Bab 14 Cemburu Tanda Cinta?
Setelah sampai di rumah Bapak, David berhasil meletakkan sekantong beras ke dapur Ibu. Dengan penuh rasa bangga Ibu menerima serta mengagumi mantu idamannya. Aku masih penasaran dengan kepergiannya waktu itu. Namun, di tempat Bapak tidak bisa jika aku terus menampakkan wajah kesal. Kuputuskan menyendiri di kamar dengan sprei Hello Kitty. Baru kemarin rasanya tubuhku setiap malam meringkuk di dipan besi yang dibuatkan khusus oleh Bapak. Sekarang aku jarang menggunakannya.
Terkadang manusia itu aneh. Saat semua yang diinginkan belum ada di genggaman, ia mencari ke sana kemari. Namun, saat semuanya sudah ada masih merasa kurang puas juga. Ya. Itulah manusia dengan label nama Sundari. Aku mendudukan diri di kursi rias. Menatap pantulan pada cermin yang tampak tak terawat. Kursi rias milikku tepat menghadap jendela yang mengarah pada bengkel SUBISA Bapak. Sekelabat tubuh David berada di sana. Aku melihat sekilas dari kaca jendela. Ia sedang berbicara dengan seseorang lewat ponselnya.
Sepenting itukah? Sampai harus menepi? Pikiranku mulai dihantui banyak rasa curiga. Aku tak bisa menanyakan langsung dan tak bisa percaya juga. Hatiku gamang saat harus merasakan keduanya. Dari balik jendela kaca aku hanya bisa mengamati. Gestur serta mimik wajah suamiku yang tampak cerah. Sesekali sudut bibirnya tertarik. Mengulas senyum yang belum pernah kudapatkan langsung darinya. Perlahan sudut mataku memanas. Semacam akan menumpahkan air bah.
"Hey... ada apa? Kenapa kamu begini Sundari?" tanyaku saat dari cermin tampak jelas air mata menetes.
"Ndari ... Sundari," panggil Ibu dari balik pintu kamar. Aku tidak menguncinya. Dengan mudah Ibu bisa membukanya.
Segera kupalingkan wajah. Menyembunyikan gundah yang mulai membuncah. Aku tak tahu kenapa perasaanku begini. Apa salahnya saat seorang suami bercakap di telepon dengan orang lain? Wajar sekali bukan?
"Loh, loh, kenapa kamu Nak? Kelilipan?" tanya Ibu saat tepat berada di belakangku. Segera aku menggeleng. Membantah ucapan Ibu. "Terus kenapa? Perih keseringan nonton Hp?" tanya Ibu lagi. Tumben sekali beliau peduli.
Meski aku berusaha menghindar. Sorot mataku mengarah pada kaca jendela yang menampakkan posisi David. Sekarang ia bahkan duduk di kursi besi dengan sangat santai.
"David, kan, itu? Lagi telponan dia. Katanya tadi penting," terang Ibu seolah tahu segalanya. Aku beralih menatap Ibu dengan bibir membentuk huruf U.
"Ya ampun, jelek amat. Kamu cemburu, Ndar?" Ibu tak lagi berdiri. Beliau memilih duduk di ranjang hello kitty.
"Maksud Ibu?"
"Iya. Kamu cemburu sama David? Cuma gara-gara dia telponan sama orang lain?" tanya Ibu tak percaya.
Sekuat hati menyangkal pertanyaan Ibu. Cemburu? Perasaan apa itu? Aku tak pernah merasakan sebelumnya. Lahir sebagai anak tunggal dengan segala macam hal menjadi hak milik sendiri. Mana ada perasaan cemburu?
"Itu namanya cemburu. Kamu jelas-jelas tidak suka saat suamimu beralih perhatiannya. Cuma kebablasan cemburunya kalau model begitu." Ibu beralih menatap jendela. Melihat David yang masih saja asyik dengan obrolannya. "Emang sih, suamimu ganteng juga baik hati. Cuma kamu belum tahu dalam dan luar hati laki-laki itu. Saran Ibu ... dekati dengan tulus dan berikan dulu cinta untuknya. Baru kamu bisa menerima apa yang ia berikan juga. Jangan tunggu David yang mulai. Kalau emang kamu lebih cinta gak masalah, saat perempuan menunjukkan sedikit perasaannya." Ibu terus mengamati David. Mendengar ucapan Ibu bukan membuatku lebih tenang melainkan semakin gamang.
"Ibu, kok tega banget, ya." Aku mulai mengeluarkan jurus andalanku.
Ibu yang masih saja cantik saat usia sudah mulai tua bertanya, "Tega kenapa?"
"Tega main jodoh-jodohan gini sama Ndari. Yang akhirnya bikin Ndari bingung sekaligus pusing." Aku semakin tak bisa mengontrol sudut mata.
"Ya ampun. Emang dasar Sundarinya Ibu. Gitu aja nangis," kekeh Ibu.
Aku tak mau tahu. Kebingungan dan kebuntuan mencari tahu soal David memang membuat runyam kepalaku. Air mata terus menetes. Aku tak bisa lagi menyembunyikannya. Dari jendela terlihat jelas David mengakhiri telepon dan meninggalkan bengkel SUBISA. Ia berjalan ke rumah lewat pintu belakang. Buru-buru kuseka air mata. Sebelum laki-laki yang membuatku nyaris mati penasaran mendapatiku dalam kondisi seperti ini.
"Kenapa, Bu?" tanya David dari gawang pintu.
"Katanya kelilipan, terus perih, terus berair deh." Ibu berdiri. Bersiap meninggalkan kami di kamar Hello Kitty. "Sana, urus istri kamu. Kasih penjelasan logis biar dia gak cemburu. Biar napak lagi di dunia, bukan halu sama keluyuran di dunia maya." Suara Ibu begitu keras. Aku jelas mendengarnya.
Langkah kaki David semakin mendekat. Langsung saja kupalingkan muka dan menutupnya. Masa iya nangis di depannya? Perlahan tangan David menyentuh pundakku.
"Ada yang salah?" tanyanya tanpa dosa. Aku tak mampu menjawab pertanyaannya. Hatiku justru perih tak terperi.
"Kamu itu siapa sebenarnya? Kenapa kamu bisa jadi suamiku?" David terhenyak. Pertanyaanku terdengar aneh. "Apa benar kamu itu teman masa kecilku seperti yang kamu ceritakan dulu? Apa benar kamu bukan seorang penipu yang ujungnya bakal pergi begitu aja?" David menghela napas. Pertanyaanku semakin tidak jelas.
"Aku ... suamimu. Orang yang otomatis bertanggung jawab atas dirimu. Kalau kamu mau kenal lebih dekat, dekatilah aku. Libatkan aku disetiap lini kehidupanmu. Banyak orang di dunia ini yang menikah tanpa mengenal sebelumnya. Namun, mereka terus belajar sepanjang pertemuan mereka dalam pernikahan. Tidak selamanya buruk, tinggal bagaimana kamu menjalani itu." Aku masih belum puas dengan argumennya. Masih ingin membantah dan meneruskan rasa curiga.
"Dah, daripada nangis sendiri gak jelas di kamar, nanti kita jalan-jalan. Paling kamu butuh hiburan." David memegang kedua lenganku. Menatap wajah kami di kaca rias. "Jangan lupa dilap dulu, baru keluar. Gak enak sama Bapak. Nanti dikiranya kita habis berantem. Aku keluar duluan ya, maksimal lima belas menit aku tunggu di depan. Kalau lelet aku tinggal." David mengulas senyum tulus untukku. ia berlalu begitu saja.
Hatiku justru semakin perih saat ia bersikap begitu manis. Aku belum mengenalnya. Aku belum tahu siapa dia. Aku ... harus bagaimana? Sementara aku sudah resmi menjadi istrinya.
Genap punggung David tak terlihat di area kamar, aku memikirkan banyak hal. Termasuk melancarkan misi mencari setiap informasi tentang David Mahendra. Kuusap air mata tak berguna itu. Membenarkan sedikit rambut yang diikat dan berjalan mantap meninggalkan kamar.
"Ayo jalan, Mas. Aku udah selesai istirahatnya," ucapku saat sampai di ruang tamu. Ibu, Bapak, dan David sedang asyik mengobrol bersama.
"Dah, turutin aja. Nanti kelewat ngambeknya malah repot. Anggap saja dia sedang rindu berat sama kamu." Bapak meledekku dengan gaya khasnya.
David menyalami tangan Bapak dan Ibu. "Kami pamit dulu Pak, Bu. Kalau ada waktu kami usahakan pulang lagi. Sekalian memberikan laporan penjualan buat toko."
Ibu mengangguk setuju denga ucapan mantunya. Aku juga melakukan hal sama. Berpamitan, bersiap kembali ke kontrakan. Dengan tetap menatap punggungnya semua tanya semakin memenuhi kepala. Cemburu tanda cinta?
