Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 15 Tamu Tak diundang

Perjalanan kembali ke kontrakan berakhir dengan saling diam. Aku tak berselera membahas banyak hal dengan David. Jalanan kabupaten yang cukup pepak membuat David juga fokus pada motornya. Jika memang cemburu tanda cinta tak seharusnya perasaan itu datang tiba-tiba. Aku masih saja kesal. Tiga puluh menit kali ini terasa lama. Hingga akhirnya David berhasil memberhentikan motornya di depan Sunday Store.

"Nih," Kusodorkan helm putih milikku. Aku berdiri membelakangi Sunday Store. Tangan David tak langsung menerima. Ia bahkan nyaris menjatuhkan helm yang kuberikan. Pandangannya mengarah pada pintu utama Sunday Store.

Aku pun berbalik. David sudah turun dari motornya dan melewatiku begitu saja. Ia bergegas menuju pintu utama. Menghampiri perempuan berparas manis dengan pashmina biru di kepala. David tampak begitu canggung. Kuayunkan langkah menuju mereka. Hari ini ada tamu tak diundang di rumah kami.

"Siapa?" tanyaku dengan menyikut siku David.

"Hai, Mbak. Saya Renata Aulia." Perempuan itu mengulurkan tangannya. Aku pun menjabatnya.

"Sundari. Istrinya Mas David." Gestur tubuhku berubah seketika. Berada di depan David yang tampak pucat wajahnya. "Mau belanja, Mbak? Bisa langsung masuk saja." Kutunjukkan arah pintu utama.

"Tidak Mbak. Saya mau ketemu Pak David. Kebetulan urusan kemarin masih ada yang perlu ditinjau ulang." Perempuan bernama Renata memperlihatkan senyum menawannya.

"Ehm. Oke, kenapa tidak minggu depan saja? Saya baru balik ke sini dan harus disibukkan lagi?"

"Penting, Pak. Harus sekarang. Kemarin saya lupa tidak membawa dan membahasnya dengan Bapak. Kalau tidak, bisa-bisa proyek kita gagal." Renata menambahkan bumbu rayuan di sana. Tampak jelas ada yang berbeda dari sorot matanya.

"Oke. Kalau begitu kita ke atas saja. Bahas di lantai dua biar lebih nyaman." David memimpin langkah. Renata mengekor begitu saja. Aku? Aku ditinggalkan tanpa diajak olehnya.

Tepat mereka berhasil memasuki lantai satu Sunday Store. David berbalik. Nyaris saja ia menubruk Renata. "Ayo, Sundari. Kamu gak masuk?"

Sengaja kuhentikan langkah. Aku ingin tahu apakah pria itu akan menjemputku. David menutup pintu utama. Ia bergegas menuju lantai dua. Kuayunkan langkah kembali dengan semakin kesal. Saat melihat David dan Renata terus menaiki satu per satu anak tangga dengan sesekali melempar senyum. Entah apa yang akan mereka bahas di sana.

"Siapa Mbak?" Mbak Kiki di kasir bahkan tak kusapa.

"Gak tahu. Gak paham siapa wanita itu." Mataku tetap mengarah pada lantai dua.

"Samperin, Mbak. Buatin kopi. Jangan kalah cepat sama Mbak phasmina biru itu." Mbak Kiki seolah paham gelagatku. Ia menyarankan hal yang jitu.

"Loh, kan aku istrinya, Mbak. Yah ngapain aku mikir?" tanyaku saat menyadari hal aneh pada ucapan Mbak Kiki.

"Bisa jadi Mbak-mbak itu asisten atau rekan kerja atau apa. Biasanya lebih paham soal pimpinannya. Mbak Ndari harus lebih ngerti dong soal laki-laki." Dengan tetap memainkan jemarinya pada keyboard Mbak Kiki membahas hal-hal tidak perlu.

Mataku menatap tajam kasir kesayangan keluarga kami. Mbak Kiki sadar diri. Ia mundur beberapa langkah. Bersembunyi di meja kasir.

"Yak, Mbak Kiki!" teriakku. Seketika pengunjung menoleh memerhatikan sumber suara. Aku tersenyum manis. Perlahan berjalan menuju lantai dua.

David sudah duduk di kursi sofa berdampingan dengan Renata. Mereka tengah menyimak lembaran kertas yang isinya entah apa. Dua cangkir kopi sudah tersaji. Benar kata Mbak Kiki kalah cepat membuatku terlambat. Aku tak peduli. Melihat mereka semakin membuat nyeri hati. Sengaja tak kusapa dan berlalu begitu saja. Pintu kamar kubanting keras. Menimbulkan bunyi yang harusnya membuat mereka terlonjak. Segera kerebahkan tubuh di kasur empuk itu. Menenggelamkan kepala pada bantal. Aku ... teramat kesal. David dan Renata. Apa mereka yang ada di foto itu? Aku pun berdiri. Membuka lemari dan melihat ke dalam laci. Inisialnya bukan R tapi D. Dipastikan bukan dia perempuan di foto masa kecil David. Kembali kututup pintu lemari dengan keras.

"Berisik ... Sundari!" teriak David dari ruang televisi.

"Ganggu kalian, ya kalau aku berisik. Dasar nyebelin." Aku bicara pelan. Lalu menghentakkan kaki pada bumi.

***

Satu jam berikutnya aku membuka pintu kamar. Renata sudah tidak ada. Bisa jadi pulang lebih awal dan tidak berpamitan. Kuayunkan langkah menuju dapur mini di lantai dua. Baru sadar dari pagi perut ini belum terisi. Tanganku cekatan membuka lemari penyimpanan berisi makanan kering. Satu bungkus mie instan kuraih dan siap memasaknya. Panci berisi air kuletakkan di atas kompor. Menunggunya mendidih sambil bermain ponsel.

David datang membawa dua cangkir kosong. Meletakan pada tempat cuci piring. Lalu mendekat padaku. Ia melipat kedua tangannya dan terus memerhatikan penuh tanya.

"Apa?" ucapku dengan tetap fokus pada ponsel tanpa memerhatikan panci kecil berisi air. David meluruskan tangannya dan mematikan kompor begitu saja. "Apa-apaan? Main matiin saja." Tak mau kalah dengannya kunyalakan kompor gas kembali.

David meraih tanganku. Ia memaksaku menatapnya. "Duduk. Biar aku yang masak."

"Aku bisa kok masak mie instan sendiri. Emangnya macam selebgram yang lagi viral. Masak mie aja gak bisa," ucapku ketus.

"Masak memasak kalau hatinya gak tenang bisa bahaya. Gak cuma buat diri sendiri, tapi orang lain juga. Melamun gak sadar kalau air di panci udah mau habis." Mata David mengarah pada kompor di depanku.

"Astaghfirulloh, gosong Mas?" tanyaku lugu.

"Duduk aja. Kalau sampai kebakaran malah bahaya. Kaya hatimu yang lagi terbakar api cemburu." David mencuci panci tadi, mengisi kembali dengan air baru. Wajahku jelas bersemu merah. "Dah, sana. Tunggu depan TV gak apa-apa. Daripada kamu mati berdiri karena malu," kekeh David sembari membuka bungkus mie instan. Aku pun berlari sambil menutup wajah. Semakin hari rasa ini semakin menjadi. Tak bisa dipungkiri aku memang mencintainya. Namun, caranya memperlakukanku tetap membuat kesal. Ia selalu penuh kejutan.

Tak menunggu lama satu piring mie goreng tersaji lengkap dengan bumbu kriuk kesukaan. Hampir empat bulan bersama aku belum pernah memasak untuknya. Sebaliknya ia terus memasak apa saja untukku. Hampir empat bulan bersama aku tak pernah mendengar kata mesra darinya. Sebaliknya aku selalu mengucap kata itu dengan lirih. Meski tak sampai pada telinganya aku tetap mengucap dan menunjukkan seberapa besar cinta itu.

"Makasih, Mas," ucapku dengan tetap melihat mie goreng. Bahkan ada tambahan telur di sana. Niatnya hanya kosongan mie saja.

"Iya, sama-sama. Lain kali kalau mau masak mie perhatikan kompor. Tidak asal ditinggal main ponsel. Bahaya," jawab David panjang. Menyesal aku berterimakasih. Ia selalu menasihati hal-hal yang bagiku sepele.

Satu suap mie goreng mendarat empuk di lidahku. Rasanya semakin enak saja karena David yang membuatkan. Namun, tumpukan kertas di meja kembali mengingatkanku pada Renata.

"Renata itu siapa Mas? Orang mana?" tanyaku dengan tetap melahap mie goreng.

"Dia asisten tokonya Bapak. Rumahnya gak jauh dari toko beras." David meraih roti selai yang ia buat sendiri. Ia lebih suka makan makanan manis.

"Toko beras punya asisten? Sampai sepenting itu?" tanyaku lagi. Heran dengan sistem toko beras milik Om Parja.

"Ada. Penjualannya tidak hanya menerima di daerah tapi di luar kota juga. Jadi, kita membutuhkan asisten. Padahal waktu pulang kemarin kita udah bahas banyak hal. Masih aja terlewat. Untung dia mengingatkan." Enteng sekali David bercerita tentang aktivitasnya yang sampai mengabaikan telepon serta pesan dariku.

"Dia ... lajang?" David mengernyit. Pertanyaanku kembali terdengar aneh baginya. "Maksudku udah nikah belum?" tanyaku kembali. Memperjelas apa yang ingin kuketahui.

"Belum. Dia jomlo." David memasukan sisa potong roti ke mulut. Ia berdiri dan meninggalkanku lagi seorang diri. Mie goreng panjang mengular langsung kumakan. Mengunyahnya dengan kasar. Jomlo dan secantik itu asistennya suamiku?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel