Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 12 Charger Hati

Aku pulang dengan perut kenyang. Lontong sayur suguhan Anisa cukup membuatku berlari kembali ke rumah. Aku tak lagi memutar lagu Tonight milik Bigbang. Sebelum sampai sengaja kuputar arah. Menuju perempatan pasar mencari Bang Jack. Sudah lama Bang Jack tidak terlihat. Gerobak motor bertuliskan Cilor Maksip terparkir di perempatan pasar. Jumpa pertamaku dengan David terjadi saat ada Bang Jack. Ah rasanya seperti rindu ini tak terperi lagi. Melihat cilor dan Bang Jack saja membuatku mengingat David. Pikiranku kacau menanti kabar dari suami tercinta.

Aku mengantre di samping Bang Jack. Tidak menyerobot begitu saja.

"Hai Bang," sapaku pada Bang Jack yang sedang mengaduk cilor.

"Hai juga Mbak Ndari. Lama nih, gak kelihatan." Bang Jack juga merasakan hal yang sama. Kadang saat mencari Bang Jack dagangannya sudah habis duluan. Jadi, ia pulang lebih awal. Belum ada titik temu antara kami.

"Kelihatan Bang. Bang Jack aja yang sering pindah tempat dagangan," jawabku.

"Iya Mbak, rencana mau buka cabang di lain tempat. Lagi uji coba dulu." Wajah Bang Jack semringah. "Pesen berapa Mbak?"

"Tiga ribuan tiga ya, Bang." Aku berniat membelikan untuk Bapak dan Ibu juga.

"Nggak empat? Kan udah ada tambahan anggota keluarga," ucap Bang Jack. Sepertinya aroma bumbu ledekan Bang Jack akan menjadi tambahan rasa di cilor pesananku.

"Sedang keluar kota, Bang. Jadi, pesan tiga saja."

"Pantas aura Mbak Ndari gelap lagi ya," kekeh Bang Jack. Aku tak melanjutkan percakapan itu. Uang sepuluh ribuan segera kuserahkan.

"Gak usah kembali ya Bang, nitip aja," ucapku seraya meninggalkan Bang Jack dan gerobak cilornya.

***

Kulanjutkan langkah kecil menuju rumah. Bengkel SUBISA menyambutku penuh gembira. Aku Sengaja melewati pintu belakang agar sepatu lari bisa langsung terjajar rapi di rak. Sikap malasku kadang kelewat batas. Kalau tidak bergegas bisa-bisa hilang digondol kucing.

'Gimana? Ya, ya sebentar. Ini Sundari udah pulang.' Bapak sedang melakukan sambungan telepon entah dengan siapa.

Bapak mengangkat sebelah alisnya dan menyerahkan ponselnya padaku saat aku lebih dekat dengannya. "Nih!"

"Siapa?" tanyaku sembari melepas tali sepatu. Nyesel setengah mati ngikat kencang tadi pagi. Akhirnya kesulitan sendiri.

"Tanya sendiri aja," ucap Bapak lantas kembali menyiapkan peralatan las.

Kuterima ponsel Bapak dan mendekatkannya pada telinga.

"Halo, siapa?" tanyaku tak antusias.

'Aku.' Suara di ujung sana menjawab tanpa ragu.

"Ya ampun, baru ngubungin," ucapku kesal sekaligus lega. Aku pun segera beralih ke kursi panjang di bengkel.

'Iya, Maaf. Charger Hp-ku ketinggalan. Coba nanti cek di laci lemari, ya. Syukur masih ada di sana.' Tanpa basa basi terlebih dahulu David langsung ke inti.

David meneleponku untuk memberitahu itu? Soal Charger ponsel?

"Oh. Aku lagi di rumah. Gak ke Sunday Store," ucapku mendadak malas.

'Makanya minta tolong dicekkan biar kamu ke sana!'

Mendengar suaranya saja membuatku seolah berhadapan langsung dengan David. Mungkin alisnya sedang bertaut dan wajahnya penuh aura memaksa.

"Cuma ngecek doang, kan? Besok-besok aja gak apa-apa."

Hanya demi charger harus ke Sunday Store? Malas bener!

'Pokoknya aku minta tolong untuk cekkan. Sekalian kamu nengokin Sunday Store. Ingat, lantai dua tuh kita nyewa.' David menekankan kata sewa pada suaranya.

"Terus kenapa kalau kita sewa?" tanyaku aneh dengan hal itu.

'Belajarlah menghargai sesuatu. Belum tentu tahun depan kita bisa menyewanya lagi. Jadi, pastikan kamu menjaganya saat aku tak ada.' David sudah seperti Dai kondang saja. Ia berhasil menceramahi istrinya.

"Iye. Emangnya satu rumah gak ada yang punya charger? Sampai gak sempat pinjam?" tanyaku sebal.

'Ada. Ini ponselku juga sedang aku charger. Nomor kamu belum bisa kuhafal. Di tempat Om Parja hanya ada nomor Bapak.'

"Ini nomor Om Pa--" Belum tuntas konfirmasiku, dia sudah mengakhirinya.

"Dasar nyebelin!" Kumaki ponsel 4G milik Bapak.

"Kenapa?" Bapak bereaksi melindungi ponselnya. Tidak mau sampai ponsel itu menjadi sasaran amukanku.

"Gak apa-apa!" jawabku ketus.

"Ini anak kalau udah rindu, begitu juga ya. Untung kamu gak pernah punya pacar dari dulu." Bapak mengusap ponselnya. Komat kamit bicara selamet ... selamet.

Kulanjutkan membuka ikatan tali sepatu yang kencang dan langsung menuju kamar kesayangan. Kurebahkan tubuh penuh keringat ini di ranjang. Menatap langit-langit kamar yang mengolokku senang. Kasihan sekali kamu Sundari. Masa keesokan hari harus ada berita seorang gadis mati penasaran karena suaminya keluar kota. Gak seru!

Terdengar seseorang mengetuk pintu kamar. Tanpa menungguku membuka sudah sampai saja orang tersebut di dekat ranjang. Ibu menenteng plastik bening.

"Kamu yang beli?" tanya Ibu mengangkat tinggi plastik itu.

"Iya."

"Anak baik. Tahu aja kalau Ibu lagi kangen cilor Bang Jack. Ibu habiskan, ya." Mata Ibu mengerjap senang. Seperti menemukan kembali hasrat yang terpendam.

"Terserah Ibu saja!" ucapku lantas duduk dan siap membilas tubuh di kamar mandi.

"Efek terbaru lari pagi, bikin kesambet yak!" Ibu juga terkenal dengan suara tingginya.

***

Meski enggan dan hati tak karuan aku tetap saja mengikuti instruksi dari David. Cek di lemari chargernya ada atau tidak. Kata itu seolah menggema di kepala. Aku terpaksa melenggang menuju Sunday Store. Lantai satu sedang sepi. Mungkin karena hari Senin. Jadi, jarang yang mencari baju dan jilbab. Mbak Kiki fokus di depan komputer kasir.

"Pagi, Mbak," sapaku saat pintu Sunday Store berhasil kubuka.

"Pagi juga Mbak Ndari," jawabnya dengan senyum manis menghiasi.

"Saya kira mau bolos lagi, Mbak."

"Bolos? Emang sekolah STM?" timpalku. Teringat masa suram dahulu. Saat hari-hari sekolah banyak kuhabiskan di rumah.

"Tadi Pak David telepon ke toko, Mbak. Nanyain Mbak Ndari sudah sampai atau belum."

"Telepon ke situ?" tanyaku menunjuk telepon duduk khusus toko.

"Iya, Mbak. Katanya Mbak Ndari disuruh cek charger di lemari. Kalau sudah baru menghubungi Mas David ke nomor Om Parja." Mbak Kiki menjelaskan dengan runtut permintaan David.

Wah, hebat sekali dia. Apa susahnya menghubungiku langsung. Bukan malah lewat Bapak atau toko. Menyebalkan!

"Baik, Mbak. Terima kasih infonya. Aku ke atas dulu, ya." Kakiku melangkah panjang. Secepat mungkin untuk sampai di kamar.

Lemari putih berisi baju David kubuka dengan kasar. Membuka laci dan mencari charger sialan. Hanya demi sebuah charger ia baru menghubungi. Bahkan lebih penting daripada menanyakan kabar istri. Mataku menangkap benda berwarna putih dengan kabel melingkar pada adaptor. Bahkan kabel itu diikat dengan karet kecil. Benar-benar cowok super rajin. Aku bersiap meraihnya. Satu benda mencuri fokusku. Sebuah kertas foto berukuran empat kali enam tergeletak di bawah charger tadi. Bukan foto David saat dewasa. Foto dua anak kecil yang bergandeng tangan mesra. Aku pun meraihnya. Kupandang lekat foto dua anak kecil. Tanganku membalikkan foto itu. Melihat warna putih di belakang tak lagi bersih. Dua huruf tersusun rapi. Sebuah inisial D & D.

D & D? David dan siapa? Bukan huruf S sebagaimana awalan namaku. Kuletakkan foto itu kembali pada posisi awal.

Ingat pesan Anisa Ndari, jangan buru-buru berprasangka. Bisa saja itu foto David dan adiknya. Atau keponakannya atau saudaranya atau cinta masa lalunya? Hatiku terus mencecar dengan banyak pertanyaan. Anisa bagaimana aku tak berprasangka jika seperti ini. Bahkan menghubungi nomorku saja dia tidak bisa.

Pikirku mulai mengudara. Hatiku hancur berkeping. Cerita saat malam berhiaskan sinar bulan apakah hanya bualan?

Kuusap layar ponselku kasar. Sebuah pesan kukirimkan.

[Charger-nya ada!]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel