.”
“Adawwww sakit Ibu!” protesku. Ibu semakin tersenyum macam orang kesurupan. Aku buru-buru mengerjakan tugas tambahan itu. Instruksi dari Ibu kujalankan dengan baik dan benar. Membongkar satu per satu kardus dan mengelompokkan berdasarkan jenisnya. Kamera cantik siap memoles tampilan mereka.
Duniaku selalu pernuh warna. Aku dianugerahi keluarga kecil bahagia terencana dan aman sentosa. Keluarga dengan latar belakang yang tidak hanya seperti keju dan singkong, melainkan sepatu dan topi. Sama-sama dipakai di bagian tubuh, tetapi tidak mungkin saling bertukar tempat. Coba saja kalian ambil sepatu dan letakkan di kepala. Beri komentar sendiri atas kekonyolan yang tercipta. Aku pernah melakukannya dan langsung merasa kalau aku sedikit gila. Hahaa! Meski begitu, aku tak pernah menyesal dilahirkan sebagai Sundari: Satu-satunya putri dari Suprapto dan Sulastri. Yes. That’s right, arti namaku memang seindah itu. Namun, menjadi anak tunggal tak membuat Bapak dan Ibu memanjakanku dengan segala akses kemudahan hidup. Contoh jelasnya ya ini, tetap mengerjakan hal-hal yang harus dikerjakan Ibu.
“Baru sepuluh sudah penat rasanya,” ucapku pelan-pelan. Takut Ibu berkomentar.
Ibu melotot tajam, “Apa? Capek?”
“Nggak, Bu. Lelah doang.” Aku bersiap melakukan perlindungan diri. “Gak kena, gak kena. Hahaa.” Ibu kalah cepat menimpukku dengan potongan baju di plastik.
“Bu, kenapa Ibu gak cari karyawan aja, sih?” tanyaku dengan tetap melakukan tugas.
“Sudah ada rencana, kok. Tinggal deal-dealan harga aja.” Ibu memilah jilbab dan gamis, lalu mendekatkan padaku.
“Kaya mau beli apa aja deal-dealan.”
“Loh, emang urusan kesejahteraan tidak dipikirkan? Kita perlu mempertimbangkan banyak hal Sundari, gak bisa main asal angkat karyawan sementara kita abai dengan pemenuhan haknya.” Tumben ucapan Ibu berbeda dari biasanya. “Siapa pun yang bekerja untuk kita, kita wajib memuliakannya,” tambah Ibu penuh keyakinan.
“Waow ... amazing. Pantas Ibu gak pernah mau ada orang bantuin toko, kecuali Sundari, ya?” tanyaku terpukau.
Aku sudah lelah sekali melihat bermacam warna jilbab ini. “Oh Tuhan tolong aku!” teriakku dalam hati.
“Iya, Sayang.” Ibu kembali mengukir senyuman maut.
“Terus apakah Ibu memerhatikan kesejahteraan karyawan dadakan dan panggilan Ibu ini?” tanyaku membalas senyum manisnya.
“Dasar!” Kali ini tepat sasaran. Ibu berhasil mendaratkan baju gamis ke hidungku.
“Bapak, Bapak!” Kupanggil Bapak yang sedang asyik menonton TV. Barang yang baru datang sengaja Ibu letakkan di ruang tamu. Harusnya Bapak melihat dengan jelas penderitaanku. Tidak ada sekat untuk kedua ruang itu.
“Apa?” Bapak tetap fokus pada saluran favoritnya.
“Bantuin dong Pak. Sundari sudah gak kuat, nih!” Sengaja kubuat nada merana dan tersiksa. Ibu melirikku tajam, siap menerkam.
“Besok kamu boleh libur kerja di bengkel. Dah, bantuin ibumu sampai selesai.”
Telak. Aku tak bisa mengelak. Ibu menjulurkan lidah dan mengawasi penuh kerjaku. Kami menghabiskan malam menghitung stok barang.
***
Pagi hari sinar mentari hinggap di kisi-kisi. Aku terbiasa melakukan aksi habis subuh tidur lagi kalau Ibu sudah memintaku lembur. Tidak kuat rasanya mata ini menahan serangan kantuk. Namun, kenyataan tak selalu sejalan dengan harapan. Suara bising mesin las milik Bapak tak bisa membuatku terus memeluk guling. Raungannya seolah mengajakku bangun dan berkata, Ayo Sundari, kita bermain-main lagi. Satu bantal kepala kuletakkan tepat pada mata. Menindihkannya dan membiarkan gelap tetap bersama. Bapak melancarkan lagi aksinya. Kali ini mesin las pasti memotong besi besar. Sampai-sampai raungannya semakin nyaring.
“Argh. Gak bisa terus-terusan begini.” Kusibak selimut gambar Hello Kitty dan berbegas mencuci muka. Bapak butuh bantuan putri cantiknya.
Rambut panjangku kuikat sambil berjalan. Poni yang sengaja dimiringkan ke sebelah kiri kujepit dengan jepit tiptop. Aku siap mengenakan kembali APD dan kacamata otomatis. Rangka besi adalah sahabat sekaligus passion diri. Membuatku semangat menjalani hari-hari dan berharap segera menemukan cinta sejati. Tanganku meraih gambar yang sudah kusiapkan. Project baru adalah membuat beberapa rak dengan desain menarik. Kalau sudah jadi tinggal dititipkan di Sunday Store milik Ibu.
“Gak libur?” tanya Bapak saat sadar tanganku meraih alat las listrik.
“Mana bisa, Bapak berisik gitu,” ucapku penuh semangat.
Bengkel kami terletak di belakang rumah, dan kamarku bersisihan langsung. Hanya terpisahkan jendela. Praktis apa pun aktivitas pengelasan di sana aku mendengarnya. Anehnya aku tidak pernah protes akan letak kamar itu. Bagiku besi, mesin las dan piranti kerja Bapak lainnya sangat menakjubkan.
“Baiklah. Kita kerjakan secepatnya biar ibumu tidak terus menggerutu.” Kami beraksi dengan hati nurani. Satu per satu potongan besi siap terrangkai berdasarkan desain. Mereka akan menjadi mega karya Bengkel Las SUBISA. Lagi-lagi Ibu datang dengan panggilan mesra yang mengerikan.
“Sundari ... Sundari!” teriaknya dari pintu belakang rumah yang menghubungkan bengkel.
“Gak ada tambahan Sunday morning Pak,” ucapku curiga.
“Hati-hati. Bisa jadi lebih ekstrim dari beli cilor.” Bapak memamerkan gigi kuningnya.
“Apa Bu?” tanyaku setelah melepas kacamata.
“Sini,” perintahnya dengan menggerakan tangan.
“Dari jauh aja Bu.”
“Nggak! Pokoknya sini.” Mata Ibu melotot tajam.
“Dah sana lepas dulu sarung tangannya.” Bapak menyarankan hal terbaik yang ia bisa.
Kuayunkan langkah panjang, mendekat pada Ibu yang meski garang tetap penuh kasih sayang. “Apa Bu?”
“APD-nya dilepas, terus kamu mandi. Pakai baju rok yang kemarin Ibu beli,” ucapnya seolah risi melihatku dengan wearpack kotor.
“Lah nanggung Bu. Ndari mau mandi jam dua belas aja.”
“Sekarang Ndari!”
“Udah ikutin aja. Bapak juga udah selesai ini. Mau mandi juga.” Bapak melepas sarung tangan dan meninggalkan bengkel.
“Lah Pak? Mau ke mana?” tanyaku heran. Ibu memandangku penuh arti. Aku ... kalah lagi.
***
Satu jam kuhabiskan membersihkan diri dan menuruti arahan Ibu. Berdandan layaknya perempuan. Ibu bahkan sering bilang aku mirip perempuan jadi-jadian. Dasar ibuku sayang, seenak sendiri mengejek putrinya. Rambut panjangku tak kuikat dengan kuncir hitam. Ibu memintaku membiarkannya tergerai. ‘Sudahlah menurut saja, daripada Ibu ngambek nantinya.’ Bapak sering sekali bicara demikian. Bapak juga sudah rapi di ruang tamu dengan baju koko yang fit body. Tato dilengannya menyembul keluar.
“Lah, Bapak dandan keren. Ada apa, sih?” tanyaku penasaran dengan rencana Ibu. “Nurut aja.” Aku duluan bicara, sebelum Bapak membuka mulutnya.
“Pintar.”
Orang yang ditunggu Ibu benar-benar datang. Memarkirkan motor matic-nya di halaman rumah kami. Dari style-nya aku mengenalnya.
“Assalamualaikum,” ucapnya penuh kharisma.
“Waalaikumsalam, Mas Dave.” Ibu menjawab terpesona. Mas Dave? Yang benar saja? Bukannya namanya David?
“Mari masuk Mas.” Bapak menunjuk ke salah satu kursi di ruang tamu. Bapak kenal juga? Aroma bumbu kacang mulai tercium. Eh salah. Aroma kongkalingkong kian terasa. Ibu memilih tempat duduk berdekatan dengan David, eh, Mas Dave. Aku duduk bersebelahan dengan Bapak.
“Jadi bagaimana Mas Dave? Mau jadi karyawan saya?” tanya Ibu dengan nada merayu.
“Ya Mas, bagaimana? Biar kami cepat membuka toko dan memasarkan berbagai macam barang,” ujar Bapak penuh penghayatan. Ya Tuhan ada apa sebenarnya? Mas Dave? David? Toko? Pertanyaan-pertanyaan mulai terkumpul di kepala.
“Setelah saya pertimbangkan, saya siap Pak. Bisa mulai soft opening minggu depan sekalian melakukan pameran produk,” jelasnya yakin dengan apa yang diucapkan. Aku menyimak, kemudian memandang Bapak dan Ibu bergantian.
“Baiklah kalau begitu. Toko saya serahkan penuh sama Mas David dan ...” Bapak beralih melihatku.
“Sundari akan membantunya.” Petir geledek. Mengurus toko? Yang benar saja Bapak? Aku siap melancarkan penolakan.
“Baik Pak. Nanti biar saya ajari Mbak Sundari banyak hal.” David beralih melihatku. Ketegasan suaranya semakin menaikkan level ketampanan. Aku harus berbuat apa?
“Gimana Ndari?” tanya Ibu. Telingaku masih menangkap suara David rasanya. Merdu empuk-empuk macam permen kapas. “Nah, langsung terpikat dia, dah.” Ibu berkata entah untuk siapa.
“Mbak Ndari,” panggil David lembut.
“Mau ya ngurus toko sama saya?” tanyanya yang membuatku bergetar seketika.
“Gimana?” Bapak menunggu jawabanku segera. Aku menganggukkan kepala dan entah apa sebabnya menampakkan sisi feminin yang jarang keluar.
Ah ... apakah aku jatuh cinta? Dengan Mas Dave? Eh David Mahendra maksudnya? Kubiarkan Bapak, Ibu dan David menyaksikan tingkah berlebihan sebagai wujud diriku yang menahan gejolak hati.
