Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 13 Oleh-Oleh Sederhana

Aku tak lagi sibuk memikirkan David. Setelah teleponnya dua hari lalu demi sebuah charger menyebalkan. Bodo amat lah dia mau ngapain di luar sana. Lama-lama kerut wajahku bertambah setiap kali mengingat foto anak kecil di laci lemari David. Aku juga tidak rajin menghubunginya dan membiarkan dia pulang dengan sendirinya.

Kuangkat kaki, menyilangkannya sambil rebahan. Ponsel berlayar besar selalu menemani. Aku mulai asik menonton serial drama yang sedang tayang. Makan tinggal pesan dan kesibukan lantai satu kuabaikan. Mbak Kiki tidak berani macam-macam. Ia paham betul akulah putri pemilik Sunday Store sebenarnya. Mulutku terus mengunyah ayam goreng berbalut tepung berwarna coklat keemasan. Tidak peduli cara makanku terbilang tidak sopan dan siap membuat berantakan. Hatiku sedang kacau. Meski begitu serial drama dengan scene romantisnya membuatku tetap senyam senyum sendiri saat menyaksikan pemeran utama saling menebar cinta.

Mulutku mulai berkomentar. "Wah, bisa ya mereka mesra seperti itu? Coba hidupku sama juga dengan mereka. Alangkah mustahilnya." Aku tersenyum geli.

Terdengar suara langkah seseorang menaiki tangga. Aku masih tetap pada posisi memakan ayam dengan kaki diangkat tinggi sambil rebahan.

"Astaghfirullohal'adzim ... Ndari!" teriak laki-laki yang harusnya masih di luar kota hingga tiga hari lagi.

Buru-buru aku menurunkan kaki dan bangun dari posisi sebelumnya. Lantas berbalik menghadapnya. Tanganku refleks menyingkirkan kardus ayam goreng.

"Kamu apakan rumah kita? Berantakan begini?" tanyanya dengan nada tinggi. Ia meletakkan karung entah berisi apa di sudut ujung tangga. Lantas pandangannya mengarah pada seisi ruangan lantai dua.

Aku kembali merapikan meja. Potongan ayam kutata dengan benar. Remahan kulit crispy keemasan aku singkirkan. Senyum polos khas Sundari kutunjukkan. "He, sudah pulang, Mas?"

David tak menjawab pertanyaanku. Ia melangkah cepat menuju kamar. Dibukanya pintu itu lantas menggeleng. Ia pun kembali menutupnya dan menatapku. Puas menghujani tatapan aneh, suami yang beberapa waktu lalu kurindukan berpindah ke arah dapur. Ia memerhatikan seluruh area masak-memasak itu. Kembali menggeleng dengan ekspresi sama. Kini David beralih ke arahku. Berjalan cepat seolah tubuhnya tidak habis diajak perjalanan jauh. Tidak ada lelahnya.

"Gak disapu?" tanyanya saat kaki menapak di karpet sofa.

"Lantai aku sapu, kok, tadi pagi," ujarku menutupi kemalasan diri.

"Bukan lantai. Ini karpet gak disapu pakai sapu lidi?" tanyanya dengan ekspresi semakin garang.

Kembali kutunjukkan senyum itu, berharap suami yang wajahnya berubah agak gelap tak bertanya banyak.

"Ampun, dah!" ucapnya lantas mendudukan diri di sofa.

Kuambil sisa chiken yang sudah sedikit lebih rapi, lantas bersiap pergi menghindarinya. Tangan David sigap menarik lenganku.

"Buatin kopi dulu, baru kamu boleh pergi." David memejamkan mata. Sekarang baru terlihat kelelahan ada di sana. Aku mengangguk pelan, menuruti kemauman lelaki yang kusayang.

Lima belas menit berikutnya segelas kopi kusajikan setelah menunggu air di ceret matang. Ditinggal David tak hanya hatiku yang kosong, isi termos pun juga. Perlahan kuletakkan gelas yang kubawa di atas meja.

"Makasih," ucap David dengan posisi tetap bersandar pada puncak sofa.

Aku hanya menanggapi dengan seulas senyum lantas bersiap turun ke lantai satu. Meski rindu bercampur rasa penasaran, aku enggan menanyakan langsung perihal foto dua bocah kecil. Kubiarkan waktu menuntun suamiku untuk menceritakan semua. Aku tak mau memulai ketidaknyamanan dalam berumah tangga. Padahal jelas-jelas yang kulakukan salah. Perasaan semacam ini, meski hanya secuil saja, bila berlarut dan dibiarkan tetap ada bisa berbahaya.

Tepat saat kakiku menyentuh anak tangga bagian pertama, karung yang tadi dibawa David membuatku memicingkan mata. Aku pun menoleh pada suamiku yang tengah menyesap kopi.

"Beras?" tanyaku saat yakin bulir putih empuk itu terlihat dari anyaman karung. David mengangguk pelan. Ia terus menyesap kopi hitam yang sengaja kubuat cukup pahit. Harusnya nyengir, tapi malah tetap cool seperti biasa.

"Dari, Om Parja?" tanyaku lagi. Memastikan benar salahnya. Sekaligus meyakinkan bukan dia sendiri yang membeli.

"Iya, siapa lagi. Nanti dibagi dua dulu. Separonya buat Bapak sama Ibu." David meletakkan gelas di atas meja. Ia bangkit lantas berjalan ke arahku.

Tangannya menunjuk karung. "Itu oleh-oleh dari perjalanan pertama ke luar kotaku."

Perjalanan pertama? Berarti akan ada banyak nantinya? Ditinggal dengan perasaan tak menentu seperti kemarin?

David menatap aneh raut mukaku yang berubah. "Kenapa?" tanyanya dengan gaya khas yang ia punya. "Aneh bagimu bawa beras?"

Sontak aku menggeleng, menutupi berbagai macam keresahan dari ucapannya. "Gak apa-apa."

"Ya, sudah. Ayo, kita pindahkan dulu." Tangan David siap mengangkat ujung karung yang diikat tali. Alisnya bertaut mengintruksikan padaku untuk mengangkat bagian bawahnya.

"Kebalik kali. Mana aku kuat?" protesku dengan pembagian tugas ini. David terkekeh. Ia lantas mengangkat karung itu seorang diri.

Please, jangan beri aku senyum seperti itu. Hatiku luluh kembali. Seketika berbalik mengikutinya. Cinta itu sederhana. Yang rumit jalan pikiran kita. Terlalu sering membuat prasangka, padahal belum tentu kebenarannya. Seperti oleh-oleh dari suamiku yang tampak biasa, tapi sebenarnya menjadi bahan pokok utama. Meski aneh aku tetap suka. Stok beras dua bulan ke depan dipastikan akan aman.

***

Selesai membagi beras dengan berat dua puluh kilogram dalam dua wadah, David tak langsung merebah atau minimal mandi sebagai wujud nyata orang yang baru pulang dari keluar kota. Ia justru mengambil sapu dan melakukan aksi bersih-bersih rumah. Mulai dari kamar kami yang memang belum kurapikan, sampai area dapur yang jarang kugunakan. Tak ketinggalan ia juga mengepel lantai.

Aku hanya bisa menggeleng saat mulutnya terus berkomentar perihal kemalasan yang menjadi kebiasaan. Selain misterius suamiku ternyata juga ambisius. Tidak mau pergi sebelum rumah rapi. Segala tatanan hidup yang ia punya harus sesuai standarnya.

Motor matic milik David yang beberapa hari ini berada di gudang belakang aku keluarkan. Memberikan pemanasan untuknya sebelum akhirnya diajak jalan. Sudah sering bolak balik ke rumah orang tua tetap menyenangkan juga. David membawa karung beras itu dan meletakannya dekat dengan tumpuan kaki bagian depan. Aku memboncengnya setelah memastikan berpamitan pada Mbak Kiki. Tidak ada David tugasku terasa lebih ringan sebenarnya. Karena aku bisa leluasa meminta bantuan Mbak Kiki. Sepertinya esok hari tak bisa lagi.

Kutatap punggungnya yang tegap. Memikirkan serta membayangkan bagaimana nanti perjalanan pernikahan kami. Apakah akan sama dengan Bapak Ibu yang penuh energi? Atau seperti Anisa dan Mas Dito yang tampak adem ayem tentrem loh jinawi. Aku terus memikirkan hari-hariku bersama cinta pertama yang langsung menjadi nyata. Semulus dan seindah ini? Apa ada di dunia nyata?

Rem mendadak yang dilakukan David membuatku maju dan mencium punggung itu. "Aduh!"

David pun menepikan motor ke sebelah kiri lalu menoleh ke belakang. Mungkin hendak memastikan aku baik-baik saja atau tidak. "Helmnya aman, Ndari?" tanyanya dengan mengusap helm yang kacanya sudah sedikit buram.

"Lebih sayang helmnya?" tanyaku menahan sebal.

David lagi-lagi tersenyum manis. Semanis permen kapas dengan bungkus plastik bergambar upin ipin.

"Yang di dalam helm. Alias kepala kamu," ujarnya.

Aku menatap kedua bola mata hitam miliknya. Siapa sebenarnya dia? Dari mana asal usulnya? Apa aku salah menerima tawaran menikah dengannya?

Tangan David menutup kaca helmku kasar. "Ayo, takut Bapak sama Ibu sudah nunggu." Ia kembali fokus pada tujuan dan melajukan motor matic-nya.

Sederhana apa? Rumit kaya anyaman karung. Gumamku pada punggung itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel